Wednesday, 24 April 2013

MOBILITAS PERDAGANGAN


MOBILITAS PERDAGANGAN

Sebagai fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat, konsep mobilitas memiliki pengertian yang beragam. Karena secara konseptual, mobilitas (mobility) digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk menganalisis dan mengkonsepsikan bagaimana proses pergerakan sosial suatu kelompok atau pun komunitas masyarakat. Apakah mobilitas mereka berlangsung secara horizontal atau sekaligus juga vertikal.

Mobilitas sebagai salah satu konsep yang cukup mendasar dalam ilmu sosial, dapat dikategorikan menjadi dua bentuk pergerakan yang berlangsung dalam masyarakat. Tingginya persentase pergerakan masyarakat di Indonesia, misalnya, adalah merupakan implikasi (positif dan negatif) dari berlangsungnya pembangunan dan industrialisasi yang menyebabkan ketimpangan desa-kota, antar-kota, atau pun antar-wilayah dan kawasan.

Pertama, pergerakan masyarakat yang berbentuk fisik, yang oleh para ilmuwan disebut dengan mobilitas geografis. Dalam pergerakan masyarakat yang demikian itu, adalah menunjuk pada proses perpindahan tempat tinggal—baik menetap maupun untuk sementara dari suatu tempat ke tempat yang lain. Munculnya fenomena sosial tersebut, misalnya dapat dicermati bagaimana proses berlangsungnya urbanisasi masyarakat dari wilayah pedesaan ke perkotaan. Atau, program transmigrasi yang memindahkan berbagai komunitas masyarakat dari pulau Jawa dan Bali ke pulau lain di Indonesia, seperti yang pernah dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru.

Kedua, pergerakan masyarakat yang berbentuk non-fisik, atau yang lebih dikenal dengan mobilitas sosial. Berlangsungnya mobilitas seperti ini, adalah proses perpindahan dari suatu kelas sosial tertentu di masyarakat pada kelas sosial yang lainnya. Oleh karena itu, mobilitas tersebut adalah berlangsung secara horizontal dan vertikal.

Mobilitas horizontal dapat diartikan sebagai “gerak perpindahan” yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau pun komunitas dari status tertentu pada status yang tanpa diikuti dengan terjadinya perubahan kedudukan sosialnya. Misalnya, kaum urban yang meninggalkan sumber kehidupannya sebagai petani atau nelayan di desa untuk ke kota, dengan tujuan memperbaiki status sosial ekonominya, namun dalam realitasnya sulit untuk terwujud. Karena untuk membangun status kehidupan sosial yang berbasis pada kekuatan ekonomi di wilayah perkotaan, diperlukan kualitas SDM yang kompetitif dan juga jaringan sosial yang kuat.

Sementara itu mobilitas vertikal, adalah suatu gerak perpindahan dari status sosial tertentu pada status sosial lain yang tidak sederajat. Berlangsungnya mobilitas vertikal adalah mengarah pada dua arah, yaitu: menanjak dan menurun. Bagi yang menanjak, misalnya keberhasilan para transmigran di berbagai daerah di Indonesia dalam hal mengangkat status sosial ekonomi mereka. Sementara itu, sebelumnya kehidupan mereka berada pada kantong-kantong kemiskinan di pulau Jawa. Sedangkan yang menurun, seperti kegagalan kaum migran desa-kota, ketika mereka meninggalkan daerah asalnya dengan tujuan memperbaiki kehidupan ekonomi mereka di wilayah perkotaan, tetapi tidak tercapai.

Bagi orang Gu-Lakudo, misalnya, kedua bentuk mobilitas tersebut (geografis dan sosial), dapat dikonsepsikan terhadap mereka. Namun demikian, proses mobilitas yang mereka lewati melalui rentang waktu yang panjang dan juga berlangsung antar-generasi. Kalau dikonsepsikan—sejak akhir tahun 1960-an hingga 2000-an telah berlangsung secara berkesinambungan.

Pertama, diawali dengan gerak perpindahan secara fisik atau geografis. Dalam pengertian, mereka meninggalkan wilayah pedesaan sebagai daerah asalnya di bagian selatan pulau Muna. Awalnya mereka melakukan migrasi ke kota Bau-Bau. Meskipun sebagai konsekwensi logisnya, mereka harus bergumul dengan kehidupan kota yang penuh tantangan dan persaingan. Karena itu, ketika mereka mulai mengembangkan usaha perdagangan di kota Bau-Bau, misalnya, tidak langsung mendapatkan akses yang baik dan terbuka lebar dalam struktur perekonomian di perkotaan. Apalagi memang sebelumnya, tidak didukung dengan kekuatan “modal finansial” yang cukup memadai untuk mengembangkan usaha perdagangan yang lebih besar dan kompetitif.

Kedua, dengan kesuksesan mereka dalam mengembangkan usaha ekonomi perdagangan di wilayah perkotaan, sama artinya dengan mereka melakukan mobilitas sosial, baik secara horizontal maupun vertikal. Pada konteks yang horizontal, adalah terjadinya perubahan terhadap pola hidup mereka dalam aktivitas ekonomi subsisten di daerah asal mereka pada sistem ekonomi modern yang berorientasi pasar melalui perdagangan. Sedangkan proses berlangsunganya mobilitas vertikal, adalah bahwa dengan tingginya mobilitas usaha perdagangan mereka, telah mengangkat status sosial mereka di bidang ekonomi. Artinya, keberhasilan mereka dalam mengembangkan ekonomi perdagangan di kota, orang Gu-Lakudo dapat dikategorikan sebagai “kelas sosial menengah baru” yang muncul di Sulawesi Tenggara, khususnya di kota Bau-Bau.

No comments:

Post a Comment