Thursday, 25 April 2013

STUDI EMPIRIK PERTAUTAN AGAMA DAN EKONOMI


STUDI EMPIRIK PERTAUTAN AGAMA DAN EKONOMI

Terintegrasinya sistem nilai agama terhadap konteks kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dalam studi sosiologi adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Max Weber. The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism (1904/1905), merupakan hasil kajiannya yang cukup monumental meskipun sudah tergolong klasik. Tetapi, masih tetap aktual untuk dijadikan sebagai refrensi teoretik dalam studi sosiologi ekonomi atau sosilogi agama. Adapun pertanyaan mendasar yang ingin dijawab oleh Max Weber, adalah berkaitan dengan munculnya “kondisi psikologis” yang telah mendorong perkembangan kapitalisme. Menurutnya, perkembangan kapitalisme dalam masyarakat Barat dipicu oleh dua hal yang bersifat substansial: (1) rasionalitas instrumental (purposif rationality); dan (2) etika Protestan-Calvinis.

Pertama, dalam perkembangan peradaban Barat telah disertai dengan menguatnya tradisi budaya rasionalitas yang lebih mengarahkan tindakan individu dan masyarakatnya. Berkaitan dengan kecenderungan seperti ini, Max Weber mengkonsepsikan empat bentuk rasionalitas: (1) traditional rationality; (2) value rationality; (3) affective rationality; dan (4) purposif rationality. Menurut konsep Max Weber, rasionalitas terakhir ini adalah bentuk rasionalitas yang paling tinggi derajatnya. Karena kemunculannya adalah bersifat instrumental dengan unsur pertimbangan “pilihan rasional” untuk mencapai tujuan dari tindakan yang dilakukan dan alat yang akan digunakan. Dengan demikian, “rasionalitas instrumental” mengarahkan tindakan individu dan masyarakat pada yang paling tepat guna, efisien, dan efektif untuk mencapai tujuan dalam kehidupan keseharian. Bertolak dari keempat bentuk rasionalitas tersebut, yang telah mengantarkan masyarakat Barat pada konteks peradaban industrial modern yang kapitalistik adalah mengedepankan “tindakan rasional ekonomi”. Karena dengan menguatnya bentuk rasionalitas instrumental dalam kehidupan individu dan masyarakat Barat, secara kontekstual telah berhasil menggerakkan perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahkan kehidupan beragama.

Kedua, terintegrasinya nilai-nilai keagamaan yang mengambil bentuk pada etika Protestan-Calvinis sebagai varian dari ajaran puritanisme keagamaan Kristiani yang menjadi spirit dalam perkembangan kapitalisme modern. Bagi Max Weber menemukan jawabannya dalam bentuk penonjolan sikap hidup “tapa-brata keduniaan” (this-wordly asceticism) dari para pengikut “kaum puritan” Kristiani (Calvinis, Methodis, Pietis, dan Baptis). Asceticism terintegrasi dalam konsep “panggilan” (calling), yang inti ajarannya adalah “ide tertinggi” dari kewajiban moral manusia untuk memenuhi panggilan tugasnya dalam kehidupan dunia. Dengan demikian, maka konsep tersebut senantiasa memproyeksikan perilaku religius ke dalam aktivitas hidup sehari-hari di dunia ini.

Dalam analisis Weber, ajaran tentang calling pada prinsipnya sudah diajarkan Martin Luther ketika memulai gerakan reformasi keagamaan. Namun, ide dasar tersebut semakin dikembangkan dan dikuatkan oleh ajaran doktrinal dari Calvin yang berkaitan dengan takdir manusia. Yang mengajarkan bahwa “hanya segelintir orang yang mendapat panggilan untuk masuk ke dalam surga, dan pilihan itu sudah menjadi ketetapan Tuhan sebelumnya. Dan tidak satu orang pun dari para pengikutnya yang dapat dipastikan telah mendapatkan panggilan”. Oleh karena itu, bagi mereka yang terpanggil, dituntut untuk bekerja keras, memiliki tanggungjawab moral, dan juga dikontrol oleh sikap asceticism. Dengan doktrin tersebut telah mendorong kaum Protestan-Calvinis untuk bekerja keras, hidup hemat, dan suka menabung, agar dapat masuk dalam kelompok mereka yang “terpanggil” dan juga mendapatkan “penyelamatan”.

Karenanya, konsepsi ini kemudian menjadi doktrin keagamaan yang kuat dan membentuk “etika individual” sebagai bentuk kesalehan dunia dan mengarahkan para penganutnya untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran etika tersebut. Sebagai konsekwensi logisnya, maka para pengikut Protestan-Calvinis menjadi pekerja yang ulet, sabar, hemat, gemar menabung, dan memiliki kualitas kesalehan secara individual. Bagi seseorang diwajibkan meyakini diri sendiri sebagai orang yang terpanggil dan terpilih, sehingga berkurangnya keyakinan dapat dipandang menjadi indikasi yang kuat kurangnya iman. Dan performa “kerja yang baik” dalam aktivitas keduniaan menjadi sinyal yang kuat bahwa seseorang itu terpanggil atau pun tidak.

Secara teoretik, point penting yang dapat ditarik dari kerangka pemikiran Weber adalah pertautan yang kuat antara perkembangan tradisi budaya rasionalitas masyarakat (purposif rationality) dengan nilai-nilai ajaran keagamaan (Protestan ethics), merupakan dua unsur penggerak yang telah mendorong perkembangan kapitalisme di dunia Barat. Berlangsungnya reformasi keagamaan dalam masyarakat Barat yang terpatri dengan kuat dalam konsepsi ajaran sekte-sekte puritan, menurut Max Weber tidak mestinya dianggap hanya sebagai hasil dari proses kesejarahan yang membawa perubahan sosial ekonomi yang terjadi sebelumnya. Ketika doktrin kesalehan dunia (asceticism) terbawa keluar dari “rumah-rumah peibadatan keagamaan” menuju konteks kehidupan keseharian, kemudian mendominasi pembentukan moralitas keduniaan, maka dapat berperan secara efektif dalam memunculkan kekuatan ekonomi modern. Bagi kebanyakan para pelaku ekonomi yang diasosiasikan dapat menumpuk harta kekayaan yang berlimpah, tetap diperbolehkan sepanjang dikombinasikan dengan kemampuan pertanggung-jawaban moral yang tinggi.

Ignas Kleden (2005), misalnya, dalam diskusi mengenang 100 tahun The Protestan Ethic and Spirit Capitalism Max Weber, menurutnya bahwa spirit kapitalisme bukan sesuatu hal yang hanya terdapat pada ethic Protestan, tetapi juga sangat memungkinkan untuk muncul dari nilai-nilai budaya dan agama lain. Sebagai contoh, adalah munculnya motif perkembangan kapitalisme baru di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti yang dialami Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapor, dan Malaysia.

Dengan tesis Max Weber tersebut, telah merangsang para ilmuwan sosial lainnya untuk melakukan studi lebih lanjut. Karena itu, dari berbagai kajian yang muncul telah memunculkan asumsi teoretik bahwa pertautan antara nilai-nilai keagaman dan aktivitas ekonomi kelompok masyarakat tertentu, merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Misalnya, dari hasil studi Richard Sosis: Does Religion Promote Trust? The Role of Signaling, Reputation, and Punishment, Interdisciplinary Journal of Research on Religion (2005), yang menjelaskan terjalinnya hubungan yang kuat antara nilai-nilai keagamaan dengan terbangunnya kepercayaan dalam bisnis.

Sosis berkesimpulan, bahwa bagi penganut agama yang sama justru dapat membangun suatu kepercayaan (trust). Adanya kecenderungan yang demikian ini, ditemukan oleh Richard Sosis dalam kelompok pedagang intan Yahudi pada beberapa kota besar di Eropa, Timur Tengah, dan juga Amerika Serikat. Dalam aktivitas perdagangan orang Yahudi Ultra-Ortodox, justru hanya mengandalkan kepercayaan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan para relasi dagangnya. Menurut Sosis fenomena yang demikian ini yang juga muncul di kalangan pedagang Muslim Maghribi dan Afrika.

Kecuali itu, studi Barro dan Mitchell, Religion Faith and Economic Growth: What Matters—Belief of Belonging? The Heritage Foundation’s Center for Religion and Civil Society (2004). Sebagaimana tesis Max Weber, mereka mengkonsepsikan bahwa nilai-nilai agama dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat. Karena dengan keyakinan agama yang dimiliki individu-individu tertentu, dapat memunculkan nilai-nilai kehidupan, seperti: etos kerja, kejujuran, hidup hemat, dan berbagai aspek lain yang terkait dengan kehidupan keagamaan, dapat mendorong penganutnya untuk bekerja secara produktif dan selanjutnya merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Memang di Indonesia dan khususnya di Jawa, untuk membuktikan asumsi dasar dari tesis Weber, berbagai studi telah dilakukan terhadap kelompok Muslim modernis yang berorientasi pada pengembangan usaha ekonomi. Dan berbagai studi itu, seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz (1959), Lance Castle (1967), dan Mitzuo Nakamura (1981). Dalam studi tersebut, meskipun tidak menunjuk langsung pada keberadaan agama Islam melainkan sebagai fenomena sosial budaya masyarakat secara luas, tetapi dengan tiga varian yang dibuat Geertz: santri, priyayi, dan abangan, yang mencitrakan kekuatan sosial ekonomi yang cukup potensial, menjadi pekerja yang ulet, hidup sederhana, rajin menabung, dan menghargai hasil kerja individual, merupakan prototipe dari “kaum santri modernis”.

Dengan studi pertamanya ini yang menyimpulkan bahwa adanya relasi yang kuat antara keyakinan agama dan perilaku ekonomi masyarakat Muslim Mojokuto. Masih tetap merujuk pada tesis Max Weber, selanjutnya Geertz lebih memperdalam studinya (1963) yang difokukskan pada fenomena kesuksesan bisnis kelompok muslim puritan. Menurut Geertz, para pemimpin komunitas usaha ekonomi di Mojokuto adalah sebagian besar berasal dari muslim reformis-puritan, seperti tembakau, textil, dan juga pertokoan. Karenanya, “reformisme Islam dalam bentuknya sebagai kaum muslim puritan, adalah menjadi doktrin mayoritas para saudagar” (Geertz, 1963). Hal ini, muncul pada diri santri reformis-modernis yang telah membentuk etos ekonomi modern yang digerakkan oleh spirit kewirausahaan (entrepreneurship).

Menurut studi Lance Castle di Kudus (1967) dan Mitsuo Nakamura di Kota Gede Yogyakarta (1981), adalah mengungkapkan munculnya kelompok wirausaha kaum muslim modernis yang cukup sukses. Di Kudus, misalnya, muncul golongan santri pemilik industri tembakau, yang ketika itu diidentifikasi oleh Castle sebagai perusahaan rokok yang besar dan juga cukup berkembang. Sedangkan di Kota Gede, menurut hasil studi Nakamura, muncul kelompok wirausahawan yang justru memiliki basis kekuatan perekonomian dalam konteks pengembangan ekonomi modern.

Kelompok wirausaha tersebut adalah golongan santri Muhammadiyah. Namun demikian, baik golongan santri di Kudus maupun Kota Gede, dalam perkembangannya mengalami degradasi kemajuan usaha ekonomi. Penyebabnya, adalah para pengusaha santri hanya mengandalkan model kewirausahaan yang cenderung bersifat individual. Oleh karena itu, sebagai akibatnya mereka tidak mampu bersaing dengan pengusaha China yang justru lebih responsif dan inovatif dalam menerima perubahan, sehingga mereka berhasil mengembangkan sebuah institusi ekonomi modern yang kompleks, dari hanya sekedar mengandalkan kemampuan usaha keluarga.

Sukidi Mulyadi (2005) dalam Equilibrium: Jurnal Ekonomi dan Kemasyarakatan yang mengulas tentang kecenderungan terjadinya “Degradasi Ekonomi Muhammadiyah”, menganalisis munculnya kelompok muslim puritan di Jawa pada awal abad ke-20 M. Yang dipelopori oleh H. Ahmad Dahlan. Pencetus modernis Islam di Indonesia ini, menurut Mulyadi dapat dikategorikan sebagai prototipe Muslim-Calvinis.

Ahmad Dahlan (1868—1923), sudah dikenal sebagai salah seorang reformis-modernis yang cenderung memiliki sikap asketis yang tinggi dan sekaligus spirit enterpreneurship. Dahlan lahir di tengah keluarga yang taat beragama dan basis pendidikannya yang diterima dari sekolah Islam, maka mendorongnya untuk rajin beribadah, dan terobsesi menunaikan ibadah haji. Ketika di Mekkah (1890 dan 1903) telah mengantarkannya pada pendalaman terhadap konsep pemikiran reformis dunia Islam yang dicetuskan Mohammad Abduh.

Karena itu, sesudah melaksanakan haji, Ahmad Dahlan menjalani hidup seperti dalam suatu “panggilan” (calling), yang bertugas sebagai khatib di Keraton Yogyakarta dan sekaligus menjalani kehidupan sebagai “saudagar batik”. Fenomena ini menguatkan asumsi bahwa nilai simbolis haji bisa menjadi kekuatan penggerak yang menumbuhkan kebajikan dan etos kerja yang kuat dalam aktivitas bisnis batik Ahmad Dahlan. Dengan “sikap asketis dan disiplin diri” terintegrasi dengan kuat dalam karakter kepribadiannya. Etika kerja yang menjadi karakter kepribadian Dahlan, terefleksikan dalam bentuk sikap jujur, rajin, hemat, suka membantu, dan juga militan untuk melakukan transformasi sosial keagamaan dalam Islam.

Menurut Cliffort Geertz (1963), bahwa masyarakat Jawa yang telah menunaikan ibadah haji, lebih memiliki spirit kewirausahaan ketimbang rekan-rekannya di pedesaan. Dengan nilai kebajikan untuk bekerja keras dan bersikap jujur dalam pengembangan bisnis, yang telah mengantarkan Ahmad Dahlan memiliki kemiripan dengan etika Protestan-Calvinis.

Kecenderungan tersebut, yang juga tampak menonjol pada karakter Abdul Syukur sebagai salah seorang ulama Islam dalam melakukan pembaruan keagamaan terhadap masyarakat Gu-Lakudo, setelah kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekkah. Yang mengintegrasikan paham Islam modernis-rasional dengan pengembangan usaha ekonomi perdagangan. Akibat positifnya, bagi orang Gu-Lakudo mendorong mereka untuk mulai melakukan suatu proses transformasi ekonomi dari konteks ekonomi pedesaan pada ekonomi perkotaan yang berbasis pada pengembangan usaha perdagangan.

No comments:

Post a Comment