Thursday, 25 April 2013

KELEKATAN SOSIAL DALAM EKONOMI


KELEKATAN SOSIAL DALAM EKONOMI

Dalam konsep teori ekonomi neo-klasik mengasumsikan bahwa setiap individu ketika melakukan suatu tindakan senantiasa bersifat istrumental dan rasional. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan secara individual. Kerangka pemikiran teoretik seperti ini, mengembangkan suatu anggapan bahwa motivasi ekonomi menjadi basis dari tindakan sosial. Sedangkan dinamika sistem nilai budaya dan agama dalam pengaruh perkembangan ekonomi masyarakat, menjadi terabaikan. Oleh karenanya, aktivitas ekonomi cenderung membentuk “atomisasi sosial” (individualitas) sebagai pra-syarat utama untuk melakukan kompetisi dalam aktivitas ekonomi pasar.

Kerangka pemikiran yang demikian ini, menurut perspektif sosiologi ekonomi dikonsepsikan sebagai dis-embeddedness. Dalam pengertian, bahwa tindakan ekonomi individu tidak berbasis pada konteks sosial masyarakat. Sehingga, sebagai konsekwensi logisnya misalnya institusi pasar harus terbebas dari basis pertimbangan nilai-nilai moralitas. Penegasannya adalah bahwa “tindakan sosial” perlu dibedakan dari “tindakan ekonomi”. Karena keberadaan pasar bekerja sesuai dengan mekanisme yang mengatur dirinya sendiri, tanpa terpengaruh oleh berbagai faktor kehidupan lain yang berkembang dalam masyarakat. Perspektif seperti ini, dalam antropologi ekonomi—menurut Heru Nugroho (2001) dikonsepsikan sebagai pemikiran formalis yang berbasis pada konsep teoretik ekonomi murni yang bersifat konvesional. Ini berseberangan dengan pemikiran substantivis, sebagaimana yang dikonsepkan oleh Karl Polanyi.

Bagi pemikiran substantif dengan tegas menyatakan bahwa tindakan ekonomi yang terpatri pada berbagai bentuk lembaga ekonomi, tidak bisa terlepas dari hubungan-hubungan sosial masyarakat. Artinya, tindakan ekonomi individu justru dipengaruhi oleh konteks budaya dan nilai-nilai keagamaan yang berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial yang mengakar dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan.

Menurut Drajat Tri Kartono, kerangka konsep pemikiran substantif yang berseberangan dengan formalis pada prinsipnya telah memiliki dasar pijakan yang kuat dari Max Weber, yang berkaitan dengan pembagian rasionalitas dalam tindakan ekonomi (economic action). Dalam perspektif sosiologis, Weber membedakan bahwa ekonomi formal hanya mengkaji tindakan ekonomi dengan perhitungan akuntasi, misalnya tentang hubungan antara tabungan dengan produktivitas, penyediaan dan kebutuhan. Sedangkan, kajian ekonomi substantif adalah lebih menukik pada aspek yang mendalam, disebabkan berhubungan dengan faktor-faktor yang sosial kemasyarakatan, seperti: spirit agama, sistem nilai budaya, dll. Lihat Drajat Tri Kartono, Orang Boyan Bawean: Perubahan Lokal dalam Transformasi Global, Pustaka Cakra, Surakarta, 2004, h. 269.

Oleh karenanya, maka Mark Granovetter (1985) menurut Victor Nee telah menyumbangkan konsep pemikiran teoretik yang bersifat substansial dalam perkembangan kajian embeddedness terhadap upaya revitalisasi studi sosiologis tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan pengertian lain, bahwa dalam kajian sosiologi ekonomi yang menggunakan “pendekatan kelekatan sosial” (embededdness approach), justru lebih memberikan kecermatan dan perhatian yang berlangsung secara sistematis terhadap pola-pola aktual relasi personal dalam berbagai aktivitas ekonomi.

Menurut konsep pemikiran teoretik Mark Granovetter sendiri, justru memberikan suatu interpretasi yang cenderung lebih mendasar, bahwa aktivitas kehidupan ekonomi adalah mengandung “kelekatan sosial” (embeddedness). Oleh karenanya, tindakan ekonomi yang dilakukan individu adalah tidak terlepas dari hubungan-hubungan sosial yang berkembang dalam
masyarakat. Kecenderungan ini memberikan suatu kerangka pemikiran bahwa nilai-nilai budaya dan agama pun boleh jadi cukup berpengaruh dalam mendorong atau sebaliknya menghambat perkembangan ekonomi pada kelompok masyarakat tertentu.

Karenanya, merupakan suatu fenomena sosial yang cukup rumit untuk memisahkan antara “basis moral” dengan “tindakan rasional ekonomi” yang terus berlangsung dalam masyarakat. Melainkan keduanya saling berkaitan secara bervariasi, baik pada konteks kehidupan masyarakat tradisional maupun modern. Sebab dalam realitasnya, antara pertimbangan moral dan aktivitas ekonomi yang berbasis pada kalkulasi rasional untung-rugi, terkadang bersifat kontradiktif. Sehingga, menciptakan kondisi dilematis terhadap mobilitas sosial ekonomi bagi kebanyakan para pedagang. Dalam pengertian, di satu pihak perlu mengikuti tuntutan “moral ekonomi” yang telah tertambat dengan kuat dalam kehidupanan sosial kemasyarakatan. Namun di pihak lain—sebagaimana tuntutan mekanisme pasar sudah seharusnya untuk mengedepankan pertimbangan rasionalitas agar bisa memaksimalkan keuntungan.

Menurut Hans-Dieter Evers, kebanyakan dari para pedagang di pedesaan tidak jarang harus dihadapkan dengan pilihan yang bersifat dilematis, antara memenuhi tuntutan ekonomi moral yang telah berlaku dalam komunitas dengan akibat mengalami kerugian secara finansial, atau sebaliknya hanya mengejar keuntungan yang kemudian berakibat pada “keterasingan sosial” oleh komunitas masyarakatnya. Oleh karena itu, maka ketika para pedagang membeli hasil panen dari petani, mereka tidak hanya sekedar membuat kalkulasi untung-rugi berdasarkan tuntutan mekanisme pasar; tetapi juga batasan-batasan oleh nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Sebab, jika mengikuti mekanisme pasar yang cenderung bersifat fluktuatif, maka para pedagang perantara antar desa-kota, misalnya-selain terancam kerugian finansial, juga boleh jadi terdiskriminasi dari kalangan petani. Lihat Hans-Dieter Evers and Heiko Schader, The Trader’s Dilema: A Theory of the Social Transformation of Market and Society, Sage, London, 1995.
er� l i b �_) 8�% idupan lain, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian menjelma sebagai “motif utama” dari tindakan individu yang didasarkan pada pertimbangan “untung-rugi” ketika mereka melakukan inter-aksi sosial. Sebagai akibatnya, adalah terjadinya pergeseran nilai tindakan sosial individu dalam masyarakat, yang sebelumnya memiliki pemaknaan secara kualitatif, kemudian dipahami dengan kerangka pemikiran yang kuantitatif. Karenanya, persoalan kehidupan ekonomi perlu diletakkan di atas realitas dan semangat “kalkulasi manfaat dari setiap pengeluaran” (cost-benefit calculation).

Proses rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat, kemudian memasuki berbagai bidang kehidupan, merupakan aplikasi konseptual dari pemikiran “rasionalitas instrumental” Max Weber, yang tidak hanya berpengaruh pada bidang ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan budaya. Dalam kehidupan ekonomi, dengan “rasionalisasi” telah berhasil merombak sistem ekonomi subsisten yang berorientasi kecukupun terhadap kebutuhan konsumsi pada “ekonomi pasar” yang mengedepankan perhitungan untung-rugi. Dalam kehidupan sosial politik dan budaya, rasionalisasi pun mendorong proses demokrasi, dan juga birokrasi untuk mencapai tujuan efisiensi. Heru Nugroho, Op Cit, 2001, h. 23.

Simplifikasi psikologi sosial terhadap proses rasionalisasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, semakin menjauhkan pemikiran ekonomi pada pertimbangan yang esensial dari sistem nilai budaya dan agama. Dengan pengertian lain, bahwa “etos ekonomi” yang membentuk tindakan individu, adalah didorong kemampuan rasionalitas yang dimilikinya. Artinya, tanpa ada hubungannya dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya. Bagi para
ekonom klasik dan neo-klasik yang menggunakan paradigma berpikir positivistik berargumen, bahwa setiap persoalan ekonomi harus bisa dinyatakan jawabannya secara empiris dan juga mate-matis. Kekuatan pasar, misalnya, hanyalah menjadi instrumen dasar yang kuat untuk menentukan bagaimana pengalokasian suatu bentuk sumber daya ekonomi didistribusikan, kemudian dianalisis dan diprediksi, agar mendapatkan gambaran yang terjadi. Karena peran ilmu ekonomi adalah menggambarkan dan menjelaskan fenomena ekonomi yang berkembang di masyarakat dengan perangkat hipotesis yang teruji dan tidak terbantahkan secara statistik.

Kritik tajam yang juga ditujukan pada paradigma pemikiran ekonomi konvensional, adalah seperti yang ditulis oleh salah seorang pemikir ekonomi kontemporer Inggeris, Paul Omerod dalam karyanya The Death of Economics, Faber and Faber, London, 1994.

Menurut Sri-Edy Swasono, bahwa pengajaran ilmu ekonomi mainstream yang selama ini adalah bertolak pada pradigma ekonomi klasik yang bersifat parsial, tidak terlepas dari kekuatan asumsi-asumsi dasar yang dikonsepsikan sebagai motos-mitos kapitalisme Smithian. Lihat Sri-Edy Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Pustep-UGM, Yogyakarta, 2005.

No comments:

Post a Comment