Friday, 16 December 2011


REKONSTRUKSI METODOLOGI ILMU TASAWUF DI PTAI

Oleh: Ahmad Amir Aziz

Kajian ilmu-ilmu keislaman di PTAI belakangan ini mulai dipertanyakan paradigma dan metodologinya, termasuk kajian ilmu tasawuf. Sebagai sebuah disiplin ilmu tradisional keislaman, ilmu tasawuf diakui amat kaya isi sebagaimana tertuang dalam literatur klasik yang melimpah. Karena itu untuk bisa memahami khazanahnya yang luas itu diperlukan waktu yang lama. Namun disinilah problemnya, ketika kajian-kajian tasawuf hanya berhenti untuk sekedar diwarisi sebagaimana dihasilkan kaum sufi klasik, maka tasawuf menjadi ilmu mati.

Parahnya lagi, di PTAI sebagai agen penggodok sarjana agama, ilmu tasawuf juga tidak bisa berkembang, atau paling tidak mengalami kesulitan untuk bisa dikembangkan lebih jauh.Problem itu sebenarnya terletak pada paradigma dan metodologi. Secara paradigmatik di kalangan PTAI sendiri khususnya mahasiswa, mereka banyak yang belum bisa membedakan antara tasawuf sebagai dogma dan tasawuf sebagai ilmu.

Bagi yang sudah bisa memahami perbedaan keduanya, terkadang mereka tidak punya perangkat metodologi sehingga penelitian-penelitian dalam studi tasawuf hanya berputar-putar kajian teks dan studi tokoh. Metode seperti itu sekarang sudah kurang relevan dengan tuntutan dan tantangan zaman dimana problem moralitas masyarakat sudah sedemikian menggurita. Semata hanya mengandalkan pendekatan normatif dan hostoris, ilmu tasawuf akan kesulitan untuk dapat memberikan jawaban atas problem-problem sosial kontemporer.

Karena itu perlu solusi metodologik untuk bisa mengembangkan ilmu tasawuf, yaitu dengan menggeser pendekatan normatif ke sosiologis. Pendekatan sosiologis ini mensyaratkan adanya keterbukaan peneliti terhadap fenomena aktual yang hidup, baik mencakup realitas empirik maupun dunia makna. Disinilah letak urgensinya perspektif fenomenologi untuk studi agama, lebih khusus tasawuf.

Bahwa suatu fenomena hakikatnya adalah refleksi dari suatu realitas yang kompleks, yang hanya dapat dicapai melalui upaya sungguh-sungguh dengan cara menerobos terhadap dunia pengalaman subyektif yang penuh makna. Dalam konteks ini tasawuf sebagai ilmu akan bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu tasawuf.

Lewat fenomenologi sebagai jendela metodologi keilmuan tasawuf, disiplin ini nantinya tidak akan berdiri sendiri, akan tetapi secara subject matter akan selalu bersandingan dengan bidang sejarah, politik, ekonomi, dan budaya. Konsekuensinya materi perkulihan studi tasawuf di PTAI akan mengalami perombakan, yang mana warisan klasik ajaran-ajaran sufisme akan dipilah-pilah dan dikritisi. Implikasi lebih lanjut, cara kerja induktif dengan berangkat dari masalah-masalah kemanusiaan kontemporer akan dijadikan pusat kegelisahan akademik sivitas kampus untuk mengawali proses pengembangan ilmu ini.

Hasilnya, kiranya akan dapat terumuskan konsep-konsep spiritualisme Islam baru yang lebih membumi dan bisa dijadikan pijakan bagi perbaikan moral dan tatanan sosial masyarakat dewasa ini.

No comments:

Post a Comment