Friday, 16 December 2011



Persinggungan Antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental dalam Khazanah Iintelektual Muslim

Secara formal sebagai disiplin ilmu, psikologi agama dan kesehatan mental belum banyak ditemukan dalam khasanah keilmuan muslim, terutama di jaman keemasan kebudayaan Muslim. Jadi hanya ilmu tasawuf yang sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu, karena psikologi agama dan kesehatan mental baru muncul pada abad modern, tepatnya abad ke-19. Meski demikian, secara substansial harus diakui, bahwa embrio kedua ilmu itu sudah ditemukan jauh sebelum tahun kelahirannya, benang merah persinggungan antara ketiga ilmu itu memungkinkan untuk dilacak dalam gudang sejarah keilmuan muslim.

Diskusi mengenai gudang keilmuan muslim dalam sejarah biasanya dikaitkan dengan dua kerajaan muslim di Barat dan di Timur. Di Barat diwakili Daulah Amawiyah yang berpusat di Cordova (Spanyol), sedangkan di Timur diwakili Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.

Kedua kerajaan muslim itulah yang mengibarkan panji kemajuan ilmu-ilmu Islam dan sekaligus terlahirnya para pemikir muslim di setiap bidang keahliannya masing-masing. Pada masa itu kajian filsafat dan seluruh cabang keilmuan Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya, bagaimana posisi tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Oesman Bakar memberikan suatu isyarat, bahwa dalam khasanah intelektual muslim pengkajian psikologi sudah mencakup proses hierarkhis perkembangan berbagai daya jiwa, sifat, fungsi-fungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktifitas daya jiwa.

Pengkajian ini dipelopori al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Sekalipun pengkajiannya masih bersifat filosofis, namun setidaknya usaha mereka telah menorehkan dan menelurkan benih bagi studi-studi psikologis di masa mendatang. Selain itu penelitian A.E. Afifi menghasilkan suatu temuan, bahwa ternyata filsafat mistis Ibnu Arabi telah banyak menguraikan butir-butir kajian penting tentang kejiwaan yang kelak menjadi embrio bagi lahirnya studi-studi psikologi modern. Pada masa itu, Ibnu Arabi sudah membahas mengenai psikologi empiris, sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa, dan teori mimpi yang di kemudian hari banyak diungkapkan Sigmund Frued. Pengkajian Ibnu Arabi mengenai butir-butir psikologis yang tidak terpisahkan dengan penghayatan sufistiknya itu memberikan arti penting bagi pencarian titik persinggungan antara kajian sufistik, psikologi agama, dan kesehatan mental.

Bila dilihat dari segi pengetian psikologi agama, kajian-kajian psikologis Ibnu Arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan cukup strategis bagi pengkajian psikologi agama di masa berikutnya. Psikologi agama yang berarti “ilmu pengaruh” atau “penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam memahami berbagai aspek keagamaan” mengisyaratkan bahwa usaha para pemikir muslim tersebut sudah meletakkan dasar-dasar
strategis pengkajian dan risetnya. Psikologi agama yang lahir di abad modern itu sebenarnya penyemai benihnya tidak lain adalah para pemikir muslim. Psikologi agama tidak mungkin lahir dengan begitu saja, melainkan melalui proses panjang dan berkesinambungan.

Psikologi agama yang mencoba menjelaskan mengenai perasaan, motivasi, perkembangan dan kognisi keagamaan26 tampaknya sulit dilakukan bila teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih dahulu. Di samping itu, psikologi agama yang diartikan sebagai “ilmu pengaruh” secara substansial sudah banyak dikaji Al-Ghazali. Pembahasan di seputar “pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan keagamaan” banyak ditemukan dalam magnum opusnya yakni Ihyâ’ Ulûm al-Dîn dan Munqidz min al-Dhalâl. Kedua buku ini tidak hanya menguraikan mengenai ’pengaruh’ ajaran agama terhadap kehidupan keberagamaan, tetapi juga tentang ’penghayatan’ Al-Ghazali sendiri terhadap adanya pengaruh ajaran Islam.

Satu hal paling masyhur dalam kedua buku tersebut adalah “konversi al-Ghazali” yang dikemudian hari menjadi bagian penting pengkajian psikologi agama. Konversi al-Ghazali tidak dipahami sebagai proses perpindahan dari satu agama ke agama lain, namun merupakan proses kematangan keberagamaan. Model konversi al-Ghazali ternyata cukup menarik bagi William James, seorang tokoh perintis ilmu psikologi agama.

William James mendeskripsikan proses konversi al-Ghazali dalam ruang khusus di buku monumentalnya yang berjudul “The Varieties of Religious Experiences”. Penjelasan ini setidaknya memberikan suatu isyarat bahwa kedua karya al-Ghazali tersebut dapat diposisikan sebagai “karya pemberi inspirasi kelahiran psikologi agama”. 

Ilmu kesehatan mental agaknya juga tidak jauh berbeda dengan psikologi agama. Hasan Langgulung mengatakan, “sekalipun kesehatan mental itu merupakan istilah dan ilmu baru, akan tetapi hakekatnya sama dengan konsep kebahagiaan, keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran”. Sementara menurut Salomon, istilah kebahagiaan itu merupakan ’sebutan kebaikan hakiki’ yang ada dalam kehidupan ini, yang merupakan tujuan paling tinggi, yang disebut sebagai “Summum Bonum”. Kebahagian itu merupakan arah dan tujuan semua tindakan dan harapan setiap manusia.

Bila kesehatan mental itu diartikan kebahagiaan, keselamatan, dan sebagainya, maka sebenarnya para filosof muslim terdahulu sudah banyak membicarakannya. Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Al-Razi sudah banyak menguraikan hal demikian dalam tulisan-tulisannya. Penganalogan konsep kesehatan mental dengan konsep kebahagiaan itu menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi jiwa yang sehat secara wajar dan optimal. Jalal Syaraf mengistilahkan dengan “al-Mustawa al-Shahiy al-Aqliy ’Ammatan”.

Suatu kondisi jiwa yang sehat biasa dibahas ketika berbicara tentang “terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan ber adjustment, pengendalian diri, dan terwujudnya integritas antara berbagai fungsi-fungsi kejiwaan”.

Ibnu Sina, dalam karya monumentalnya “Al-Syifa” (The Book of Healing) sudah membahas teori-teori sehat mental. Dia mengatakan, diskusi mengenai kebahagiaan tidak bisa lepas dari pembahasan teori akhlak. Kebahagiaan tanpa akhlak mulia tidak mungkin. Kebahagiaan akan diperolehnya bila seseorang mamu memilih mana yang baik dan menyingkirkan yang tidak baik. Kebersihan dan kesucian kalbu menjadi kunci utama perolehan kebahagiaan. Kalbu atau jiwa yang suci membuat seseorang terjauh dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Dengan kata lain, orang berakhlak baik menjadikannya mencapai kebahagiaan, ketenteraman, kejayaan, dan keselamatan hidup.

Sementara itu, Al-Razi32 –dalam ’Al-Thib al-Rûhâniy’—melekatkan cara perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan melakukan pola hidup sufistik. Melalui konsep zuhudnya, Al-Razi menguraikan secara teori dan praktis perawatan dan pengobatan gangguan dan penyakit kejiwaan. 

Pengendalian diri, kesederhanaan hidup, jauh dari akhlak buruk, serta menjadikan akal sebagai esensi diri merupakan kunci-kunci pemerolehan kebahagiaan hidup. Demikianlah bahwa ilmu kesehatan jiwa dan psikologi jauh sebelum kelahirannya telah diprakarsai ’persemaian benihnya’ oleh Ibnu Sina dan Al-Razi.

Sementara itu Al-Ghazali menguraikan “teori kebahagiaan” sebagai cerminan kesehatan mental dalam balutan akhlak sufistik. Dia mendeskripsikan “teori kebahagiaan” dalam karya khusus yang disebutnya “Al-Kimiâ al-Sya’âdât” (Kimia kebahagiaan) disamping dalam Ihyâ’ Ulûm al-Dîn khususnya dalam satu bab yang diberi judul “rubu’ al-Munjiyât”. Dalam tulisan tersebut, Al-Ghazali menempatkan term-term “al-fauz, alnajât, dan al-Sya’âdât” untuk menjelaskan tujuan dan akhir kehidupan manusia. Aspek penting lain dari pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan pengembangan ilmu kesehatan mental yakni bab keajaiban hati dan penyingkapan jiwa. Kedua bab itu secara jelas mengungkap hakikat jiwa, watak, fungsi-fungsi kejiwaan dan peranannya dalam kehidupan manusia.

Al-Ghazali mengatakan, kebahagiaan manusia sangat tergantung pada pembahasan terhadap jiwanya, sebaliknya, kegagalan memahami jiwanya menyebabkan ketidakmampuannya dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dalam konteks kajian ini, deskripsi akhlak sufistik Al-Ghazali tersebut dapat dijadikan dasar-dasar penting bagi pengkajian dan pengembangan ilmu kesehatan mental.

Dari uraian di atas, dapat diambil pemahaman bahwa para ilmuwan muslim di masa klasik sudah banyak membahas “psikologi agama, kesehatan mental, dan tasawuf” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi. Menurut data sejarah, baik Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan ahli sufi, ahli jiwa, dan sekaligus ahli kesehatan mental.

No comments:

Post a Comment