Wednesday, 24 April 2013

PASAR (INSTITUSI EKONOMI)


PASAR (INSTITUSI EKONOMI)

Dalam perspektif ekonomi murni, pasar (market) hanya cenderung dikonsepsikan sebagai tempat berlangsungnya proses “transaksi jual-beli barang dan jasa” antara penjual dengan pembeli. Artinya, tanpa memiliki keterkaitan dengan berbagai institusi sosial lainnya, misalnya budaya dan agama. Oleh karena itu, pasar berfungsi menjadi sebuah institusi ekonomi yang bekerja menurut mekanisme pengaturan diri sendiri, yang dikenal dengan “hukum pasar”.

Pada konteks tersebut, basis moralitas yang telah berakar dengan kuat dalam masyarakat, tidak memiliki ruang yang cukup kondusif untuk berkembang di pasar. Karena pasar hanya sekedar mempertemukan para penjual dan pembeli dengan orientasi perhitungan untung-rugi. Tindakan rasional ekonomi individu yang berlangsung di pasar, tidak dipengaruhi hubungan-hubungan sosial yang ada dan telah berkembang dalam masyarakat. Artinya, inter-aksi antar-individu di pasar adalah bersifat “atomisasi sosial” (individualitas). Konsepsi pemikiran yang demikian ini, sesuai dengan asumsi dasar yang dikembangkan oleh para ilmuwan ekonomi klasik, yang menempatkan manusia sebagai “makhluk ekonomi” (homo economicus).

Ini berbeda dengan konsep pemikiran sosiologi atau pun anropologi ekonomi. Keberadaan pasar dikonsepsikan sebagai sebuah institusi ekonomi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan interaksi sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses transaksi jual-beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan oleh hubungan-hubungan yang melembaga dan secara simultan lebih bersifat ekonomi dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena mengaitkan hubungan mereka dengan tersedianya pasokanpasokan barang dan uang. Sedangkan secara sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien (Alexander, 1999, h. 291).

Merujuk pada konsep pemikiran tersebut, maka pasar sebagai lembaga ekonomi masyarakat merupakan ekspresi dari hubungan-hubungan sosial. Dengan pengertian lain bahwa tindakan ekonomi yang dilakukan oleh setiap individu—baik penjual maupun para pembeli-yang berlangsung di pasar, pada hakekatnya dipengaruhi oleh konteks sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena memang aktivitas ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, yang keberadaannya mengakar dengan kuat dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Artinya, meskipun tindakan ekonomi yang berlangsung di pasar mengedepankan kalkulasi untung-rugi, tetapi juga merupakan bagian dari konstruksi sosial (Nugroho, 2001, h. 39).

Apa yang menjadi realitas ekonomi yang terkonstruksi di pasar, juga merupakan suatu realitas sosial. Oleh karena aktivitas ekonomi yang berlangsung di pasar dengan melibatkan para penjual dan pembeli dalam bentuk pertukaran barang dan jasa. Namun, dalam proses pertukaran tersebut bukan hanya menunjuk pada keberlangsungan transaksi ekonomi semata. Tetapi juga menandakan terjadinya “peristiwa sosial” yang mendorong berlangsungnya proses interaktif antar-individu dan terbangunnya hubungan-hubungan personal yang membentuk “jaringan sosial”, baik secara formal maupun informal.

Terbentuknya pasar adalah sebagai suatu konsekwensi logis terhadap pelembagaan transaksi jual-beli melalui perdagangan. Menurut Hans-Dieter Evers (1994) bahwa tidak ada pasar tanpa proses perdagangan, sebaliknya tidak ada perdagangan tanpa adanya pasar. Terkait dengan konteks ini, maka Evers pun mengkonsepsikan pasar sebagai sebuah “institusi sosial” yang di dalamnya diatur oleh norma-norma dan sanksi-sanksi, kemudian digerakkan oleh proses inter-aksi sosial. Dalam hal ini, para pedagang sebagai “kelompok pekerja” yang justru menempati posisi sentral ketika berlangsungnya inter-aksi sosial. Karena harga-harga berbagai kebutuhan konsumen di pasar ditentukan oleh para penjual. Namun, yang menjadi starting point terhadap konsepsi tersebut, adalah bahwa pasar tidak hanya sekedar berfungsi sebagai sebuah institusi ekonomi yang secara riel terlembagakan dengan pertukaran barang dan jasa melalui pengembangan aktivitas perdagangan. Tetapi juga sebagai salah satu “institusi masyarakat” yang
memang terkonstruksi secara sosial, yang justru mendorong berlangsnungnya mekanisme sosial
(Nugroho, 2001).

Sejalan dengan argumen tersebut, maka sebagaimana yang ditekankan oleh Mark Granovetter (1985), bahwa tindakan ekonomi individu adalah memiliki “ketertambatan” (embedded) yang kuat dalam konteks jaringan-jaringan sosial masyarakat. Oleh karenanya, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan komunitas adalah juga dirangsang oleh hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan sebagai suatu realitas yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, maka keberadaan pasar sebagai institusi ekonomi, bukan hanya sekedar berfungsi mempertemukan penjual dengan pembeli yang secara rasional melakukan transaksi jual-beli atau pun pertukaran barang dan jasa. Namun juga menjadi tempat berlangsungnya “transformasi nilai-nilai sosial” yang berimplikasi pada aspek kehidupan yang lain, seperti: ekonomi, politik, budaya, dan agama (Robert W. Hefner, 1999).

Berkaitan dengan konseptualisasi tentang pasar sebagai institusi ekonomi adalah bahwa setiap aktivitas ekonomi tidak terlepas dari hubungan-hubungan sosial yang terus berkembang dalam masyarakat. Kecenderungan seperti ini, bukan hanya menonjol pada konstelasi ekonomi tradisional, bahkan juga dapat diamati dalam perkembangan ekonomi modern. Misalnya, dalam hal “pencarian kerja” di wilayah perkotaan, informasinya tidak hanya datang dari pasar tenaga kerja, tetapi boleh jadi terakses melalui jaringan keluarga, kerabat, teman atau sumber informasi lainnya.

Misalnya, dalam studinya tentang tingkah-laku “ekonomi perantauan” kaum imigran orang Bawean di Malaysia, menemukan suatu kenyataan bahwa ikatan kekeluargaan dan kekerabatan justru membentuk jaringan perantauan yang kuat bagi orang Bawean, sejak dari daerah asalnya hingga di kota tempat tujuan mereka di negeri Jiran tersebut. Karenanya, peranan para “pengawal” menjadi penting dan terlembagakan secara komersial di pulau Bawean. Dan bagi kebanyakan perantau orang Bawean sebagai pencari kerja di Malaysia, lebih tertarik untuk menggunakan “jasa pengawal” ketimbang melalui jasa resmi dari pemerintah. Lihat Drajat Tri Kartono, Orang Boyan Bawean: Perubahan Lokal dalam Transformasil Global, Pustaka Cakra, Surakarta, 2004, h. 125-144.

No comments:

Post a Comment