Thursday, 25 April 2013

ASHABIYAH DAN RELASI FUNGSIONAL EKONOMI


ASHABIYAH DAN RELASI FUNGSIONAL EKONOMI

Dalam perkembangan tradisi keilmuan yang didukung para ilmuwan muslim, konsepsi pemikiran mereka tidak hanya sekedar terfokus pada “ilmu keagamaan” yang bersifat normatif-teologis. Tetapi mereka juga mengembangkan pemikiran yang berkaitan dengan fenomena sosial empirik yang muncul dalam masyarakat, misalnya ekonomi, politik, dan budaya. Namun, yang menjadi kecenderungan paradigmatik dalam konstruksi keilmuan mereka, tidak membuat dikotomis antara kehidupan beragama dengan konteks sosial yang membentuk realitas masyarakat.

Dalam pandangan Islam, ilmuwan dikategorikan sebagai ulama, yang terambil dari kata alim. Artinya, orang-orang yang berilmu, terpelajar (sarjana), atau mereka yang memiliki ilmu pengetahuan. Karena itu, para ilmuwan atau ulama dalam hal pengembangan “keilmuan”—baik yang berkaitan dengan ilmu agama maupun ilmu pengetahuan secara luas—adalah dikonsepsikan sebagai “pewaris Nabi” (al-ulama waratsat al an-biya’). Lihat juga Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, h. 207.

Karena itu, bagi kalangan ilmuwan muslim mengkonsepsikan bahwa aktivitas dan perilaku ekonomi merupakan bagian yang integral dari kehidupan beragama. Dalam pengertian proses perkembangan peradaban Islam merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk melepaskan persoalan ekonomi dari konteks kehidupan yang lain, seperti: sosial, politik, budaya, dan agama. Yang tentu saja konsepsi pemikiran tersebut, mengacu pada kerangka pemikiran paradigmatik yang cenderung bersifat integratif.

Ritzer, menawarkan model pendekatan baru dalam kajian fenomena sosial masyarakat, yang disebutnya “paradigma integratif”. Adapun konsepsi dasarnya, adalah (1) makro-obyektif, seperti: masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa; (2) makro-subyektif, misalnya: budaya, norma dan nilai-nilai; (3) mikroobyektif, seperti: pola tingkah laku, tindakan dan interaksi; serta (4) mikro-subyektif, misalnya: persepsi, kepercayaan, dan konstruksi sosial terhadap kenyataan. George Ritzer, Modern Sociological Theory, The MacGraw-Hill Companies, New York, 2000.

Paradigma Islam—menurut Umer Capra (2001)—sebagaimana yang terkandung dalam ajaran doktrinal-teologis Islam memberikan tekanan pada terintegrasinya nilai-nilai moral dan persaudaraan kemanusiaan dengan keadilan sosial-ekonomi. Dengan konsepsi yang demikian itu, merupakan suatu isyarat bahwa dalam perspektif Islam tentang kehidupan ekonomi, adalah tidak bersifat sekuler dan bebas nilai. Tetapi, mengarah pada penyatuan nilai-nilai dalam berbagai elemen institusinal, mulai dari: individu, keluarga, masyarakat, pasar, dan negara. Karena tujuan yang ingin dicapai adalah terwujudnya kesejahteraan bersama, yang dalam Islam diistilahkan sebagai falah.

Konsep falah dalam Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an, yang secara literal mengandung pengertian tentang “keberuntungan jangka panjang” (dunia dan akhirat). Karenanya, terkait dengan konteks kehidupan ekonomi, tidak hanya terfokus pada pencapaian keberhasilan material, tetapi juga perlu diperkuat diperkuat dengan nilai-nilai spiritualitas agama. Lihat misalnya, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Terkait dengan keperluan analisis dalam pengembangan studi ini, yang bertumpu pada pendekatan sosiologi ekonomi dan agama, maka ditampilkan konsep pemikiran teoretik Ibnu Khaldun (1332—1400). Karena sebagai seorang ilmuwan sosial muslim klasik, pengembangan orientasi keilmuannya cenderung bersifat multi-disipliner dalam menginterpretasikan berbagai fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Kekuatan analisis Ibnu Khaldun terhadap masalah perekonomian, misalnya, setidaknya dapat dikategorikan berada pada dua level (makro dan mikro).

Pada level makro, Khaldun merumuskan konsep dasar pemikirannya dalam bentuk pertautan lingkaran “sebab-akibat”.44 Yang secara multi-disipliner mengaitkan antara konteks sosial-ekonomi dengan pengaruh syari’ah agama, kekuasaan politik, peranan kolektivitas masyarakat, kekayaan dan potensi sumber daya yang dimiliki, serta keadilan. Kesemua elemen tersebut, adalah berada dalam satu lingkaran yang memiliki saling ketergantungan, disebabkan satu sama lain saling mempengaruhi. Karena cara kerja lingkaran sebab-akibat ini, menyerupai “rantai reaksi” yang berlangsung sepanjang tiga generasi atau sekitar seratus dua puluh tahun sebagai rentang waktu yang diperlukan untuk terbangunnya suatu bentuk kebudayaan dan peradaban.

Dengan konsep pemikiran yang berorientasi makro tersebut, Ibnu Khaldun ingin memberikan penekanan tentang urgennya dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Yang antara satu elemen dengan yang lainnya adalah saling memiliki keterkaitan pada rentang waktu tertentu sebagai penentu bagi maju-mundurnya peradaban suatu bangsa. Karena itu, dalam konsepsi pemikiran Ibnu Khaldun—sebagaimana Max Weber—bahwa pertautan yang kuat antara sistem nilai agama dengan strutktur ekonomi masyarakat merupakan suatu hal yang konstruktif. Fenomenaya dapat diamati dalam konteks kehidupan yang bersifat individual maupun institusional, baik secara formal maupun informal.

Kerangka konsep pemikiran Ibnu Khaldun di bidang ekonomi, dirumuskan kembali oleh Umer Chapra, yang disebutnya sebagai relasi-fungsional dengan mencitrakan hubungan sebab-akibat. Misalnya, syari’ah agama sebagai acuan terbentuknya nilai-nilai moral yang membentuk kekuasaan politik, pembangunan dan perilaku ekonomi, kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi dan konsumsi. Lihat Umer Chapra, ibid, h. 154-155.

Sementara itu di level mikro, Ibnu Khaldun mengkonsepsikan tentang perlunya suasana kehidupan saling tolong-menolong atau bekerja sama untuk mewujudkan model kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dasar pemikirannya, secara teologis merujuk pada ayat al-Qur’an, yang menjelaskan pentingnya ikatan kolektivitas sosial: “Dan tolong menolonglah kamu dalam hal (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong untuk berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. 5 : 2).

Untuk mengaktualisasikan ikatan sosial dan kerja sama tersebut, maka diperlukan suatu bentuk solidaritas sosial yang lebih bersifat fungsional. Yang oleh Ibnu Khaldun disebutnya sebagai ashabiyah. Adapun konsep ashabiyah tersebut, memiliki pengertian secara positif dan negatif. Pengertian positifnya, adalah menunjuk pada terbentuknya “persaudaraan dalam Islam”. Dengan adanya ikatan persaudaraan yang kuat, maka sangat memungkinkan bagi setiap individu, kelompok, komunitas, dan masyarakat, membangun jaringan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan pengertian yang negatif dari ashabiyah, adalah munculnya solidaritas dengan mengacu pada kesetiaan yang total (fanatisme buta) terhadap kepentingan yang bersifat pragmatis. Akibatnya, menurut Ibnu Khaldun, dapat menimbulkan kerugian bersama bagi semua elemen masyarakat. Karena solidaritas yang dibangun, tidak menggunakan pertimbangan moral dan rasional.

Konseptualisasi tentang “solidaritas sosial” (ashabiyah) yang bersumber dari pemikiran Ibnu Khaldun ini, agaknya kita bisa membandingkannya dengan konsep pemikiran Emile Durkheim. Namun demikian, yang menjadi fokus sorotan Khaldun adalah “fungsionalnya” ikatan sosial masyarakat. Sementara itu, Durkheim mengkonsepsikan munculnya solidaritas sosial masyarakat menurut bentuknya, yang dalam perkembangan sosiologi dikenal dengan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Lihat misalnya, Jonathan H. Turner and Leonard Beeghley, The Emergence of Sociological Theory, The Dorsey Press, Illinios, 1981.

Dengan konsep pemikiran teoretik yang dibangun Ibnu Khaldun—juga seperti halnya para ilmuwan sosial lainnya—memberikan penegasan bahwa perilaku ekonomi masyarakat tidak bersifat mekanistik atau pun atomisasi sosial. Melainkan dipengaruhi berbagai faktor, seperti situasi politik, budaya, dan agama. Kecuali itu, konsep ashabiyah yang menjadi instrumen dalam pengembangan sosial ekonomi individu, kelompok, komunitas, dan masyarakat, mengisyaratkan terintegrasinya sistem nilai moral dan rasionalitas. Yang moralitas berbasis pada petunjuk al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad dalam menjalani kehidupan riel di tengah masyarakat. Sedangkan kemampuan rasionalitas adalah bertumpu pada kemampuan individual manusia untuk menggunakan potensi pemikirannya, yang bersumber dari akalnya.

No comments:

Post a Comment