Powered By Blogger

Thursday 18 August 2011



ILMU KALAM

Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga disiplin lainnya adalah fikih, tasawuf dan filsafat. Ilmu fikih berhubungan dengan segi-segi formal peribadatan dan hukum, tekanannya sangat eksoteris; ilmu tasawuf membidangi segi-segi penghayatan, dan pengamalan keagamaan yang lebih pribadi, tekanannya lebih esoterik; filsafat mengarahkan pembahasannya pada perenungan tentang hidup ini dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya; ilmu kalam membahas Tuhan dengan segala derivasinya.(Nurcholish Madjid,1992:201).

Ilmu kalam disebut juga Ilmu tauhid, ada juga yang menyebutnya dengan dengan ilmu Ushuluddin yaitu ilmu pokok-pokok agama yang menyangkut masalah akidah dan keimanan. Menurut Hasbi ash-shiddieqy (1991:1-2), ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dali-dalil yang meyakinkan, baik dalil aqli, dalil naqli atau dalil wijdani (perasaan halus). Ilmu seperti itu dinamakan dengan tauhid, karena pembahasanpembahasan yang paling menonjol ialah masalah ke-Esa-an Allah yang menjadi sendi asasi agama Islam, bahkan menjadi sendi bagi agama yang benar yang dibawakan oleh rasul yang diutus. Allah SWT berfirman :
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”. (Q.S. 21:25)

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman, Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam kajian keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu ‘Aqa’id (Ilmu Akidahakidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan], Ilmu Tauhid ( Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu pokok-pokok Agama). Di Indonesia, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain terdapat di atas, Ilmu kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran Agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan
189

Metodologi Studi Islam
Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktriner, seringkali juga dogmatis. (Nurcholish Madjid,1992:202)

Menurut Abuy Sodikin dan Badruzaman (2004:120) dengan mengutip pendapat Asy-Syiddieqy (1992 : 1-2) faktor penyebab mengapa ilmu ini disebut ilmu kalam sebagai berikut :
1. Karena problema-problema yang diperselisihkan para ulama dengan ilmu ini, yang menyebabkan umat terpecah menjadi beberapa golongan adalah masalah kalam Allah yang kita baca, apakah dia itu makhluk atau qadim.
2. Materi-materi ilmu ini adalah merupakan teori-teori kalam; tak ada diantaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota badan.
3. Ilmu ini, dalam menerangkan cara atau menetapkan dalilnya untuk pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq, karena itu ilmu ini disebut juga ilmu kalam.
4. Ulama-ulama mutaakhirin memperkatakan dalam ilmu ini membahas masalah-masalah yang tidak dikatakan oleh ulama salaf, seperti penta’wilan ayat-ayat mutasyabbih, pembahasan tentang pengertian qadla; tentang kalam dan lain-lain.

Oleh karena itulah istilah ilmu kalam lebih terkenal di masa Abbasiyah, sesudah terjadi banyak perdebatan, pertukaran ide, dan bercampurnya masalahmasalah tauhid dengan falsafah, seperti membicarakan maddah, susunan tubuh, hukum-hukum jauhar, sifat dan lain-lain.(Abuy Sodikin,2004:120). Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fikih, kajian tentang Ilmu Kalam dikalangan kaum “santri” masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian ilmu Fikih yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab ‘Aqidah al-’Awwam (Akidah kaum Awam), diteruskan dengan Bad’ al-’Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawahrat at-Tawhid (Permata Tawhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). Di samping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu, penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang. (Nurcholish Madjid,1992:202-203).

Pertumbuhan Ilmu Kalam

Jika dilihat dari sejarah timbulnya, ilmu kalam bermula dari persoalan politik yaitu kematian Usman bin Affan, yang kemudian diganti oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian tersebut dipertegas oleh Harun Nasution (1995:368) bahwa masalah akidah dalam Islam muncul sebagai akibat dari masalah politik. Setelah kematian khalifah Usman bin Affan, umat Islam di Madinah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Pengangkatannya ditentang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damsyik, dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib ikut bertanggungjawab atas pembunuhan Usman bin Affan. Setelah itu pecahlah perang antara Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan. Perang ini dikenal dengan perang Shiffin. (Abuy Sodikin,2004:121). Senada dengan ungkapan di atas, Cak Nur mengungkapkan dengan mengatakan sebagai berikut : Sama halnya dengan disiplin–disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu kalam sangat erat terkait dengan anarkisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, akan sampai kepada peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan, khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang seringkali dinamakan al-Fitnat al- Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, ilmu kalam merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah besar itu. (Nurcholish Madjid,1992:203).

Dalam perang Shiffin pihak Ali sudah berada dalam keunggulan, untuk mengelakkan kekalahan, Amr bin Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abu Sufyan, menaikkan lembaran-lembaran al-Qur’an di ujung pedang. Melihat lembaran al-Qur’an penghapal Alquran di pihak Ali mendesak Ali untuk menerima tahkim, yaitu arbitrase sebagai jalan penyelesaian sengketa dengan Mu’awiyah .Dalam arbitrase itu, Ali kalah dan Muawiyah yang menang, Ali diturunkan oleh Abu Musa al-Asyari dari kursi khalifah dan Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah oleh Amr bin Ash. Pengangkatan ini membuat sebagian dari pengikut Ali keluar dari barisannya dengan argumen bahwa khalifah keempat tersebut telah membuat kesalahan dalam menerima tahkim. Golongan inilah kemudian yang disebut dengan golongan Khawarij (Abuy,2004:121- 122).

Dalil untuk menyalahkan terjadinya tahkim atau arbitrase tersebut adalah al-Qur’an surat al-Maidah ayat 44 sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah : 44).

Mereka sangat kecewa kepada ‘Ali karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyyah Ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” yang di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan “de-jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Khawarij, kaum pembelot atau pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyyah sebagai kafir. Karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyyah, juga Amr Ibn al-’Ash, gubernur Mesir sekeluarga dan membantu Mu’awiyyah mengalahkan ‘Ali dalam peristiwa “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali sedangkan Mu’awiyyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr Ibn al-Ash selamat sepenuhnya ( tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr,karena rupanya mirip. (Nurcholish Madjid 1992: 205)

Selanjutnya, kembali kepada pendapat Khawarij di atas ternyata mendapat reaksi dari kalangan lainnya yang cukup keras. Diantaranya pendapat keras ini (pendapat bahwa pelaku dosa besar itu kafir), ditentang oleh umat Islam yang bersifat moderat, yang dalam sejarah Ilmu Kalam atau Teologi Islam dikenal dengan nama Mur’jiah. Berbeda dengan Khawarij, yang memandang bahwa amal atau perbuatan merupakan faktor penentu (menentukan) dalam soal iman, Mur’jiah menganggap tidak demikian. Sehingga, menurut faham Mur’jiah, selama seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat, ia tidak bisa dikafirkan, walaupun melakukan dosa besar, dia tetap mukmin. (Abuy Sodikin, 2004:123)

Kembali kepada persoalan Khawarij. Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan ekslusifistik, kaum khawarij akhirnya binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran khawarij adalah
Mu’tazilah. Kelompok inilah sebenarnya yang paling banyak mengembangkan ilmu kalam. Berkenaan dengan hal ini Ibnu Taymiyah memiliki kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ulama yang disebutnya Imam Abdullah ibn al-Mubarak.

Menurut Ibn Taymiyyah sarjana itu mengatakan demikian : Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan ahli
(pengikut) Ra’y (temuan rasional)…

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyah bahwa ilmu kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah.Salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyah. Tapi yang menarik adalah orang yang pertama kali menggunakan rasionalitas adalah Jahm bin Safwan yang justru seorang penganut Jabariyah, yaitu paham yang mengatakan bahwa manusia tidak berdaya sedikitpun jika berhadapan dengan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberikan pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti ini tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi (personal god). Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tidak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal yang universal. Dengan mengikuti pemikiran Aristoles tersebut Jahm sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat kasih sayang, pemaap dan sebagainya. Bagi mereka adanya sifat-sifat tersebut membuat Tuhan jadi ganda, jadi bertentangan dengan sifat tauhid yang ingin mereka tegakkan.( Nurcholish Madjid,1992:206-207)

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Setelah Mu’tazilah muncullah aliran baru dalam kalam yaitu aliran Asy’ariyyah. Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang pada awalnya terdidik dalam paham Mu’tazilah.Seorang pemikir lain yang ilmu kalamnya mendapatkan pengakuan sama dengan al-Asy’ari adalah Abu Mansur al- Maturidi. Keduanya dianggap oleh sebagian kaum Sunni sebagai “jalan keselamatan”.(Nurcholish Madjid,1992:208-209). Selanjutnya akan dibahas tentang beberapa aliran dan doktrin kalam sebagai tambahan informasi, Anda diisyaratkan untuk dapat memahaminya dengan lebih baik.

ALIRAN DAN DOKTRIN KALAM
1. Khawarij
Khawarij pada awalnya adalah kelompok politik yang membelot dari Ali karena merasa kecewa terhadap hasil arbitrase. Kemudian mereka menjadi kelompok aliran teologi karena pembicaraannya telah memasuki wilayah teologi. Doktrin pokok kelompok ini adalah :
a. Mereka menafsirkan al Quran dengan sangat literal dan dengan pemahaman sederhana serta kaku. Hal ini disebabkan kebanyakan mereka orang Arab Baduy.
b. Orang yang melakukan arbitrase (Ali,Muawiyah,Musa al Asy’ari,Amr bin Ash) dan yang menyetujui hal itu telah melakukan dosa besar dan kafir karena tidak melaksanakan hukum Allah. (Harun Nasution,1986:12-13)

Menurut Harun Nasution (1986:15-19) aliran Khawarij ini kemudian terpecah menjadi beberapa kelompok antara lain :
1. Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli yang pada awalnya mengikuti Ali.Bagi mereka, Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah
Nama al-Azariqah diambil dari Nafi ibn Azraq. Pengikutnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Sub-sekte ini lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi musyrik. Dalam Islam syirik merupakan dosa yang terbesar. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan yang sefaham dengan mereka pun kalau tidak mau berhijrah dianggap kafir.
3. Al-Najdat
Aliran ini diambil dari nama Najdah ibn Amir al Hanafi dari Yamamah. Pada awalnya mereka ingin menggabungkan diri dengan al-Azariqah. Pada saat itu tengah terjadi pertentangan diantara pengikut Nafi diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi yang tidak menyetujui bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Najdah dan Abu Fudaik akhirnya bergabung dan mengangkat Najdah sebagai imam baru mereka. Menurut Najdah, bahwa orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di neraka adalah orang Islam yang tak sefaham dengan golonngannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di neraka, dan kemudian akan masuk surga. Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan dapat menjadi musyrik.
4. Al-Ajaridah
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban tetapi hanya kebajikan. Kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan dan mereka tidak menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan harta rampasan perang adalah harta orang yang telah mati terbunuh. Mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari Alquran karena mengandung cinta.
5. Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Faham mereka dekat dengan faham al-Azariqah. Mereka termasuk golongan ekstrem. Mereka berpendapat bahwa orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak kafir; anak-anak kaum musyrik tidak boleh dibunuh; Tidak semua yang berdosa besar musyrik; daerah yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar al harb; kufur dibagi dua yaitu kufur bin inkar al ni’mah dan kufur bi inkar al rububiyah yaitu mengingkari Tuhan.
6. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat. Nama golongan ini diambil dari nama Abdullah ibn al-Ibad. Menurut mereka orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah muysrik tetapi kafir; daerah yang tak sefaham dengan mereka kecuali camp pemerintah adalah dar tawhid; Orang Islam yang berdosa besar adalah muwahhid-yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan kalaupun kafir hanya kafir bi al-ni’mah bukan kafir al-millah yaitu kafir agama; Yang boleh dirampas hanyalah kuda dan senjata.

2. Murjiah
Murjiah adalah kelompok teologi yang lebih memilih tidak ikut larut dalam politik atau pertentangan muslim-kafir (Harun,1986:22).Aliran ini terbagi dua yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem. Menurut golongan moderat, Orang yang berdosa besar tetap muslim dan tidak kafir tetapi akan dihukum di neraka sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya. Yang termasuk tokoh moderat ini al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf. Yang kedua adalah golongan ektrem yaitu al-Jahmiah.menurut golongan ekstrim mengatakan bahwa orang-orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang yang demikian pun tidak menjadi kafir meskipun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi, dan kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupaklan orang mukmin (Harun Nasution,1986:25-26).

3. Syiah
Syi’ah adalah kelompok teologi yang mendukung Ali secara politik dan mengakui Ali sebagai imam dan mengagungkan ahlul bait. Kata syi’ah bermakna ‘pengikut’ atau ‘penolong’. Istilah ini dipungut dari peristiwa masa lalu yaitu ketika khalifah ketiga, Usman bin Affan terbunuh yang mengakibatkan kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan yaitu syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah (Asy-Syak’ah,1994:133). Adapun doktrin atau pemikiran Syi’ah sebagai berikut :
1. Itrah (para pengganti nabi yang suci)
2. Ishmah (kesucian para imam dari dosa)
3. Wishayah (pengangkatan whasi dan wali oleh nabi)
4. Wilayah (menerima kepemimpinan seorang imam)
5. Imamah (kepemimpinan orang-orang shaleh)
6. ‘Adil (keadilan dalam semua tindakan Allah)
7. Taqiyyah (menyembunyikan, dan berhati-hati dalam masalah agama karena larangan rezim penguasa tirani)
8. Sunnah (praktik nabi suci)
9. Ghayyah (gaibnya imam mahdi)
10. Syafa’ah (pertolongan dari salah seorang 14 manusia suci pada hari kiamat)
11. Ijtihad (integrasi fatwa-fatwa hukum agama dengan evolusi dan perubahan dalam kondisi kehidupan manusia)
12. Do’a (doa dan permohonan)
13. Taqlid (Mengikuti ulama dalam masalah-masalah teknis keagamaan) (Ali Syari’ati:1995:60-61)

Menurut Syak’ah (1994:139) firqah Syi’ah telah terpecah dan terbagi-bagi menjadi sekian banyak kelompok. Kelompok tersebut antara lain:
1. Sabaiyah
Firqah Syi’ah ini adalah yang pertama menuhankan Ali bin Abi Thalib. Firqah ini dipimpin oleh Abdullah bin Saba.
2. Tawabun
Kelompok ini dipimpin oleh Sulaiman bin Surd al-Khuza’i seorang sahabat nabi yang mulia. Kelompok ini bermotif rasa simpati dan ungkapan penyesalan karena mereka merasa bersalah atas meninggalnya Husein.
3. Al-Kisaniyah
Kelompok ini berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan hak Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat demikian karena dialah yang membawa bendera dalam pertempuran Jamal.
4. Al-Mughiriyyah
Kelompok ini termasuk kelompok yang paling meyimpang karena meyakini kedatangan Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali yang dikenal dengan Muhammad yang berjiwa suci (an-nafsu azzakiyah).
4. Qadariyah
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? (Harun Nasution,1986:31). Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. (Harun
Nasution,1986:31)
5. Jabariyyah
Kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan. (Harun Nasution,1986:31)
6. Mu’tazilah
Aliran ini muncul pada awal pemerintahan Bani Umayyah (40-132 H/660-750) dan tampak sekali keaktifannya pada masa pemerintahan khalifah Hisyam dan para penggantinya (105-131 H/723-748 M) (Brill’s,1987:788). Bagaimana awal perkembangan Mu’tazilah, dan mengapa firqah ini dinamakan Mu’tazilah? Sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah salah seorang murid Hasan Bashri. Ia selalu menghadiri halaqah pengajian yang diselenggarakan Hasan Bashri di sebuah masjid di Bashrah. Suatu ketika, salah seorang murid Hasan Bashri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Bashri memberi jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafiq. Washil yang saat itu hadir merasa tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia pun menyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang mukmin secara mutlak, dan bukan pula kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar tersebut di antara dua kedudukan itu. (Asy-Syak’ah, 1994:310). Pendapat lain mengatakan, bahwa nama Mu’tazilah diambil dari sifat orang-orang yang memisahkan diri dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketaqwaan, zuhud, kesederhanaan, serta merasa puas dengan apa yang ada. Pendapat ketiga mengatakan, nama itu diambil dari pernyataan Mu’tazilah, bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah memisahkannya antara mukmin dan kafir. (Asy-Syak’ah,1994:310)
Pendapat keempat mengatakan, bahwa sikap I’tizal (memisahkan diri) telah ada sejak lama sebelum masa Hasan Bashri. Mu’tazilah adalah mereka yang tidak mau melibatkan diri dalam Perang Jamal dan perang Shiffin. Ketidakterlibatan mereka dalam dua perang tersebut adalah karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas, mana yang benar dan mana yang salah diantara dua pihak yang bertikai itu. Dalam hal ini mereka bersandar pada firman Allah:
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; Jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujarat 9)
Karena mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti antara yang benar dan yang salah, maka mereka bersikap netral. Pendapat kelima mengatakan, bahwa mazhab I’tizal adalah merupakan mazhab dari segi akidah dan pemikiran yang dikembangkan oleh Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid. Hal ini karena Washil telah belajar dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib , dan Muhammad belajar dari ayahnya. Sebagai penguat pendapat ini, Zaidiyah, salah satu firqah syi’ah, menyepakati semua ajaran akidah Mu’tazilah, kecuali dalam masalah imamah. Di samping itu, Zaid sendiri adalah murid Washil bin Atho. Pada prinsipnya, secara umum Syi’ah cenderung kepada Mu’tazilah dalam hal aqidah,dan banyak memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal ushul fiqih. (Asy-Syak’ah,1994:311) Pancasila Mu’tazilah adalah ;
1)Tauhid, yaitu meyakini bahwa Allahlah yang Maha Esa Tidak ada yang menyerupainya, 
2) Al Adl, 
3)al-Wa’du wal Waid
4)Manjilah bainal Manjilatain 
5) Amr ma’ruf nahi munkar.
7. Ahlu Sunnah wal Jamaah
Aliran ini dipelopori oleh Abul Hasan bin Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir pada tahu 260 Hijriah dan wafat pada tahun 324 Hijriyah. Ketika paham Jabariyah mengatakan bahwa Allah-lah pencipta segala perilaku manusia, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia sendiri yang menciptakannya, maka al-Asy’ari atau Ahli Sunnah mengatakan bahwa semua perilaku manusia Allah-lah yang menciptakannya, sedangkan manusia mengamalkannya sesuai dengan kesangupannya (Asy-Syak’ah:1994:385). Mengenai al-Qur’an apakah hadits atau qadim, Asy’ari berpendapat bahwa “Hendaklah dapat dibedakan antara kalamullah dengan zat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud al-Qur’an yang ada diantara kita diturunkan dalam kurun waktu” (Asy-Syak’ah,1994:385). Secara popular doktrin mereka antara lain: 
a. Mereka lebih mendahulukan wahyu daripada akal.
b. Tuhan bersifat, Alquran adalah kalamullah dan qadim.
c. Tuhan dapat dilihat diakhirat oleh mata telanjang.
d. Antropromorfisme.
e. Orang berdosa besar masih mukmin hanya saja dia menjadi fasiq.

Kajian dan Model Penelitian Ilmu Kalam Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya; lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin. Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan.

Islam khususnya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer. (M.Amin,2000:223) Jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan pendekatan critical sosial sciences dan humaniora pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah atau dogma hanya akan bermakna secara esoterik-metafisis tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini. (M.Amin,2000:236)

Dalam penelitian terhadap ilmu kalam terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian pemula dan penelitian lanjutan. Penelitian pemula adalah penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh penelitian pemula sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam dengan merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.

Diantara contoh contoh penelitian kalam pertama antara lain:
a. Model Abu Mansur Muhammad bin Mahmud al Maturidy al Samarkandi
Penelitian Samarqandi dapat dilihat dalam kitabnya yang berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini ditahkik oleh Fathullah Khalif.Dalam buku tersebut selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat al Maturidi juga diungkapkan berbagai macam persoalan ilmu kalam secara detil. Diantaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriman, pembahasan tentang alam , antropromorphisme, sifat-sifat Allah dan perbuatan makhluk.
b. Model al Imam al-Hasan bin Ismai’il al-Asy’ari
Al-Asy’ari telah membuat buku yang berjudul Maqalat al Islamiyyin wa Ikhtilaf al Musallin. Buku ini telah ditahkik oleh M. Muhyiddin Abd al-Hamid. Dalam buku ini dibahas tentang permulaan timbulnya masalah perdebatan pendapat di kalangan umat Islam disebabkan oleh perbedaan kepemimpinan. Dalam buku itu juga dibahas tentang kebolehan bagi Allah menciptakan alam, tentang al-Qur’an, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan manusia, perbuatan manusia.
c. Model Abd Al-Jabbar bimn Ahmad
Ia menulis kitab Syarh al Ushul al Khamsah. Buku ini ditahkik oleh Dr. Abdul Karim Usman. Buku ini membahas aliran Mu’tazilah secara mendalam dan mendetil.
d. Model Thahawiyah
Ia menulis kitab Syarh al –Akidah al Thahawiyah. Buku ini telah ditahkik oleh beberapa ulama dan di edit oleh Muhammad Nashir al Din al-Bayai. Didalamnya membahas pemikiran teologi aliran Salaf. Dalam buku ini dibahas tentang kewajiban mengimani apa yang dibawa Rasul, mengikuti ajaran Rasul, makna tauhid, macam tauhid, menngenai wujud yang berada di luar zat Tafsir tentang Qudrat dan seterusnya. Selanjutnya dapat disebutkan beberapa karya yang merupakan penelitian pemula atau pertama sebagai berikut:
1. Model al-Imam al-Haramain al-Juwainy
2. Model al-Ghazali
3. Model al-Amidy
4. Model al-Syahratsani
5. Model al-Bazdawi (Abuddin Nata,2008:274-277)
Seluruh penelitian pemula bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mana ajaran teologi Islam yang diambil dari Alquran dan hadits dan berbagai pemikiran tokoh teologi (Abuddin Nata, 2008:277). Selanjutnya adalah penelitian lanjutan. Dalam penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalisasi. Contoh penelitian lanjutan sebagai berikut :
a. Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-’Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat dalam penelitian ini sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi. (Abuddin Nata,2008:278)
b. Model Mustafa Ali al-Ghurabi
Ali Mushthafa Al-Ghurubi, sebagaimana Abu Zahrah tersebut, memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat dalam Islam serta pertumbuhan Ilmu Kalam di kalangan masyarakat Islam. Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin. Dalam hasil penelitiannya itu ia mengungkapkan antara lain sejarah pertumbuhan ilmu kalam,keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur Rasyidin, zaman Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologi yang muncul pada setiap zaman tersebut. (Abuddin Nata,2008:278)
c. Model Abd. Lathif Muhammad Al-Asyr
Abd Al-Lathif Muhammad Al-’Asyr secara khusus telah melakukan penelitian terhadap pokok-pokok pemikiran yang dianut Aliran Ahli Sunnah. Hasil penelitiannya ini telah dituangkan dalam karyanya berjudul al-Ushul al-Fiqriyah li mazhab ahl al-Sunnah yang tebalnya 162 halaman. Dalam buku ini antara lain dibahas tentang pokok-pokok yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dikalangan umat Islam; masalah mantiq dan falsafah, hubungan mantiq dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, bentuk dan pemikiran, pembentukan konsep, barunya alam, sifat yang melekat pada Allah azza wa jalla, nama-nama Tuhan, keadilan Tuhan, penetapan kenabian, mu’jizat dan karomah, rukun Islam, iman dan Islam, taklif (beban), Al-Sam’iyyat (wahyu atau dalil naql), Al-Imamah, serta ijtihad dalam hukum agama. (Abuddin Nata,2008:279)

Disamping model tersebut terdapat model lain sebagai berikut :
1. Model Ahmad Mahmud Subhi
2. Model Ali Sami al-Nasyr dan Ammar Jam’iy al-Thaliby
3. Model Harun Nasution


ISLAM DAN FILSAFAT ILMUDALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN

Membicarakan masalah ilmu pengetahuan dan filsafat, kita akan memperoleh berbagai pengetahuan dan hikmat. Karena ilmu akan memberikan kepada kita pengetahuan dan filsa¬fat akan memberi kita hikmat. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat meliputi lima cabang pembahasan yakni: logika, estetika, etika, politika dan metafisika. Dengan jelas dapat kita amati bahwa bersama perjalanan waktu ilmu pengetahuan berjalan maju dengan pesatnya, sementara filsafat berjalan lambat dan pelan. Ha1 ini disebabkan karena filsafat lebih banyak memikul beban yang berat dari pada ilmu. Karena tugas filsafat adalah menyelesaikan porsoalan ¬persoalan yang belum mendapatkan penyelesaiannya dalam bidang ilmu/dalam lapangan ilmu. 

Diantara persoalan persoalan pelik yang harus diselesaikan filsafat adalah penentuan mana yang baik mana yang buruk, disamping filsafat juga mencari dan menentukan sampai dimana batas kebebasan, dan lebih dari itu iapun membicarakan masalah masalah hidup dan mati. Oleh sebab itu setiap ilmu sebenarnya selalu dimulai dengan filsafat dan berkesudahan sebagai seni. Ia tumbuh dalam hypothesis tinjauan ilmu dan terus mengalir menurutkan arus kemajuan. Sedangkan filsafat adalah sebagai interpretasi dari sesuatu yang belum dikenal dengan sungguh sungguh sebagai adanya dalam lapangan etika dan filsafat politik, jika keduanya menjadi terang, maka sesungguhnya yang membawanya ke tempat terang adalah filsafat sehingga menjadilah ia ilmu. Itulah sebabnya ilmu dikatakan dimulai dari filsafat dan berakhir sebagai seni.

Para sarjana muslim telah membawa filsafat ke tengah gelanggang Islam untuk menyuluhi isi al-Qur’an dan untuk membawanya ketempat terang guna menyinari akal manusia dan kemudian memtiknya sebagai ilmu. Dalam hal ini filsafat diumpamakan sebagai garis peran terdepan untuk mengepung dan menaklukkan kebenaran, sedangkan ilmu diumpamakan sebagai daerah yang telah diduduki oleh filsafat. Di belakang daerah pendudukan terdapat daerah aman dimana ilmu dan seni menyempurnakan ketidaksempurnaan kita dalam dunia yang penuh dengan serba aneka keajaiban. Thooreau mengatakan: Bahwa menjadi filosof bukan berarti mempunyai pikiran besar dan tidak pula karena mendirikan perguruan filsafat, akan tetapi filosof adalah orang yang mencintai kehidupannya. 

Seorang filosof adalah orang yang senantiasa mencari hikmat kabenaran. Kebenaran tidaklah menjadikan orang yang memilikinya kaya, akan tetapi kebenaran menjadikan orang yang mg milikinya bebas. Pada abad modern ini “fakta” telah menggantikan mus¬yawarat, pengetahuan telah terpecah pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang tidak lagi merupakan hikmat. Setiap ilmu dan juga cabang filsafat telah
berkembang menjadi terminologi yang hanya didukung oleh pemujanya masing masing.

Di tengah tengah perkembangan ilmu yang belum pernah terjadi sebelumnya tumbuh dengan subur takhayul takhayul lama yang selama ini telah kehilangan lahan. Agama baru lahir di mna mana, sehingga bermunculanlah pemimpin pemimpin agama yang mereka pilih sendiri. Di antara sekian banyak pemimpin agama ada yang berilmu dan ada yang sekedar sebagai pemimpin. Karena kondisi yang demikianlah filsafat Islam ditulis dengan harapan dapat menerangi jalan yang gelap, dan juga dapat menutup jurang pemisah yang kian hari kian dalam. Pada kondisi yang demikian kedudukan intelek Islam di. rasa semakin bertambah penting dalam masyarakat.

Ilmu berkembang begitu pesat, telescope telah membuka dataran bintang dan menceritakan kepada orang apa yang sebelumnya tidak terdapat dalam fikiran manusia. Fisika telah menemui alam ini dalam bentuk bentuk atom, biologi telah menemukan microcosmos microcosmos dalam sel sel yang sebelum¬nya merupakan benda ghaib. Antropologi telah membongkar terus menerus kota kota yang telah hilang ribuan dan jutaan tahun di ma silam, sementara itu sejarahpun tak bosan bosannya menguak segala kepalsuan yang dituliskan oleh ahli-ahli sejarah lama.

Sudah sedemikian jauh ilmu pengetahuan manusia berjalan, dan sudah sedemikian pesat perkembangannya, akan tetapi semuanya itu hampir tidak nampak rahmat yang dibawa¬nya bagi kemanusiaan. Dunia senantiasa berada dalam ketegangan yang sewaktu waktu dapat membawa kepada pergolakan yang menghancurkan kepada sesuatu yang telah dicapai ilmu. Pemecahan ilmu menjadi bagian bagian kecil telah menyebabkan hilangnya pengaruh hikmat, manusia telah menilai sesuatu menurut benda yang mengelilinginya. Ilmu pendidikan sosiologi senantiasa dengan yakin mengatakan bahwa sesuatu itu dipengaruhi oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Akan tetapi para penagkap ikan yang tidak berilmu selalu menangkap ikan di laut yang rasanya senantiasa tawar sedangkan ikan ikan itu berpuluh bahkan beratus tahun tinggal di dalam lautan garam. Karena demikianlah perasaan kepercayaan kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari ilmu. Demikian juga filsafat, jikalau tidak disandarkan kepada kebesaran Tuhan niscaya tidak akan membawa faedah dan manfaat apa apa bagi umat manusia.

Dengan demikian tinggallah harapan kita semua kepada para filosof yang senantiasa mencari kebenaran, dan kemudian mempertahankan kebenaran itu, yaitu kebenaran yang tidak mencari kekayann akan tetapi memperoleh kebebasan. Hal demikian menjadi lebih penting dimana pengetahuan kemanusiaan menjadi terlalu besar untuk dimuatkan dalam fikiran manusia. Dalam kondisi seperti itulah manusia harus kembali kepada kebenaran yang mutlak dan absolut yaitu kebenaran Allah Tuhan semesta alam. Dimana kebenaran mutlak itu telah dituangkan dalam firmannya yang berupa al-Qur’an sebagai landasan dasar Islam yang sekaligus merupakan sumber hukum dan sumber ilmu pengetahuan. Melihat realita perkembangan ilmu pengetahuan dan dengan sedikit mengkhawatirkan akan terlalu jauhnya penggunaan akal tanpa diimbangi keimanan dan keyakinan akan kekuasaan Tuhan, maka tulisan ini akan mencoba mengungkapkan betapa harus adanya keterkaitan antara agama dan i1mu pengetahuan dan juga filsafat sebagai pencari kebenaran demi tegak teguhnya kesela¬matan manusia dari bahaya terlalu mempertuhankan akal.

II. ISLAM DAN FILSAFAT ILMU

A. Islam Adalah Agama Akal

Ungkapan itu memiliki arti bahwa Islam adalah agama akal (adalah tidak dibebani syarai’at agama orang yang tidak berakal) Al Hadits. Hal ini menunjukkan bahwa betapa Islam sangat menghargai akal fikiran manusia yang merupakan tempat menampung ilmu pengetahuan dan sekaligus ia yang membedakan antar manusia dengan makhluk yang disebut binatang. Di dalam al Qur’an cukup banyak ayat ayat yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan orang orang yang memilikinya. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat 11 A1 Mujadalah ayat 11:
Bahwa Allah akan mengangkat derajat orang orang yang beriman diantara kamu dan orang orang yang berilmu dengan beberapa derajat. (QS. Al Mujadalah: ll)

Katakanlah apakah sama orang orang yang mengetahui dan prang orang yang tidak mengetahui (Q.S. Az-Zumar: 9), dan bahkan ayat ayat yang pertama tama turunpun memerintahkan manusia untuk membaca, membaca dap membaca, bukankah didalamnya dikandung maksud agar manusia itu belajar, berilmu dan tidak bodoh, dan agar nampak perbedaan antara manusia dengan jenis makhluk lainnya manusia dituntut un¬tuk menggunakan akalnya. Hanya persoalannya, pengetahuan mana harus kita ketahui terlebih dahulu dan mana yang kemudiannya, dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengetahuan itu?, masalah ini sudah lama dipersoalkan.Socrates, Plato dan juga Aristoteles misalnya telah membahasnya secara panjang lebar. John Lock seorang filosof yang sangat banyak pengaruhnya setelah renaisans Eropa telah menjadikan teori pengetahuan sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Bahwa ia menganggap keliru untuk membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan. Menurutnya sebelum berpikir, masalah masalah pemikiran itu harus diselesaikan terlebih dahulu. Sebelum bekerja alat alat kerja harus diselesaikan terlebih dahulu. Sebelum or¬ang mencangkul tanah, cangkul harus diselesaikan terlebih dahulu.

Sedangkan masalah pengetahuan yang menurut John Lock harus diawali dengan teori tersebut, menurut sejarah filsafat dapat diperoleh melalui beberapa sumber diantaranya:
a. Pengetahuan itu dibawa lahir bersama kelahiran manusia
b. Atau diperoleh dari budi
c. Atau diperoleh. dari indera indera khusus yaitu pendengaran, penglihatan, ciuman, dan rabaan.
d. Atau berasal dari penghayatan langsung atau ilham.

Bentuk pengetahuan yang sangat sederhana adalah sekedar kesadaran, seperti apa yang berlangsurag kepada suatu organimme ketika ia disinggung atau dipengaruhi oleh suatu obyek, apabila organisme mulai memberikan jawaban terhadap suatu ransangan, sesudah itu memberikan response khusus terhadap suatu situasi, maka situasi itu mulai menganndung makna. Misalnya ia menarik, memberi harapan, atau mengancam. Hubungan yang timbal balik itu dapat disebut sebagai perkenalan. Sesudah itu datanglah bahasa dengan nama nama barang dan kejadian, istilah yang abstrak, penilaian dan penuturan. Interaksi dengan lingkungan menghasilkan pengalaman. Pengalaman itu menjadi dasar dan dapat meningkat menjadi situasi baru tertentu. Situasi dapat diolah oleh budi, dikontrol atau dikuasai.

Pengalaman dasar inilah yang kemudian disebut dengan pengetahuan, yang selanjutnya diklasifikasi, diungkapkan dengan bahasa, dan dikodifikasi dalam istilah istilah ilmu. Masalahnya tidak berhenti sampai disini, sebab setelah orang memiliki apa yang disebut pengetahuan ia masih akan mempertanyakan apakah pengetahuan yang dimilikinya i¬tu benar, dan apakah sebenarnya kebenaran itu? Dijelaskan di sini bahwa berbagai macam pengertian kebenaran akan menjadi jelas apabila kata itu kita hadapkan kepada lawannya
dan kita susulkan artinya, seperti misalnya:
a. Benar lawan salah
b. Benar lawan seolah olah atau rupanya
c. Benar lawan dibikin bikin, dusta, khayalan, atau andai¬kata
d. Benar lawan dalam arti sungguh sungguh, lawan kemungkinan atau rupanya.
e. Benar dalam arti asli, lawan pemalsuan, atau tidak co¬cok dengan spa yang dikatakan tentang dia.
f. Benar dalam arti tepat, lawan tidak terjabarkan dari bahan bahan yang diberikan.
g. Benar dalam aeti kepastian, lawan tidak mengandung daya meyakinkan.

Beragam pengertian tentang kebenaran menggunakan lambang yang sama bahwa kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahunn dan apa yang jadi obyeknya. Yaitu apabila ter¬jadi persesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa masalah kebenaran adalah masalah hubungan antara ide ide kita dengan dunia realitas.

B. Ilmu dan Filsafat
Kata orang bijak diatas menjelaskan bahwa dilihat dari sisi pengetahuannya manusia dibedakan menjadi 4 macam yakni:
1. Orang yang berilmu dan tahu bahwa dirinya berilmu, maka itulah orang pandai, karenanya ikutilah dia.
2. Orang yang berilmu tapi dia tidak tahu bahwa dirinya berilmu, dan itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah dia.
3. Orang yang tidak berilmu, akan tetapi dia tahu bahwa dirinya tidak berilmu, dan itulah orang yang mencari petunjuk,
maka ajarilah dia.
4. Orang yang tidak berilmu, dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, itulah orang bodoh, maka tinggalkanlah dia.

Dalam kaitannya dengan kata orang bijak di atas, mari kita dengarkan dialog antara seorang awam dengan ahli filsafat. Berkata orang awam kepada seorang filosof . Tolong sebutkan kepada saya ada berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya! Filosof itu menarik nafas panjang kemudian berpantun:
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya

Kemudian ada orang awam itu bertanya lagi, lalu bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?, dengan tenangnya sang filosof itu menjawab: itu mudah, kemudian dilanjutkan dengan berungkap:“Ketahuilah apa yang kau tahu, dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”, lalu filosof itu melanjutkan pembicarannya dengan mengatakan, bahwa pengetahuan dimulai dengan ragu-ragu and kepastian dimulai dengan ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang sudah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seolah tanpa batas ini. Demikian pula berfilsafat berarti mengoreksi diri, memiliki keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dapat dijangkau.

Sedangkan ilmu merupakan pengetahunn yang kita gumuli semenjak kita mampu berfikir sampai kita menelusuri lorong lorong Perguruan Tinggi. Berfilaafat tentang ilmu berarti kita berani berterus terang terhadap diri sendiri, apakah sebenarnya yang saya ketalui tentang ilmu, apakah ciri cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya yang bukan ilmu, bagaimana saya ketahui bahwa i1mu merupakan pengetahuan yang benar, kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah, kenapa ilmu mesti kita pelajari, apa guna dan faedahnya dan seterusnya.

Demikian pula berfilsafat berarti berendah hati untuk mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita miliki. Apakah ilmu telah mencakup segala pengetahuan yang ha¬rus saga ketahui di dalam kehidupan ini?, Dibatas mana ilmu mulai dan di batas mana ia berhenti?, Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini?, Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu?, dan jika aku ingin mengetahui kekuranganmu sama sekali bukan untuk merendahkanmu namun secara sadar untuk lebih jujur dalam mencintaimu.

Dengan uraian di atas tentang ilmu dan filsafat, ma¬ka kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa filsafat berbicara tentang ilmu. Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling tumpang dinding.  Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukunya di dalamnya ilmu. Walaupun apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula adanya bagi seorang filosof. Hanya saja perlu diingat bahwa satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh seorang filosof adalah mencoba memberitahukan kepada seorang ilmuwan mengenai apa yang harus ditemukannya. Karenanya seorang yang berfilsafat diumpamakan seba¬gai seorang yang kakinya herpijak di bumi dan sedang tengadah ke bintang bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirt nya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir yang pertama adalah sifat menyeluruh seorang ilmuwan yang tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat ilmu dari konstelasi pengetahuan yang lainnya, dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dan dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya, dan seterusnya.

C. Agama (Islam) Dan Filsafat Ilmu

Islam agama wahyu yang dibawa oleh Nabi besar Muhammad SAW. lahir di tengah tengah kebodohan bangsa Arab yang mengikuti beraneka ragam agama dan suku bangsa yang sifatnya khash, atau barangkali lebih tepat untuk dikatakan sebagai “politheisme”. Berabad abad mereka berkelana di padang gurun menyaksikan gejala gejala keajaiban yang kemudian mereka jadikan obyek pemujaan. Dalam kondisi semacam itulah Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari bahaya kesesatan, ia telah menyobek ketidaktahuan politheisme. 

Cahaya Tuhan merekah melalui wahyu wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW dengan menerima perintahnya yang pertama sebagai berikut: Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menjadikanmu dari segumpal darah, Tuhanmu yang Maha Mulia, yang telah mengajarmu dengan kalam, mengajar manusia dati apa apa yang belum diketahuinya. Dalam semua agama terdapat perubahan dan merekahnya cahaya Tuhan Yang MaHa Esa itulah berkat pewartaan para Nabi. Akan tetapi apa yang diperbuat oleh Nabi Muhammad bukanlah sekedar mengobarkan api wahyu Tuhan yang tertutup oleh agama-agama Arab pada masa ketidaktahuan, melainkan pula membulatkan karya para Nabi sebelumnya. Agama yang dibawanya mengajak manusia kepada penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa (Islam). Umat
beriman dipanggil untuk melibatkan diri secara aktif dalam mengentaskan manusia dari jurang kemiskinan dan
kebodohan. 

Aktifitas itu nampak dalam bantuan yang diberikan kepada manusia ketika Nabi pernah ditanya: Perbuatan mana yang pantas disebut Islam yang paling baik, maka Nabi menjawab: “Bila kamu memberi makan kepada orang yang kelaparan dan menyebarkan perdamaian antara kenalan dan orang asing.”

Ciri khash Islam adalah arahnya yang fertikal. Kemudian dan transendentasi Tuhan Yang Maha Esa merupakan pusatnya.Vertikalisme ini mempunyai tiga aspek, pertama: A¬gama Islam berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi semua agama, kedua: Bagi pemikiran Islam modern vertikalisme tadi menimbulkan pertanyaan pertanyaan, bagaimana hal ini dapat diserasikan dengan masalah masalah horisontal di dalam masyarakat modern seperti misalnya organisasi sosial, kedudukan wanita, pengakuan terhadap nilai nilai modern dan reterusnya. Ketiga: Kedua aspek tersebut di. atas berjumpa dalam ketegangan antara teologi dan filsafat sebagaimana kita saksikan dalam dunia pemikiran Islam. Dalam filsafat Islam lebih dari kalangan kalangan agama lainnya masalah hubungan antara agama dan filsafat dirasa cukup menonjol. Di lihat dari satu sisi hal ini justru akan menghambat per¬kembarigan filsafat itu sendiri.

Sedangkan filsafat i1mu yang merupakan penyelidikan tentang pengetahuan ilmiah dan cara cara untuk memperolehnya, adalah sematan mata menggunakan akal sebagai modal dasarnya. Sehingga penyelidikan mengenai cara-cara memperoleh pengetahuan ilmah tidak bersangkutan dengan proses-proses kejiwaan yang terdapat pada penyelenggara ilmu seo¬rang demi seorang. Juga tidak bersangkutan dengan syarat syarat dan lingkungan yang ditentukan lebih lanjut oleh penyelenggara ilmu secara umum, melainkan bersangkutan deng¬an susunan logika serta metodologik. Oleh karena itu menurut Rene Descartes yang dikutip dalam bukunya “Sari Sejarah Filsafat Barat” oleh Harun Hadiwijono, dikatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Ilmu pasti menjadi satu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju.

Logika sebagai sarana menangkap ilmu pengetahuan me¬nurut Hegel permulaannya ialah ada, itu amat umum, tetapi juga amat tak berisi. Selama “ada” itu tak mempunyai barang sesuatu ketentuan maka samalah ada itu dengan tak ada. Ada itu thesis dan muncullah tak ada sebagai antithesis, maka adalah antithesis yaitu menjadi. Demikianlah menjadi itu menurutnya paduan dari thesis dan antithesis antara ada dan tak ada. Oleh karena pemikiran kefilsafatan demikian mengandalkan akal fikiran manusia sebagai modal dasarnya, sementara apa yang disampaikan oleh agama tidak selamanya dapat diakalkan, maka sering terjadi ketegangan antara pemikiran filsafat dan dogma agama. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada abad abad pertama sebelum hijrah timbul aliran Mu’ta¬zilah yang ingin memerangi filsafat Yunani justru dengan menggunakan metode filsafat, sehingga golongan ini disebut rasionalis. Beberapa dalil yang oleh kalangan Islam ortodok dianggap sebagai menyimpang dari ajaran murni yang mereka ajarkan ialah, pertama: Manusia berkemauan bebas, karena tanpa adanya kemauan bebas mustahil menyusun etika. Kedua: mereka berpendapat bahwa al Qur’an diciptakan di¬dalam waktu, akhirnya bahwa sifat sifat Tuhan identik de¬ngan zat-Nya. Maksud meteka ialah membuka jalan bagi suatu analisa rasional, dan pembahasan tentang Tuhan serta patokan patokan tentang iman yang telah terikat waktu.

Dengan mengingkari keabadian al Qur’an mereka mungkin tidak ber¬maksud untuk menisbikan ajaran agama, melainkan justru mengaktualkannya. Bahwa kebenaran bersifat abadi mungkin harus ditafsirkan demikian, bahwa pada jaman jaman berlainan “kebenaran” itu harus ditafsirkan berlainan pula. Bagaimanapun ajaran Mu’tazilah telah mewariskan nilai nilai positif, karena mereka telah mewariskan kepada ahli ahli pikir di kemudian hari masalah tentang otonomi filsafat, walau¬pun pada akhir abad kesembilan pengaruh Mu’tazilah berakhir dan ajaran moreka dilarang. 

Ibnu Sina searang filosof terkenal telah membedakan antara zat Tuhan yang niscaya dengan dunia ciptaan yang tidak niscaya. Ia membedakan antara esensi (zat, hakekat sesuatu) dan eksistensi (adanya sesuatu, wujudnya), segala eksistensi bersumber pada Tuhan. Dengan demikian Ibnu Sina membedakan antara zat dan wujud, namun menurutnya sebagian dari keniscayaan eksistensi Tuhan itu terlimpah pada dunia ciptaan, sehingga dunia ini dapat dikenal secara rasional. Ia bahkan juga menarik suatu kesimpulan bahwa dunia bersifat awali, dan abadi tanpa awal dan tanpa akhir. Menurutnya dunia tidak beraval dalam waktu. Menurutnya menerima awal itu menurut zatnya. Maka tidaklah heran bahwa ajaran-ajaran serupa itu akan menimbulkan perlawanan dari ahli ahli teologi Islam seperti al-Ghazali yang menyerang Ibna Sina dengan tajam dalam bukunya A1 Tahafut Al-Falsafah, Ghazali membela patokan-patokan agama yang diwahyukan seperti kebebasan Tu¬han dan terciptanya dunia dalam waktu. Tuduhannya terhadap Ibnu Sina bahwa dia menilai penalaran filsafat lebih tinggi daripada ajaran agama, menunjukkan bahwa ketegangan yang antara filsafat dan religi belum dapat diselesaikan. Disam¬ping di dalam kalangan Islam sendiri muncul aliran mistik (sufi) di atas suatu teori mengenai kenyataan mereka menempatkan kontak langsung dengan keindahan yang tercapai lewat kemiskinan, kerendahan hati serta kesepian, manusia, dapat manunggal dengan Tuhan.  Pandangan mereka secara tidak langsung didukung oleh filsafat Ghazali dengan serangan¬nya terhadap kaum filosof. Demikian gambaran sekilas apa yang terjadi dari ketegangan ketegangan yang terjadi antara kaum filosof di satu pihak dan kaum teolog di pihak 1ain.

III. ISLAM, ILMU DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

A. Islam dan Ilmu Pengetahuan

Islam yang agama samawi itu diturunkan ke bumi diantara missinya adalah untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan kepada terangnya cahaya ilmu pengetahuan. Hal itu tertuang dalam firman Allah: Melalui sejarah dapat kita kenali bahwa runtuhnya kerajaan Romavi Barat pada abad kelima masehi mengakibatkan merosotnya kehidupan pada umumnya, yang tergambar, pada¬ berkuasanya suku suku Barbar di dalam emperium tersebut. Pada masa itu dan berkepanjangan sampai abad kesebelas Masehi, sejarah teah menyebutnya negara Barat sebagai “Zaman Pertengahan yang gelap”, dimana Eropa ditutupi oleh awan tebal dan kemunduran peradaban, yang tergambar pada tabir teba1 antara akal manusia dan dunia sekelilingnya, dan menganggap bahwa ilmu-ilmu keduniaan mengangkat derajat manusia, bertentangan dengan keimanan mereka (Kristen).

Pada waktu negara Barat dalam kegelapan seperti itu justru negara Timur dalam kondisi yang sebaliknya, yaitu semenjak kebangkitan Islam pada abad keenam masehi, dengan Islam manusia memperoleh kembali kehormatannya dan terbebas dari kebiadaban jahiliah. Sehingga selama lima abad dari abad ketujuh sampai abad keduabelas Islam dapat menguasai dunia dalam segi kekuatan, sistem, kekuasaan, dan dengan meningkatnya tingkat hidup, kajian ilmiah, sastra, sins, kedokteran dan filsaafat. Dunia Barat waktu itu mulai berhubungan dengan dunia Islam yang sudah berperadaban tinggi mulai permulaan abad keduabelas masehi melalui jembatan peradaban Islam ke dunia Barat yang terkenal seperti Andalusia dan Sisilia.

Pendidikan Islam sangat menekankan ilmu ilmu agama tetapi melalui bentuk bentuk pengetahuan lain, mulai dari keadilan Tuhan sampai ilmu farmasi. Islam memandang pengetahuan seba¬gai sesuatu yang suci, sebab semua pengetahuan pada akhir¬nya menyanglcut semacam aspek dari manifestasi Tuhan kepada manusia. Pandangan yang suci tentang pengetahuan inilah yg mewarnai keseluruhan sistem pendidikan Islam sampai hari ini. Dimana orang orang Islam melihat ada dua jalan yg terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan formal, yaitu yang pertama melalui kebenaran yang diwahyukan, yang sesudah diwahyukan dipindahkan dari generasi kegenerasi berikutnya, yang disebut (‘Ulum al Naqiah), dan yang kedua adalah pengetahuan ynng diperoleh melalui kecerdasan atau akal yang diberikan Tuhan kepada manusia pada tahap inte1ek dan rasio yang disebut (‘Ulum al ‘Aqliah). Kedua ilmu tersebut disebut dengan ilmu perolehan yang harus ditambahkan dengan hikmah dan perasaan yang disebut dengan ilmu al Huzuri.

Pada abad ke 19 ini. orang orang Islam dihadapkan lagi kepada serangan ilmu ilmu Barat yang mengancam jenjang ilmu-ilmu dalam Islam dan keseimbangan dalam sistem pendidikan¬nya, yang apabi1a orang-orang Islam tidak waspada maka pada gilirannya akan membawa kehancuran yang belum pernah terjdadi dalam sejarah Islam sebelumnya.

Pada zaman modern yang diawali dengan renaisance, yaitu suatu gerakan yang didorong oleh cita cita akan lahirnya kembali manusia yang bebas tanpa mau diikat oleh dogma spiritual apapun, maka filsafat yang semula menyatu dengan agama menjadi memisahkan diri dari agama. Karena menurutnya bahwa filsafat adalah akal pikir dan pengalaman, sedangkan agama adalah keyakinan dan dogma. Yang berakibat selanjutnya bahwa kehidupan menuju kepada sekularisme dimana masalah masalah keagamaan mutlak dipisahkan dengan masalah masalah keduniawian.

Ilmu ilmu seperti fiqh, tasawuf dan ilmu kalam adalah jenis jenis ilmu keagamaan, olah karena itu tidaklah aneh apabila ilmu ilmu tersebut berbenturan dengan filsafat dan berusaha menyingkirkan filsafat dari kehidupan. Yang pada akhirnya agama berhasil mengalahkan filsafat dan mengharamkan pemikiran filsafat, serta menuduh kaum filosof sebagai orang orang kafir dan atheis. Akan tetapi sebagian peneliti sejarah filsafat lupa bahwa filsafat ditegakkan atas dasar ilmu pengetahuan dan alam bukan at:as dasar agama. Filsafat memang mencurahkan perhatiannya kepada semua alam wujud, untuk memperoleh petunjuk meyakinkan tentang eksistensi zat yang menciptakannya, sehingga ia disebut “ilmu ilmu Illahi”, sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles. Oleh karena itu setiap filosof pasia menguasai ilmu pengetahuan tentang alam dan metafisika, akan tetapi tdak semua yang mengetahui ilmu pengetahuan tersebut pasti filosof, jika ia hanya berhenti pada ilmu pengetahuan tertentu yang menjadi spesialisasinya. Oleh karena itu para filosof Islam seperti; A1 Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, disamping sebagai filosof adalah mereka itu menguasai berbagai macam disiplin ilmu, seperti astronomi, kedokteran dan lain lain. Namun setelah abad keenam Hijrah orang merasa telah cukup membahas masalah masalah filosofis yang diwarisi dari para pendahulunya tanpa bertopang pada alas ilmu pengetahuan yang melahirkan filosofis itu sendiri. Dengan demikian maka putuslah hubungan antara filsafat dengan bumi tempat berpijaknya semula yang telah memberi “umpan” dan mengalirkan “darah” ke dalam tubuhnya., Akhirnya filsafat hanya men jadi kepala yang tanpa tubuh, kemudian mati dan baru bangkit kembali setelah bangsa Timur kembali bertekad untuk menguasai lagi ilmu pengetahuan. Akan tetapi kini pertarungannya bukan filsafat dengan agama, melainkan pergulatan sengit antara ilmu pengetahuan melawan agama, yang bisa dibilang masih berkobar hingga kini.

Agama, ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi dan ekonomi merupakan hal hal yang menjadi ciri peradaban bangsa bangsa di dunia, yang satu lama lain saling mengisi dan mempengaruhi. Agama, filsafat dan ilmu dahulu pernah memainkan peranan penting dalam pentas peradaban Islam. Ketika itu filsafat dalam pertarungannya mempergunakan senjata ilmu pengetahuan. Kemudian setelah tiga unsur tersebut menemukan persesuaian dan keserasian maka berkembanglah peradahan Islam. Negara negara Islam bertambah kokoh dan kuat sehingga wilayah kekuasaannya meluas dari India di Timur sampai ke Andalusia di Barat. Namun kemudian seteah filsafat di singkirkan dari pembahasan dan penelitian sebagai jenis ilmu, dan setelah mereka yang hidup pada zaman berikutnya membatasi kegiatan hanya sampai pada penguraian buku buku yang ditulis oleh para pendahulunya, filsafat Islam semakin melemah dan terpental keluar gelanggang

B. Perkembangan Ilmu Menuntut Pengembangan Pendidikan

Orang sering menganggap bahwa ilmu itu sebagai suatu kesatuan di luar dan di atar waktu yang terdiri atas himpunan-himpunan petunjuk petunjuk dan pernyataan pernyataan. Ketika pandangan mengenai ”filsafat abadi” disisihkan oleh pandekatan historis, maka ilmu mulai mengambil alih tempat kosong itu. Pandangan itu selah karena justru dari warsa terakhir ini makin menonjol kenyataan bahwa ilmu tidak ada di melainkan berubah. Pertama dalam arti yang lebih sederhana bahva tidak ada ilmu yang selesai. Oleh karea ia sebagai ilmu apabila merupakan obyek yang selalu dipertanyakan dan akan selalu dipertanyakan tidak pernah mengenal titik henti, dan ia memiliki alasan alasan tertentu kenapa dipertanyakan.

Para ilmuwan akan selalu dapat mengembangkan ilmunya lebih lanjut, karena ilmu bukan ibarat sebuah rumah dengan dasar abadi yang sepanjang sejarah hanya dilengkapi dengan tingkat tingkat baru. Strulkur ilmu bahkan apa yang disebut pokok ilmu mengalami perubahan, dimana pendapat ini berdasarkan dua segi peneropongan dalam penyelidikan. Pertama: Sejarah mengenai. penyelidikan ilmu ilmu membawa kita kepada pengertian bahwa bagi ilmu yang sama, arti istilah yang dipergunakan berbeda bada pada waktu yang berlainan. Sebagai contoh arti lurus untuk geometri euklidis dan geometri nereuklidis, psikologi klasik behavioristis dan psikologi masa kini dan seterusnya. Kedua, karena pengaruh antropologi budaya, sejarah kebudayaan dan sejarah ide ide, maka timbul apa yang baru disebut sebagai ilmu baru yang disebut “Kulturologi”.

Secara radar kita mengakui bahwa bagaimanapun orang akan selalu memikirkan pendidikan anak anak dan generasi mendatang mereka. Karena dorongan dorongan keprihatinan itu maka secara tidak mendalam kadang-kadang sering tanpa desain generasi demi generasi kita mengupayakan bagaimana mengupayakan tempat dalam masyarakat untuk anak anak dan gene¬rasi mendatang, kendatipun mereka tidak selalu sadar apa yang harus mereka lakukan, mereka merencanakan pendidikan dan dalam arti tertentu mengkontruksikan filsafat untuk itu. Dilihat dari segi ini maka filsafat pendidikan dapat dipandang sebagai suatu rencana atau gagasan untuk memungkinkan masing musing generasi penerus memenuhi dirinya mengembang dan potensi potensinya dan mengambil tempatnya dalam suatu masyarakat dan dunia yang terus dan akan terus berubah dan yang semakin komplek serta membingungkan. Oleh karena maksud maksud pendidikan selalu berhubu¬ngan dengan maksud maksud dari kehidupan, maka maksud dari pendidikan tidak dapat dimengerti secara terpisah dari kehidupan itu sendiri. Sehingga dapat diungkapkan bahwa filsafat hidup yang memadai adalah merupakan prasyarat dari suatu filsafat pendidikan yang sehat. Karena salah satu tugas penting filsafat semenjak jaman Yunani sampai sekarang adalah merumuskan obyektif obyektif dan isi dari suatu kehidupan yang memuaskan. Sedangkan tugas pendidikan adalah menuntun pertumbuhan dan perkembangan diri anak didik agar mereka menjadi. warga negara yang kompetens dan berjiwa kemasyarakatan, sehingga mereka akan mampu berbuat untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk tujuan tujuan sempit (dirinya sendiri).

Langkah pertama yang harus diambil dalam memperbaiki proses pendidikan dalam sistem pendidikan yang dilaksanakan di negara-negara Islam adalah berusaha membina filsafat pendidikan yang menyeluruh, realistik dan fleksibel yang mengambil landasan landasan dan prinsip prinsipnya dari prinsip prinsip dan ajaran Islam yang mulia. Akidahnya berkaitan dengan watak alam, manusia, masyarakat serta kehidupan, dan juga hubungan elemen elemen ini satu lama lain disatu segi, dan hubungannya dengan penciptanya di segi yang lain, juga yang berhubungan dengan watak ilmu pengetahuan manusia, watak nilai nilai moral dan watak proses pendidikan serta fungsinya dalam kehidupan. 

Penentuan filsafat pendidikan terhadap sistem pendidikan manapun, dimana pencipta penciptanya menginginkan kemajuan dan keteguhan bangunan serta asasnya dianggap sang¬at penting bagi sistem itu dan merupakan langkah utama kearah perbaikan. Agama Islam disamping sebagai agama akal yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, maka sesuai dengan missinya, ia adalah penyempurna akhlak manusia. Hal ini ditegaskan dengan sabda Nabi SAW: Bahwa sesunggnnya aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan ahlak manusia. (A1 Hadits) 

Bahwa Islam telah menetapkan akhlak memiliki nilai penting dalam kehidupan ini, yang ketinggalan derajatnya terletak dibawah derajat iman yang memiliki rukunnya yang enam itu. Karena justru akhlak ada1ah merupakan salah satu buah iman dan ibadat. Dimana tidaklah sempurna iman dan ibadah seseorang apabi¬la dari keduanya tidak melahirkan akhlak yang mulia. Begitu penting dan luhurnya kedudukan akhlak ini sampai sampai Allah telah memuji kemuliaan akhlak utusannya dengan firmanNya dalam surat A1 Qalam ayat 4:
Sesungguhnya engkau Muhammad yang memiliki akhlak yang agung. Akhlak yang ditetapkan sebagai buahnya iman seseorang memang layak untuk mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan, terlebih menyongsong abad globalisasi dimana bangsa Indonesai dengan budayanya yang berbeda dari budaya Barat, dituntut untuk mampu duduk sejajar dalam berbagai persoalan kehidupan. Sungguh masa depan bangsa ini perlu diterawang dengan keprihatinan dan upaya untuk senantiasa menyelipkan ajaran agama dalam setiap sisi proses pendidikan, karena pendidikan memandang manusia sebagai obyek dan sekaligus subyek pendidikan. 

Sebagai obyek, karena ia menjadi sasaran pendidikan terutama dalam kapa¬sitasnya sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Sedangkan ciri dari perkembangan dan pertumbuhan itu menjadi perhatian pendidikan untuk dipengeruhi dan diarahkan.

C. Islamisasi Pengetahuan

Teknologi yang lahir sebagai anak kandung ilmu pengetahuan telah menyeret manusia kepada berbagai macam pertbahan dalam tata hidup dan kehidupan. Dalam masa transisi inilah ibarat seorang bocah yang sedang mengalami kegoncangan dalam berbagai sisi kehidupan, ia harus senantiasa mendapatkan arahan arahan untuk memperoleh kehidupan masa depannya yang stabil mantab dan penuh kedewasaan. Arahan-arahan itu tidak ada lain kecuali agama (Islam) agama yang kebenarannya mendapat pengakuan Allah SWT.

Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beraga¬ma Islam ini tentunya secara lambat tapi pasti ingin mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dengan warna Islam, atau dengan kata lain Islamisasi pengetahuan. Epistemologi Islam atau teori pengetahuan Islam me¬rupakan titik central dari pandangan dunia Islam. Ia menjadi tolak ukur yang sangat menentukan hal hal apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin untuk diketahui akan tetapi lebih baik untuk dihindari, serta apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui.

Konsep Islam tentang pengetahuan pada awalnya telah membentuk cara cara pemikiran yang khash Islam, serta telah melahirkan ciri ciri utama peradaban Islam. Pengetahuan Islam juga telah menunjukkan jalan yang paling baik dalam memandang realitas serta membentuk dan mengembangkan manyarakat Islam yang adil dan telah menjadi perekat yang menautkan masyarakat Islam dengan lingkungannya, serta telah menjadikan Islam sebagai agama yang hidup dan dinamis. Semua itu karena pengetahuan Islam telah dijadi¬kan sebagai suatu konsep serta dasar bagi tegaknya peradaban Islam, dan lebih dari itu bahwa pengetahuan Islam telah dipandang sebagai suatu nilai yang mencakup keseluruhan.

Namun apa yang dapat kita lihat sekarang bahwa cendekiawan muslim masa kini cenderung mengabaikan peranan epistemologi Islam dalam mengembangkan masyarakatnya. Hal ini terjadi tidak lain karena akibat penjajahan epistemologi Barat atas dunia Islam. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa Barat telah menghasilkan pengetahuan yang dapat di¬uji dan mendatangkan keuntungan keuntungan luar biasa bagi umat manusia, sebagaimana tampak pada nilai pragmatisnya. Namun disisi lain kita juga harus menyadari bahwa epistemologis Barat juga telah menghasilkan buah yang sangat pahit. Hal ini dapat kita rasakan pada sifat dan sikap orang orang Barat yang dalam proses pencarian pengetahuan sering kita lihat mengabaikan dan bahkan menolak sistem pertimbangan nilai, yang hal ini akan mengakibatkan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap obyek pencariannya, baik yang berupa manusia maupun yang diluar manusia. Penekanannya yang menye¬luruh terhadap penguasaan pengetahuan telah menyebabkan timbulnya krisis ekologi yang pada gilirannya akan mengancam kehancuran dunia tempat berpijak manusia. Bagi umat Islam kenyataan ini sudah seharusnya dianggap sebagai suatu tantangan yang dijadikan pembakar semangat untuk menemukan kembali epistemologi Islam yang hilang ditelan penjajahan epistemologi Barat yang dalam banyak hal tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan pandangan dan budaya Islam.

Satu satunya jalan untuk menemukan kembali epistemologi Islam tersebut adalah dengan mangislamkan pengetahuan (Islamisasi pengetahuan). Oleh karena pengetahuan dan teknologi Barat yang pada mulanya diimport dari Islam di Timur itu telah diwarnai dengan semangat rasional orang orang Barat dan kemudian dicetak kembali untuk disesuaikan dengan wadah kebudayaan Barat yang dalam banyak segi bertentangan dengan nili nilai Islami. Muhammad Naquib Al-Atas salah seorang yang turut berjuang dalam usaha Islamisasi pengetahuan mengatakan bahva peleburan dan percampuran antara semangat rasional Barat serta kebudayaan mereka de¬ngan pengetahuan Islam tersebut telah menghasilkan dualisme dalam pandangan dunia tentang nilai nilai sistem sistem pe¬ngetahuan Barat. Dalam mana dualisme tersebut tidak dapat diubah menjadi kesatuan yang selaras karena ia terbentuk dari gagasan, nilai, kepercayaan, filsafat, dogma, doktrin serta teologi yang saling bertentangan, yang semuanya mencerminkan suatu bayangan realitas dan kebenaran dualistik yang terperanglcap dalam perjuangan yang sia sia, yang menghasilkan suatu ketegangan bathin yang abadi dalam kebudayaan dan peradaban Barat. Pada gilirannya kenyataan itu akan melahirkan keinginan yang tak habis habisnya untuk mencari dan memulai perjalanan penemuan yang abadi yang didasari keragu raguan, sehingga apa yang dicari tak pernah dapat memenuhi tujuan sejati, karena perubahan, perkembangan dan kemajuan yang mereka peroleh hanyalah merupakan hasil dari pencarian dan perjalanan abadi yang didasari dan dipacu oleh keragu raguan. (Syed Muhammad Al Attas, 1981).

Menangkap kenyataan yang sedang melanda umat Islam, yang didalamnya termasuk mayoritas bangsa Indonesia, maka tidak ada jalan lain yang harus ditempuh umat Islam kese¬diaan untuk bekerja keras dalam menyuntikkan kembali epistemologi Islam. Untuk itu tugas yang dihadapkan kepada umat Islam terutama para cendekiawan muslim adalah memperbaiki sistem pendidikan dan meluruskannya dari kesalahan ke¬salahan lama untuk mendapatkan bentuknya yang baru yakni satu kesatuan integral dari sistem pendidikan Islam yang ada dan sistem sekuler, untuk kemudian diisi dengan semangat Islam dan secara fungsional merupakan bagian terpadu d.ari program ideologisnya. Tugas yang dipikulkan ke pundak umat Islam memang culcup berat, namun bagaimanapun itu meru¬pakan tanggung jawab yang harus diemban oleh semua kita um¬at Islam jika kita menginginkan warisan pengetahuan manusia tetap selamat berada dalam pangkuan Islam. Hal itu sesuai dengan apa yang diungkap oleh Hasan Abd. A1 Ali dalam bukunya Al Tarbiyah al Islamiah fi al Qarni al Rabi’ al Hijriy, bahwa Islam mempunyai pandangan khusus terhadap manusia, dan bahwa manusaia itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kefilsafatan, ideologi serta pengetahuan mereka. Sehingga Islam menganjurkan umatnya untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang bermanfa¬at di dalam mewujudkan cita-cita yang ditetapkan Allah sebagai muslim yang taqwa. Karena ketaqwaan hanya dapat dica¬pai dengan ilmu pengetahuan, dimana hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya: Sesungguhnya hanyalah orang orang yang berilmu yang memiliki rasa takut kepada Allah.

Sementara itu pendidikan merupakan sarana pokok di dalam memperoleh pengetahuan, oleh sebab itu tujuan pertama dan utama yang diperjuangkan Islam adalah pendidikan. Pendidikan dimaksud adalah pendidikan dalam artian yang luas dan umum, bukan hanya terbatas pada lingkup pendidikan formal, karena kondisi lingkungan dan pengaruh masyarakat turut mewaraai keberhasilan atau ketidakberhasilan terselenggaranya pendidikan formal. Hal ini sebagaima¬na dikatakan Gerald L. Gutek dalam bukunya Philosopical and Ideological Perspectives on Education, bahwa: Education in a more formal and deliberate sense, takes place in the school, a specialized social agency established to cultivate preferred skills, knowledge, and values in the
learner. The school is staffed by teachers who are regarded to be experts in the learning processes. Informal, or millieu education, is related to schoolling, or formal education. If the school is to succed in its program of instruction, its curriculum and methods of instruction must be related to and veable in terms of society.

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang Agama (Islam) dan Filsafat Ilmu dalam Perspektif Pengembangan Pendidikan dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa Islam sebagai agama langit yang bersumber kepada wahyu Allah sudah sepantasnya bila ajarannya senantiasa dikaitkan dengan segala macam bentuk usaha manusia di bidang pengembangan pendidikan sebagai salah satu sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Hal itu karena filsafat Islam yang merupakan penyelidikan tentang pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya semata-mata hanya menggunakan akal sebagai modal dasarnya.

Sementara itu menghadapi era globalisasi dimana arus kebudayaan Barat melalui berbagai media dengan derasnya mengalit ke bumi Indonesia yang sedang membangun bangsa ini, maka sudah barang tentu dituntut kewaspadaan kita semua untuk mengantisipasi membanjirnya budaya Barat tersebut yang terkadang bertentangan dengan budaya bangsa dan terlebih norma agama kita, dengan menemukan kembali epistemologi Islam dan menerapkannya dalam pengembangan masyarakat bangsa melalui jalur pendidikan, yakni dengan memberikan nafas Islam dalam seluruh aktivitas proses pendidikan. Karena hanya dengan cara itulah bangsa ini akan dapat diselamatkan. Wallahul muwafik ila aqwamit tariq.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Qur’an A1 Karim Abd. Al ‘Ali, Hasan, Al Tarbiyah al Islamiah fi al¬-Qarni al Rabi’ al Hijriy, Al Qahirah: Dar al Fikri al Arabi, 1978.
Al Ahwani, Ahmad Fu’ad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.II, 1988.
Barnadib, Imam, Ke Arah Perspektif Pendidikan, Yogyakarta: FIP IKIP, 1994
Beerl.ing, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa; Soejono Soemargono, Yogyakarta: cet. III, 1990.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada Teori Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspective on Education, Loyola University of Chicago, ttp.
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta: tp., 1975
Hadi Wijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1961.
Jurnal Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Langgulung, Hasan, Asas Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Purtaka A1 Husna, cet. II, 1992.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih bahasa, Soe¬rjono Soemargono, Yoryakarta: Tiara Wacana, 1986.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Alih bahasa; J. Drost, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. III, 1993.
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Uni Press, cet. I, 1984.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta: 1988.