Powered By Blogger

Wednesday 10 April 2013

TEORI MORAL HUMANIS


TEORI MORAL HUMANIS

Dewasa ini, kaum Masonry di banyak negara sibuk memperkenalkan diri kepada anggota 
masyarakat lainnya. Melalui berbagai konferensi pers, situs internet, iklan koran dan pernyataan, mereka 
menunjukkan diri sebagai sebuah organisasi yang semata mengabdikan diri untuk kebaikan masyarakat. 
Dalam beberapa negara bahkan terdapat organisasi-organisasi amal yang didukung oleh kaum Mason.

Hal serupa diutarakan oleh organisasi Rotary dan Lion's Club, yang merupakan versi “ringan” 
dari Masonry. Semua organisasi ini bersikeras bahwa mereka bekerja untuk kebaikan masyarakat.

Tentu saja, bekerja untuk kebaikan masyarakat tidak untuk diremehkan, dan kami tidak 
berkeberatan dengannya. Namun, di balik klaim mereka terdapat sebuah pesan yang memerdaya. Kaum 
Mason mengklaim bahwa moralitas dapat terwujud tanpa agama, dan bahwa sebuah dunia yang 
bermoral dapat dibina tanpa agama. Pada situs internet milik Mason, kemungkinan “moralitas tanpa 
agama” dijelaskan sebagai berikut:

Apakah manusia itu? Dari mana ia datang dan ke mana ia menuju?... Bagaimana seseorang 
hidup? Bagaimana ia seharusnya hidup? Agama-agama mencoba menjawab aneka pertanyaan 
ini dengan bantuan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun mereka menghubungkan 
prinsip-prinsipnya dengan konsep metafisis seperti Tuhan, surga, neraka, ibadah. Dan manusia 
harus menemukan prinsip-prinsip hidupnya tanpa melibatkan masalah-masalah metafisis, yang 
harus mereka percayai tanpa pemahaman. Freemasonry telah menyatakan prinsip-prinsip ini selama 
berabad-abad sebagai kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan, kecintaan terhadap kerja dan perdamaian, 
demokrasi, dan seterusnya. Semua ini membebaskan manusia sepenuhnya dari berbagai kredo agama 
namun tetap memberikan sebuah prinsip hidup. Mereka mencari landasan-landasan mereka tidak pada 
konsep-konsep metafisis tetapi di dalam diri seorang manusia dewasa yang hidup di bumi ini.

Kaum Mason yang berpikir seperti ini sepenuhnya bertolak belakang dari manusia yang beriman 
kepada Tuhan dan beramal saleh untuk menggapai ridha-Nya. Bagi mereka, segala sesuatu harus 
dilakukan semata-mata demi kemanusiaan. Kita dapat mengamati cara berpikir ini pada sebuah buku 
terbitan komunitas Turki:

Moralitas Masonik didasarkan atas cinta terhadap kemanusiaan. Ia sepenuhnya menolak 
kebajikan karena harapan di masa depan, suatu ganjaran, suatu pahala, dan surga, karena 
ketakutan terhadap orang lain, suatu lembaga agama atau politik, kekuatan supranatural yang tidak 
diketahui… Ia hanya mendukung dan memuliakan kebaikan yang berhubungan dengan cinta terhadap 
keluarga, negara, umat manusia, dan kemanusiaan. Inilah salah satu sasaran terpenting dari evolusi 
Masonik. Mencintai manusia dan berbuat baik tanpa mengharapkan balasan dan mencapai tingkat ini 
adalah evolusi besar.

Klaim-klaim pada kutipan di atas sangat menyesatkan. Tanpa disiplin moral agama tidak akan ada 
rasa pengorbanan pada masyarakat. Dan, di mana hal ini tampaknya terwujud, hubungan lebih bersifat 
permukaan. Mereka yang tidak memiliki rasa moralitas agama tidak takut ataupun menghormati Tuhan, 
dan di mana tidak hadir rasa takut akan Tuhan, manusia hanya memedulikan tujuan-tujuan mereka 
sendiri. Tatkala manusia merasa kepentingan pribadinya terancam, mereka tidak dapat menunjukkan 
cinta sejati, kesetiaan, ataupun kasih sayang. Mereka menunjukkan cinta dan rasa hormat hanya 
terhadap siapa yang membawa keuntungan bagi diri mereka. Hal ini karena, menurut pemahaman 
mereka yang keliru, mereka hanya ada di dunia satu kali, dan karenanya, akan mengambil sebanyak-banyaknya. 
Lagi pula, menurut keyakinan keliru ini, tidak ada balasan bagi kecurangan maupun 
kejahatan yang mereka lakukan di dunia.

Literatur Masonik penuh dengan upacara moral yang berupaya menutupi fakta ini. Namun 
sebenarnya, moralitas ini tanpa agama tidak lebih dari retorika pura-pura. Sejarah penuh dengan 
contoh untuk menunjukkan bahwa, tanpa disiplin diri yang diberikan agama atas jiwa manusia, dan
tanpa hukum tuhan, moralitas sejati tidak dapat dibangun dengan cara apa pun juga.

Sebuah contoh yang mengguncangkan tentang hal ini adalah revolusi besar Prancis pada tahun 
1789. Kaum Mason, yang menggerakkan revolusi tersebut, maju dengan slogan-slogan yang 
meneriakkan cita-cita moral berupa “kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan”. Namun, ratusan ribu 
orang yang tak bersalah dikirim ke guillotine, dan negeri berkubang darah. Bahkan para pemimpin 
revolusi sendiri tidak dapat melarikan diri dari kekejaman ini, dan dikirim ke guillotine, satu per satu.

Pada abad kesembilan belas, sosialisme lahir dari gagasan tentang kemungkinan moralitas tanpa 
agama, dan membawa malapetaka yang jauh lebih dahsyat. Sosialisme menurut dugaan menuntut 
sebuah masyarakat yang sama rata, adil, tanpa eksploitasi dan, pada akhirnya, mengajukan penghapusan 
agama. Namun, pada abad kedua puluh, ia membawa manusia kepada kesengsaraan yang mengerikan di 
tempat-tempat seperti Uni Soviet, Blok Timur, China, Indochina, beberapa negara di Afrika dan 
Amerika Tengah. Rezim-rezim komunis membunuh tak terhitung banyaknya manusia; jumlah totalnya 
mendekati 120 juta jiwa. 52 Apalagi, berlawanan dengan apa yang diklaimkan, keadilan dan kesetaraan 
tidak pernah terwujud di rezim komunis mana pun; para pemimpin komunis yang bertanggung jawab 
atas negara terdiri dari segolongan kaum elit. (Dalam buku klasiknya, The New Class, pemikir 
Yugoslavia Milovan Djilas, menjelaskan bahwa para pemimpin komunis, yang dikenal sebagai 
“nomenklatur” membentuk sebuah “golongan dengan hak-hak istimewa” yang bertentangan dengan 
klaim-klaim sosialisme.)

Begitu pula di masa kini, ketika kita mengamati Masonry itu sendiri, yang terus-menerus 
menegaskan cita-citanya tentang “pelayanan masyarakat” dan “pengorbanan untuk kemanusiaan”, kita 
tidak menemukan catatan yang terlalu bersih. Di banyak negara, Masonry telah menjadi fokus bagi 
hubungan demi perolehan kebendaan secara buruk. Pada skandal Loge Masonik P2 di Italia pada 
tahun 1980, jelaslah bahwa Masonry menjalin hubungan erat dengan mafia, dan bahwa para direktur 
“loge” terlibat dalam aktivitas seperti penyelundupan senjata, perdagangan obat terlarang, atau 
pencucian uang. Juga terungkap bahwa mereka merancang penyerangan terhadap saingan-saingan 
mereka dan orang-orang yang mengkhianati mereka. Pada “Skandal Loge Timur Raya” di Prancis pada 
tahun 1992, dan pada operasi “Tangan Bersih” di Inggris, yang dilaporkan oleh pers Inggris pada tahun 
1995, aktivitas-aktivitas loge Masonik demi kepentingan keuntungan ilegal menjadi jelas. Gagasan 
kaum Mason tentang “moralitas humanis” hanyalah kepura-puraan.

Terjadinya hal semacam itu tak terhindarkan, karena, sebagaimana disebutkan di awal, moralitas 
hanya terbina di masyarakat berdisiplin agama. Pada landasan moralitas tiada arogansi dan egoisme, dan 
satu-satunya yang dapat mewujudkan keadaan ini adalah mereka yang menyadari tanggung jawab 
mereka terhadap Tuhan. Di dalam Al Quran, setelah Allah menceritakan tentang pengorbanan diri orang 
beriman, Dia memerintahkan, “...Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang 
yang beruntung” (QS. Al Hasyr, 59: 9). Inilah landasan sejati bagi moralitas.

Di dalam Al Quran surat Al Furqan, ciri moralitas orang mukmin sejati digambarkan sebagai 
berikut:

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di 
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka 
mengucapkan kata-kata yang baik.

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. 

Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, 
sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal."

Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan 
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak 
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, 
dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat 
(pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia 
akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman 
dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan 
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat 
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu 
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka 
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka 
tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS. Al Furqan, 25: 63-73)

Jadi, tugas utama orang-orang mukmin adalah beribadah kepada Allah dengan merendah, “untuk 
tidak berpaling, seakan mereka tuli dan buta tatkala diingatkan akan tanda-tanda-Nya”. Oleh karena 
tugas ini, seseorang selamat dari egoisme, nafsu keduniaan, ambisi, dan keinginan untuk menjadikan 
dirinya seperti orang lain. Jenis moralitas yang disebutkan pada ayat-ayat di atas hanya dapat dicapai 
dengan cara ini. Karena itulah, di dalam masyarakat tanpa rasa cinta dan takut akan Tuhan dan 
keimanan kepada-Nya, tidak ada moralitas. Karena tidak ada sesuatu pun yang dapat ditentukan secara 
mutlak, masing-masing orang menentukan apa yang benar atau salah sesuai dengan nafsunya sendiri.

Sebenarnya, tujuan utama dari filosofi moral humanis-sekuler Masonry adalah, bukannya untuk 
membangun sebuah dunia yang bermoral, tetapi membangun sebuah dunia sekuler. Dengan kata lain, 
kaum Mason tidak mendukung filosofi humanisme karena mereka mengakui amat pentingnya moralitas, 
namun hanya untuk menyampaikan kepada masyarakat gagasan bahwa agama tidak penting.

No comments:

Post a Comment