Friday, 16 December 2011



Titik Singgung Tasawuf dengan Psikologi Agama

Sebenarnya kedua disiplin ilmu ini secara langsung tidak berhubungan. Tasawuf berkaitan dengan penghayatan keagamaan (Islam) esoterik. Karenanya tasawuf banyak menggunakan “qalb”( ) ketimbang “aql”. Tasawuf lebih bersifat relijius, karena tasawuf berasal dari ajaran agama Islam. Pembenaran terhadap ajaran Islam menjadi syarat kajian tasawuf. pengkajian tasawuf tanpa keyakinan tidak akan menemukan kebenaran yang hendak dicarinya. 

Sementara psikologi agama membatasi kajian pada prinsip-prinsip studi psiklogis belaka. Psikologi agama tidak membicarakan soal benar atau salah ajaran agama (Islam). Karenanya, kebenaran yang dicari psikologi agama bukan kebenaran teologis ataupun kebenaran fikih/syar’i, melainkan kebenaran psikologis semata. Maka pembicaraan mengenai “bagaimana manusia beriman misalnya?”, kajianya hanya ditekankan pada tindakan “gejala-gejala keberimanan secara psikologis saja”. Begitu pula dalam hal “mengapa manusia berkelakuan agamais, psikologi agama tidak membahas motif-motif bersifat teologis metafisis, melainkan hanya berbicara “motif-motif yang mampu disentuh dan observeable secara psikologis.

Dengan mencermati uraian di atas, tampak jelas perbedaan dan sekaligus mengisyaratkan bahwa persinggungan antara keduanya tidak ditemukan secara langsung. Namun bila ditelaah lebih teliti, ternyata ditemukan adanya keterkaitan antara kedua ilmu tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik singgung antara tasawuf dan psikologi agama itu dapat diungkap beberapa temuan berikut:

Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya. Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf membahas bagaimana “menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama”, psikologi agama membahas “bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek kehidupan manusia yang observeable terutama.

Kedua, Tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa” , sementara psikologi agama menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir positif, dan rasional empirik.

Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi agama ditemukan ketika ternyata “salah satu kajian psikologi agama adalah perilaku para sufi”. Hanya saja psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran dan ritus-ritusnya, melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan seorang sufi.

Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan ungkapan tersebut, Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik (tasawuf) berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang”. Kesimpulan hasil risetnya tersebut dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empirik dan keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi.
Keempat, persinggungan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam “obyek kajian”. Psikologi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan ada kepentingan obyek kajian dan atau obyek penelitian. 

Sebagaimana dalam uraian di atas, salah satu obyek kajian psikologi agama adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaan seseorang. Sementara dua hal tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkait dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai pengalaman keberagamaan).

Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, ( ذوق ) kedua bidang kajian tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Bahkan dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan psikologi lebih bersikap agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu, bagaimana memperoleh kebahagiaan dan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti “semua perilaku dan perikehidupan para sufi”. Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama.

Sekalipun persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun persinggungannya dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara kedua saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi agama. Sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau mendalaminya.

No comments:

Post a Comment