Wednesday, 10 April 2013

MENGKAJI ULANG HUMANISME


MENGKAJI ULANG HUMANISME

“Humanisme" dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme 
mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan 
persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara 
berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. 
Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan 
hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan 
humanisme sebagai "sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan 
tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural mana pun".

Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh pendukungnya. Salah seorang 
juru bicara humanisme paling terkemuka di masa kini adalah Corliss Lamont. Dalam bukunya, 
Philosophy of Humanism, ia menulis:

(Singkatnya) humanisme meyakini bahwa alam… merupakan jumlah total dari realitas, bahwa 
materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas 
supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa 
manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai 
keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.

Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan 
bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis 
di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang 
penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua 
dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan 
berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi 
media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih 
sangat aktif.

Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya: 
dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, 
bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa 
kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Misalnya, enam pasal 
pertama dari Manifesto Humanis adalah sebagai berikut:

Pertama: Humanis religius memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak 
diciptakan.

Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul 
sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan.

Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme 
tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak.

Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana 
digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan 
bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di 
dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.

Kelima: Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern 
membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima…

Keenam: Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deisme, modernisme, dan beberapa 
macam “pemikiran baru”.

Pada pasal-pasal di atas, kita melihat ekspresi dari sebuah filsafat umum yang mewujudkan 
dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme, dan agnotisisme. Pada pasal pertama, dogma 
materialis tentang keberadaan abadi alam semesta dikemukakan. Pasal kedua menyatakan, sebagaimana 
dinyatakan teori evolusi, bahwa manusia tidak diciptakan. Pasal ketiga menyangkal keberadaan jiwa 
manusia dengan mengklaim bahwa manusia terbentuk dari materi. Pasal keempat mengajukan sebuah 
“evolusi budaya” dan menyangkal keberadaan sifat manusia yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan (sifat 
istimewa manusia yang diberikan pada penciptaan). Pasal kelima menolak kekuasaan Tuhan atas alam 
semesta dan manusia, dan yang keenam menyatakan bahwa telah tiba waktunya untuk menolak 
"teisme", yakni kepercayaan pada Tuhan.

Akan teramati bahwa klaim-klaim ini adalah gagasan stereotip, khas dari kalangan yang 
memusuhi agama sejati. Alasannya adalah bahwa humanisme adalah pondasi utama dari perasaan 
antiagama. Ini karena humanisme adalah ekspresi dari “manusia merasa bahwa dia akan dibiarkan 
begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)”, yang merupakan dasar utama bagi pengingkaran terhadap 
Tuhan, sepanjang sejarah. Dalam salah satu ayat Al Quran, Allah berfirman:

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa 
pertanggungjawaban)?

Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), 
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan 
menyempurnakannya, 
lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. 
Bukankah (Allah) yang berbuat demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? 
(QS. Al Qiyaamah, 75: 36-40)

Allah berfirman bahwa manusia tidak akan “dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)”, 
dan segera mengingatkan bahwa mereka adalah ciptaan-Nya. Sebab, begitu menyadari bahwa dirinya 
adalah ciptaan Allah, seseorang akan memahami bahwa dia bukannya “tanpa pertanggungjawaban”, 
tetapi bertanggung jawab kepada Allah.

Karena inilah, klaim bahwa manusia tidak diciptakan telah menjadi doktrin dasar filsafat humanis. 
Dua pasal pertama dari Manifesto Humanis pertama mengungkapkan doktrin ini. Lebih jauh lagi, kaum 
humanis berpendapat bahwa sains mendukung klaim ini.

Namun, mereka keliru. Sejak Manifesto Humanis pertama dipublikasikan, kedua premis yang 
dikemukakan kaum humanis sebagai fakta ilmiah tentang gagasan bahwa alam semesta abadi dan teori 
evolusi, telah runtuh:

1. Gagasan bahwa alam semesta adalah abadi digugurkan oleh serangkaian penemuan 
astronomis yang dilakukan ketika Manifesto Humanis pertama tengah ditulis. Penemuan seperti 
fakta bahwa alam semesta tengah berkembang, dari radiasi latar kosmis dan kalkulasi rasio hidrogen 
atas helium, telah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan muncul dari ketiadaan 
sekitar 15-17 miliar tahun yang lalu dalam sebuah ledakan yang dinamai "Dentuman Besar". Walaupun 
mereka yang mendukung filsafat humanis dan materialis tidak rela menerima teori Dentuman Besar, 
mereka akhirnya dikalahkan. Sebagai hasil dari bukti ilmiah yang telah diketahui, komunitas ilmiah 
akhirnya menerima teori Dentuman Besar, yakni bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan 
karenanya kaum humanisme tidak dapat membantah lagi. Demikianlah pemikir ateis Anthony Flew 
terpaksa mengakui:

… karenanya saya mulai mengakui bahwa ateis Stratonisian telah dipermalukan oleh konsensus 
kosmologis kontemporer. Karena tampaknya para ahli kosmologi memberikan bukti ilmiah tentang apa 
yang oleh menurut St. Thomas tak dapat dibuktikan secara filosofis; yakni bahwa alam semesta 
memiliki permulaan….

2. Teori evolusi, pembenaran ilmiah terpenting di balik Manifesto Humanis pertama, mulai 
kehilangan pijakan satu dekade setelah Manifesto itu ditulis. Saat ini diketahui bahwa skenario yang 
dikemukakan sebagai asal usul kehidupan oleh kaum evolusionis ateis (dan tak diragukan, humanis), 
seperti oleh A.I. Oparin dan J.B.S. Haldane pada tahun 1930, tidak memiliki keabsahan ilmiah; makhluk 
hidup tidak dapat diturunkan secara spontan dari materi tak-hidup sebagaimana diajukan oleh skenario 
ini. Catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berkembang melalui sebuah proses 
perubahan kecil yang kumulatif, tetapi muncul secara tiba-tiba dengan berbagai karakteristik yang 
berbeda, dan fakta ini telah diterima oleh para ahli paleontologi evolusionis sendiri sejak 1970-an. 
Biologi modern telah menunjukkan bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari kebetulan dan hukum 
alam, tetapi bahwa pada setiap sistem kompleks dari organisme yang menunjukkan sebuah perancangan 
cerdas terdapat bukti bagi penciptaan. (Untuk lebih detail baca Harun Yahya, Darwinisme 
Terbantahkan: Bagaimana Teori Evolusi Runtuh di Hadapan Ilmu Pengetahuan Modern).

Lebih-lebih lagi, klaim keliru bahwa keyakinan religius merupakan faktor yang menghambat 
manusia dari perkembangan dan membawanya kepada konflik telah digugurkan oleh pengalaman 
sejarah. Kaum humanis telah mengklaim bahwa penyingkiran kepercayaan religius akan membuat
manusia bahagia dan tenteram, namun, yang terbukti justru sebaliknya. Enam tahun setelah Manifesto 
Humanis dipublikasikan, Perang Dunia II meletus, sebuah catatan malapetaka yang dibawa ke dunia 
oleh ideologi fasis yang sekuler. Ideologi humanis lainnya, komunisme, mendatangkan kekejaman yang 
tak terperi, pertama terhadap bangsa Uni Soviet, kemudian Cina, Kamboja, Vietnam, Korea Utara, 
Kuba, dan berbagai negara Afrika dan Amerika Latin. Sebanyak 120 juta manusia terbunuh oleh rezim 
atau organisasi komunis. Juga telah jelas bahwa merek humanisme Barat (sistem kapitalis) tidak berhasil 
membawa kedamaian dan kebahagiaan kepada masyarakat mereka sendiri ataupun kepada wilayah-wilayah 
lain di dunia.

Keruntuhan argumen humanisme tentang agama juga telah tampak pada lapangan psikologi. 
Mitos Freudian, sebuah batu pijakan dari dogma ateis semenjak awal abad kedua puluh, telah 
digugurkan oleh data empiris. Patrick Glynn, dari Universitas George Washington, menerangkan fakta 
ini di dalam bukunya yang berjudul God: The Evidence, The Reconciliation of Faith and Reason in a 
Postsecular World:

Seperempat abad terakhir dari abad kedua puluh tidaklah ramah terhadap pandangan 
psikoanalitik. Yang paling signifikan adalah ditemukannya bahwa pandangan Freud tentang agama 
(belum lagi sekumpulan besar masalah lain) adalah benar-benar keliru. Yang cukup ironis, riset ilmiah 
dalam psikologi selama dua puluh lima tahun terakhir telah menunjukkan bahwa, jauh dari sebagai 
penyakit saraf atau sumber dari neuroses sebagaimana dinyatakan Freud dan murid-muridnya, 
keyakinan agama adalah salah satu kolerasi yang paling konsisten dari kesehatan mental dan 
kebahagiaan yang menyeluruh. Kajian demi kajian telah menunjukkan hubungan kuat antara keyakinan 
dan praktik agama di satu sisi, dan tingkah laku yang sehat sehubungan dengan masalah-masalah seperti 
bunuh diri, penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, perceraian, depresi, bahkan mungkin 
mengejutkan, tingkat kepuasan seksual di dalam perkawinan, di sisi lain.

Singkatnya, apa yang dianggap sebagai pembenaran ilmiah di balik humanisme telah terbukti 
tidak sahih dan janji-janjinya gagal. Namun demikian, kaum humanis tidak meninggalkan filsafat 
mereka, tetapi malahan mencoba untuk menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia melalui metode 
propaganda massa. Khususnya pada periode pascaperang terjadilah propaganda humanis yang intens di 
lapangan sains, filsafat, musik, kesusasteraan, seni, dan film. Pesan menarik namun kosong yang 
diciptakan oleh para ideolog humanis telah disampaikan kepada massa secara bertubi-tubi. Lagu 
"Imagine" karya John Lennon, penyanyi solo dari grup musik paling terkenal sepanjang masa, the 
Beatles, adalah contohnya:

Lagu ini terpilih sebagai "lagu abad ini" dalam beberapa jajak pendapat yang diselenggarakan di 
tahun 1999. Ini merupakan indikasi paling tepat tentang perasaan sentimental yang digunakan untuk 
menyampaikan humanisme kepada massa, karena kurangnya landasan ilmiah atau rasional humanisme. 
Humanisme tidak dapat menghasilkan keberatan rasional terhadap agama ataupun kebenaran yang 
diajarkannya, tetapi berusaha menggunakan metode sugestif semacam ini.

Ketika janji-janji Manifesto Humanis I di tahun 1933 terbukti gagal, empat puluh tahun kemudian 
para humanis mengajukan konsep kedua. Pada awal teks ini ada upaya untuk menjelaskan mengapa 
janji-janji pertama tidak membuahkan hasil. Walaupun ada fakta bahwa penjelasan ini sangat lemah, ini 
menunjukkan keterikatan abadi humanisme terhadap filsafat ateis mereka.

Karakteristik paling jelas dari manifesto tersebut adalah mempertahankan garis antiagama pada 
manifesto tahun 1933:

Sebagaimana di tahun 1933, kaum humanis tetap memercayai bahwa teisme tradisional adalah 
keimanan yang tak terbukti dan sudah ketinggalan zaman, khususnya keimanan akan Tuhan yang
mendengarkan doa, yang dianggap hidup dan memerhatikan manusia, mendengar dan memahami, serta 
sanggup mengabulkan doa-doa mereka…. Kami percaya… bahwa agama-agama otoriter atau dogmatik 
yang tradisional, yang menempatkan wahyu, Tuhan, ritus, atau kredo di atas kebutuhan dan pengalaman 
manusia merugikan spesies manusia…. Sebagai orang yang tidak bertuhan, kami mengawali dengan 
manusia bukannya Tuhan, alam bukannya ketuhanan.

Ini adalah penjelasan yang sangat dangkal. Untuk memahami agama, pertama seseorang 
membutuhkan kecerdasan dan pemahaman agar mampu menangkap gagasan-gagasan yang dalam. Ia 
mesti didekati dengan tulus dan tanpa prasangka. Alih-alih, humanisme tidak lebih dari upaya dari 
sekumpulan orang, yang sejak awal adalah ateis dan antiagama yang bernafsu, untuk menggambarkan 
prasangka ini masuk akal.

Namun, upaya kaum humanis untuk menggambarkan keimanan kepada Tuhan dan agama-agama 
Monoteistik sebagai kredo yang tidak berdasar dan ketinggalan zaman sebenarnya bukan hal baru; 
hanya memperbarui sebuah klaim berusia ribuan tahun dari mereka yang mengingkari Tuhan. Di dalam 
Al Quran, Allah menjelaskan argumen seumur dunia yang dikemukakan oleh orang-orang kafir:

Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman 
kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah 
orang-orang yang sombong.

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan 
dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?" 
Mereka menjawab: "Dongeng-dongengan orang-orang dahulu. (QS. An-Nahl, 16: 22-24)

Ayat ini mengungkapkan bahwa penyebab sebenarnya dari penolakan orang-orang kafir terhadap 
agama adalah kesombongan yang tersembunyi di dalam hati mereka. Filsafat yang disebut humanisme 
adalah tampak lahiriah belaka dari pengingkaran akan Tuhan di zaman ini. Dengan kata lain, 
humanisme bukanlah cara berpikir yang baru, sebagaimana mereka yang mendukung klaimnya; ia sudah 
seumur dunia ini, pandangan dunia yang kuno yang umum pada mereka yang mengingkari Tuhan 
karena kesombongan.

Jika kita mencermati perkembangan humanisme di dalam sejarah Eropa, kita akan menemukan 
banyak bukti nyata bagi pernyataan ini.

No comments:

Post a Comment