Thursday, 25 April 2013

PERTAUTAN AGAMA DENGAN EKONOMI


PERTAUTAN AGAMA DENGAN EKONOMI

Dalam perkembangan studi sosiologi dan antropologi ekonomi, konsepsi yang mempertautkan agama dengan ekonomi, agaknya sudah menjadi bagian dari konstruksi pemikiran teoretik bagi para ilmuwan sosial setelah Max Weber (1904/1905). Terkait dengan hal tersebut, Robert Wuthnow (1994), misalnya, mengkonsepsikan adanya relevansi agama (religi) dengan konteks studi sosiologi ekonomi. Menurutnya, kedua elemen dari kehidupan social masyarakat tersebut, pada hakekatnya memiliki saling keterkaitan, baik dalam tataran teoretik maupun empirikalnya.

Konsep pemikiran yang demikian itu, tentu saja berseberangan dengan asumsi dasar yang dikembangkan para ilmuwan ekonomi konvensional (klasik dan neo-klasik) yang bersifat formalis. Mereka membangun kerangka dasar pemikiran teoretiknya di atas landasan filsafat homo economicus dan keunggulan rational economic man. Hal ini berarti, kekuatan logika pemikiran ekonomi konvensional, menggunakan paradigma sekularisme yang lebih bersifat “bebas nilai”. Dengan demikian, maka asumsi-asumsi pemikiran teoretik yang dibangun cenderung menafikan sistem nilai budaya dan agama yang justru telah lama berkembang dan berakar dalam konteks kehidupan masyarakat.

Sebagai konsekwensi logisnya, maka pemikiran ekonomi konvensional justru meletakkan asumsi dasarnya, bahwa tingkah laku setiap individu adalah bersifat rasional. Tujuannya untuk memaksimalkan keuntungan, memenuhi kepentingan individual, dan senantiasa bertindak berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Konsekwensinya, maka dengan segala kemampuan rasionalnya dan inisiatifnya sendiri, setiap individu dapat mengejar utilitas ekonomi secara optimal, melalui maksimalisasi keuntungan dengan pengorbanan seminimal mungkin. Dalam perkembangannya, individu-individu yang demikian ini yang dikategorikan sebagai homo economicus seperti yang dikonsepsikan oleh Adam Smith, yang berseberangan dengan homo ethicus. Rasionalitas, utilitas, dan eksistensi manusia sebagai makhluk ekonomi, agaknya menjadi pilar-pilar utama dalam kerangka pemikiran ekonomi konvensional yang bersifat individualistis dan mengedepankan kepentingan pribadi. Akumulasi kapital yang sebesar-sebesarnya, adalah menjadi tujuan utamanya.

Pernyataan Adam Smith yang cukup populer dalam khasanah perkembangan pemikiran ekonomi klasik dan neoklasik, adalah bahwa tindakan individu yang mementingkan diri sendiri pada akhirnya membawa kebaikan seluruh masyarakat. Karena itu, jika setiap orang dibiarkan untuk mengejar kepentingan masing-masing, maka tanpa disadari akan membawa kesejahteraan bersama. Penyebabnya, karena ada tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi yang berlangsung dalam mekanisme pasar.

Dengan demikian, maka mengarahkan setiap tindakan manusia adalah dibimbing oleh kepentingan pribadinya dan sangat sedikit sekali dipengaruhi hubungan-hubungan sosial. Karena itu, maka sebagai implikasinya jaringan sosial yang terkonstruksi dalam masyarakat tidak memberikan sumbangan yang bersifat fungsional terhadap tindakan ekonomi individu. Konsekwensi logisnya, adalah terciptanya “integrasi sosial” dalam masyarakat, bukan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya, melainkan disebabkan kebebesan
berfikir dan bertindak rasionalnya dalam mengejar kepentingan pribadinya.

Studi Heru Nugroho, misalnya, tentang perilaku rentenir di Bantul-Yogyakarta, selain membuktikan adanya pertimbangan “rasionalitas” dalam tindakan ekonomi individu dan masyarakat, namun hubungan-hubungan sosial juga tetap dipertahankan. Kecenderungan ini, menunjukkan fenomena yang kuat bahwa kelekatan sosial (embeddedness) dalam ekonomi sebagaimana teori Mark Granovetter—yang dibentuk oleh nilai-nialai budaya dan agama masyarakatnya, turut membentuk perilaku ekonomi rentenir di Bantul. Heru Nugroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Oleh karena itu, pemikiran ekonomi konvensional cenderung menafikan sistem nilai agama. Sebaliknya, menempatkan “tindakan rasional ekonomi” sebagai suatu hal yang esensial untuk memotivasi keinginan yang lebih bersifat individual dalam rangka memenuhi segala “kebutuhan diri sendiri”, dengan cara memaksimalkan kekayaan, konsumsi, dan juga kapital. Kehadiran individu adalah sebaik-baik penentu bagi kebutuhan pribadinya sendiri, yang harus diberikan kebebasan untuk memilih berbagai alternatif yang terbaik bagi dirinya. Adapun mekanisme pasar memposisikan nilai-nilai moralitas kemanusiaan dan kinerja institusi sosial masyarakat, hanya berfungsi sebagai faktor pelengkap bagi pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.

Menurut Umer Chapra (2001), dengan kecenderungan yang demikian itu semakin mendapatkan penguatan dari bingkai pemikiran filsafat darwinisme sosial. Sebagai suatu bentuk kemampuan individu manusia dalam hal mengikuti seleksi alam agar bisa bertahan hidup. Dan juga pandangan materialisme untuk memaksimalkan potensi kepemilikan secara material, dalam rangka pencapaian “kenikmatan fisik-jasmani” (utilitarianisme hedonis) sebagai tujuan akhir yang perlu dicapai oleh setiap usaha manusia.

Umer Chapra, sebagai salah seorang ilmuwan ekonomi Muslim kontemporer, yang mengkritisi paradigma pemikiran positivisme dan formalisme ekonomi konvensional (klasik dan neo-klasik) dalam bukunya The Future of Economics: An Islamic Perspective, Syari’ah Economics and Banking Institut, Jakarta, 2001.

Proses rasionalisasi yang secara esensial berakar dalam tradisi pemikiran filsafat masyarakat Barat, selanjutnya merambah pada berbagai bidang kehidupan lain, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian menjelma sebagai “motif utama” dari tindakan individu yang didasarkan pada pertimbangan “untung-rugi” ketika mereka melakukan inter-aksi sosial. Sebagai akibatnya, adalah terjadinya pergeseran nilai tindakan sosial individu dalam masyarakat, yang sebelumnya memiliki pemaknaan secara kualitatif, kemudian dipahami dengan kerangka pemikiran yang kuantitatif. Karenanya, persoalan kehidupan ekonomi perlu diletakkan di atas realitas dan semangat “kalkulasi manfaat dari setiap pengeluaran” (cost-benefit calculation).

Proses rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat, kemudian memasuki berbagai bidang kehidupan, merupakan aplikasi konseptual dari pemikiran “rasionalitas instrumental” Max Weber, yang tidak hanya berpengaruh pada bidang ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan budaya. Dalam kehidupan ekonomi, dengan “rasionalisasi” telah berhasil merombak sistem ekonomi subsisten yang berorientasi kecukupun terhadap kebutuhan konsumsi pada “ekonomi pasar” yang mengedepankan perhitungan untung-rugi. Dalam kehidupan sosial politik dan budaya, rasionalisasi pun mendorong proses demokrasi, dan juga birokrasi untuk mencapai tujuan efisiensi. Heru Nugroho, Op Cit, 2001, h. 23.

Simplifikasi psikologi sosial terhadap proses rasionalisasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, semakin menjauhkan pemikiran ekonomi pada pertimbangan yang esensial dari sistem nilai budaya dan agama. Dengan pengertian lain, bahwa “etos ekonomi” yang membentuk tindakan individu, adalah didorong kemampuan rasionalitas yang dimilikinya. Artinya, tanpa ada hubungannya dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya. Bagi para
ekonom klasik dan neo-klasik yang menggunakan paradigma berpikir positivistik berargumen, bahwa setiap persoalan ekonomi harus bisa dinyatakan jawabannya secara empiris dan juga mate-matis. Kekuatan pasar, misalnya, hanyalah menjadi instrumen dasar yang kuat untuk menentukan bagaimana pengalokasian suatu bentuk sumber daya ekonomi didistribusikan, kemudian dianalisis dan diprediksi, agar mendapatkan gambaran yang terjadi. Karena peran ilmu ekonomi adalah menggambarkan dan menjelaskan fenomena ekonomi yang berkembang di masyarakat dengan perangkat hipotesis yang teruji dan tidak terbantahkan secara statistik.

Kritik tajam yang juga ditujukan pada paradigma pemikiran ekonomi konvensional, adalah seperti yang ditulis oleh salah seorang pemikir ekonomi kontemporer Inggeris, Paul Omerod dalam karyanya The Death of Economics, Faber and Faber, London, 1994.

Menurut Sri-Edy Swasono, bahwa pengajaran ilmu ekonomi mainstream yang selama ini adalah bertolak pada pradigma ekonomi klasik yang bersifat parsial, tidak terlepas dari kekuatan asumsi-asumsi dasar yang dikonsepsikan sebagai motos-mitos kapitalisme Smithian. Lihat Sri-Edy Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Pustep-UGM, Yogyakarta, 2005.

No comments:

Post a Comment