Friday, 9 September 2011


TASAWUF

Pengertian Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani:hikmah), dan suf (kain wol kasar). (Abuddin Nata, 2008:286)

Jika diperhatikan secara seksama, tampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah. 

Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan. (Abuddin Nata,2008:286-287)

Berbagai pendapat muncul ketika para ahli bahasa mencari asal kata tasawuf. Sebagian berkata, tasauf berasal dari kata “shifa” artinya suci bersih. Sebagian yang lain berpendapat tasauf berasal dari kata “shuf” artinya bulu binatang. Disebut demikian, karena konon dulu para sufi biasanya memakai baju binatang. Bahkan ada ahli bahasa yang menyatakan bahwa “shufi” itu bukanlah berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani kuno yang telah diarabkan. Asalnya “theo-safie”, artinya ilmu ketuhanan, kemudian diarabkan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi tasawuf. (Endang Saifuddin Anshari, 1986: 156)

Tasawuf adalah ajaran tentang kehidupan rohani dalam Islam. Tasawuf sebagai ajaran tentang kehidupan rohani itu timbul dalam sejarah, yang diawali dengan timbulnya para zahid, selanjutnya timbul gagasan pengalaman rohani. Gagasan ini kemudian dipandang sebagai intisari ajaran tasawuf. Ajaran dan praktek tasawuf sebagai gejala kehidupan rohani dalam Islam terkadang menunjukkan adanya kesamaan dengan kehidupan rohani pada agama di luar Islam. Persoalan ini telah dikaji oleh banyak peneliti, baik ulama Islam maupun orientalis. Dalam kajiannya itu terdapat teori yang mengatakan bahwa tasawuf timbul dalam Islam karena adanya pengaruh yang berasal dari luar Islam. (Hamka, 1993: 43)

Sebenarnya mengatakan adanya pengaruh dari luar Islam itu sulit dibuktikan. Terlepas dari ada tatau tidak ada pengaruh dari luar Islam itu, sesungguhnya di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat dikatakan sebagai sumber ajaran tasawuf. Dengan kata lain, tasawuf dapat timbul dalam Islam, tanpa dipengaruhi oleh faktor luar, tetapi dengan inspirasi dengan Alquran dan hadits serta perbuatan yang dicontohkan Rasulullah kepada umatnya. Pendapat yang dapat diterima dalam soal ini ialah bahwa sumber ajaran tasawuf tidak lain adalah ajaran Islam itu sendiri, yakni Alquran dan as-Sunnah. Bahkan dikatakan bahwa kaum sufi berkata bahwasanya pokok ambilan hidup kerohanian itu ialah agama Islam sendiri. Pertama Qur’an, kedua Hadits Rasulullah Saw. Ditambah dengan kehidupan para sahabat-sahabatnya. (Hamka,1993: 37)

Dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang mengandung pengertian bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah:186, yang artinya:
“Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku maka katakanlah bahwa aku dekat”.
Aku mengabulkan permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku. Ayat tersebut mengandung pengertian, bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya. Apa yang dilakukan oleh seorang hamba hendaknya merasakan kedekatan itu, merasakan kehadiran Allah dalam hati sanubari, itulah hakikat ajaran tasawuf.

Ajaran tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun iman dan Islam yang sifatnya wajib. Maka ulama sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadhailul A’maal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhol). (Hamka,1993:144)

Ketika muncul gerakkan pembaharuan pemikiran Islam ini langsung maupun tidak langsung juga menyudutkan ajaran Tasawuf, yang umumnya mereka nilai sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam. Pembaharuan di Turki misalnya melarang tarekat karena dinilai menyebabkan kemunduran dan kebodohan pada rakyatnya. (Simuh, 1997:270)

Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan. Tasawuf atau mistisisme adalah jalan bagi seorang muslim agar dapat sedekat mungkin dengan Allah (Nasution,1973:56). Sedangkan menurut Syeh Muhammad Amin al-Khudry tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa (Mahyuddin, 1999:44). Tasawuf mengupas tata cara menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Tasawuf kini menjadi kebutuhan orang modern untuk memenuhi salah satu kebutuhannya yang hilang yaitu spiritualitas (Solihin, 2006:303). Alquran sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra’) dan naik ke langit (mi’raj) yang terkenal itu.

Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’-Mi’raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia “bertemu” dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai “sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu, segala rahasia kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana’) dalam Kebenaran. Maka Ibn ‘Arabi, misalnya, melukiskan “metode” atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai. (Nurcholish Madjid, 1992:262)

Terdapat juga pandangan yang mengatakan bahwa tasawuf muncul sebagai gerakan melawan rezim yang kurang religious. Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan (1992:256) sebagai berikut:
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahukukan orang-orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang “religious”. Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini.

Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, termasuk kaum Mu’tazilah (Washil ibn “Atha’, yang dianggap pendiri Mu’tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para ‘ulama’ dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawwuf tidak lagi bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat dan menjurus ke dalam diri sendiri, yang membuat masalah historis dan politis umat hanya secara minimal saja. (Nurcholish,1992:256) Bahkan menurut Kauzar azhari Noor (1999:64) berdasarkan penelitian, kaum sufi adalah adalah kelompok Islam yang paling terbuka, toleran, paling simpati terhadap agama lain.

Model peneltian Tasawuf
Metodologi penelitian tasawuf sesungguhnya memerlukan kerangka yang berbeda dengan kerangka metode penelitian keagamaan yang lain. Alasannya karena metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam penelitian agama secara umum seringkali tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta-fakta keagamaan tersebut.

Dengan melihat kecenderungan spiritual dunia, maka penelitian tasawuf memiliki signifikansinya. Penelitian tasawuf diarahkan pada upaya untuk menemukan bagaimana tasawuf memiliki signifikansi bagi kehidupan dan peradaban manusia. Penelitian tasawuf diarahkan untuk memahami rekayasa sosial, sejarah, dan
peradaban. Penelitian tasawuf juga diarahkan untuk memahami problema psikis manusia,juga untuk merumuskan psiko-fisik manusia. Penelitian tasawuf diarahkan pada pembentukan mental skill. Penelitian tasawuf juga dapat dikembangkan pada aspek dunia akademis untuk menemukan temuan baru misalnya dalam aspek bimbingan dan kanseling, dalam bidang kesehatan, pelayanan kemasyarakatan, juga pada perusahaan dan instansi-instansi pemerintah (Solihin, 1996:308-323)

Disamping kajian dan arah penelitian tasawud di atas, berikut ini dikemukakamn beberapa model penelitian tasawuf :
1. Model Sayyed Husein Nasr
Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf disajikan dalam bukunya yang berjudul Tasawuf dulu dan Sekarang yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. Nasr menggunakan metode tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu.
2. Model Mustafa Zahri
Hasil penelitiannya terdapat dalam sebuah buku dengan judul Kunci Memahami Ilm Tasawuf. Penelitian yang dilakukan bersifat eksploratif, yakni menggali tasawuf dari berbagai sumber literatur ilmu tasawuf. Dalam buku itu disajikan tentang kerohanian yang dimuat tentang contoh kehidupan Nabi saw, kunci mengenal Tuhan, sendi kekuatan batin, tarikat dari segi arti dan tujuannya. Selanjutnya diungkapkan tentang membuka tabir, zikrullah, istighfar dan bertaubat, do’a, waliyullah, kramat, mengenal diri sebagai cara mengenal Tuhan, makna laa ilaha illa allah, hakikat pengertian tasawuf, dan ajaran tentang makrifat.
3. Model Kautsar Azhari Noor
Judul penelitiannya adalah Ibn Arabi : Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Noor melakukan kajian tokoh yang memiliki paham khas.(Abuddin Nata,2008:289-290)
4. Model Harun Nasution
Penelitian Harun terdapat dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Dalam penelitian tasawufnya Harun lebih mengunakan pendekatan tematik dari ajaran-ajaran tasawuf.
5. Model J. Arberry
Penelitiannya terdapat dalam buku Pasang Surut Aliran Tasawuf. Ia menggunakan metode kombinasi yaitu antara pendekatan tematik dan pendekatan tokoh. Dari isi penelitian ia menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tasawuf seperti firman Tuhan, kehidupan Nabi, tarikat sufi dan lainnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai ajaran tersebut dalam konteks kehidupan modern yang lebih luas.(Abuddin Nata,2008:293)

No comments:

Post a Comment