Thursday, 25 April 2013

ETOS ISLAM DALAM AKTIVITAS EKONOMI


ETOS ISLAM DALAM AKTIVITAS EKONOMI

Dalam diskusi mengenang 100 tahun The Protestan Ethic and Spirit Capitalism Max Weber, menurut Ignas Kleden (2005), spirit kapitalisme bukan hanya terdapat pada ethic Protestan. Tetapi juga sangat memungkinkan untuk muncul dari nilai-nilai budaya dan agama lain. Perkembangan “kapitalisme baru” di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti yang dialami Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia, merupakan contoh kasus yang menunjukkan kecenderungan itu.

Lalu bagaimana dengan Islam? Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konsepsi Islam, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang bersifat integral dari ajaran agama. Oleh karena itu, maka terbentuknya etos ekonomi dalam Islam, adalah bersinergisnya nilai-nilai moral keagamaan dengan rasionalitas kalkulasi untung-rugi. Sebagai akibat positifnya, terjadi keseimbangan antara kedua elemen dasar kehidupan tersebut. Untuk itu, Al-Qur’an memberikan instrumen bagi para pelaku ekonomi (perdagangan). “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru (kepadamu) untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah di muka bumi, carilah karunia Allah dan perbanyak mengingat-Nya agar kamu beruntung” (QS. 62:9-10).

Merujuk pada konsepsi normatif-teologis Al-Qur’an di atas, dapat memberikan pemahaman bahwa tindakan atau perilaku ekonomi yang dilakukan kaum muslim, pada hakekatnya merupakan manifestasi dari pengamalan ajaran agamanya. Orientasi untuk pencapaian kebahagiaan hidup, tidak hanya bertumpu pada kalkulasi untung rugi secara rasional terhadap pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat material. Tetapi juga terkait dengan berbagai hal yang sifatnya non-material. Misalnya, seorang muslim yang bekerja keras untuk mendapatkan harta kekayaan yang banyak. Dengan kemampuan hartanya, maka bisa menjadi media yang digunakan untuk semakin mendekatkan dirinya terhadap Tuhan dan sesama manusia, seperti untuk naik haji, membangun masjid, membantu orang miskin (zakat, infaq, sedeqah,dan waqaf), serta amal kebajikan lainnya.

Implementasi terhadap berbagai bentuk amal kebajikan tersebut, dapat dijelaskan secara sosiologis adalah untuk memperkecil “ketimpangan struktur sosial ekonomi” yang terjadi dalam masyarakat. Karena dengan besarnya “jurang pemisah” antara orang kaya dengan yang miskin yang terus berkembang di masyarakat, dapat menimbulkan berbagai problem sosial, seperti menciptakan latent conflict di pedesaan dan maraknya perilaku kriminalitas di perkotaan.

Memaknai kesejahteraan dengan konsep falah adalah menunjuk pada pengertian yang holistik dan seimbang yang berdimensi spiritual-material, individual-sosial, dan kehidupan dunia-akhirat. Kesejahteraan di dunia, dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kenikmatan hidup secara inderawi, baik yang berkaitan dengan materi maupun nonmaterial. Sedangkan kesejahteraan akhirat, adalah kenikmatan hidup yang akan diperoleh setelah kematian manusia. Adapaun untuk tercapainya kesejahteraan (falah) dan keselamatan (mashlahah), menurut para ulama Islam—seperti As-Satibi dan Al-Gazali jika telah termanifestasi lima hal dalam kehidupan, yaitu: agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql),keturunan (nasl), dan materi (maal).

Karena itu, dalam konsepsi Islam terbentuknya etos ekonomi bagi seorang muslim tidak hanya berakar dari tradisi budayanya, tetapi juga bersumber dari spirit keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai implikasinya, membentuk etos-spiritual individu yang diarahkan oleh nilai-nilai keagamaan, seperti: iman, ikhsan, ikhlas, dan taqwa. Dengan nilai-nilai yang demikian itu yang membentuk etos ekonomi dalam Islam, yang diimplementasikan dalam bentuk kesalehan ilahiyah, individual, dan sosial. Sehingga, menjadi media bagi terciptanya kesejahteraan hidup yang berorientasi spiritual dan material.

Ini berbeda dengan konsepsi pemikiran yang dikembangkan dalam ekonomi konvensional. Pencapaian kesejahteraan hidup adalah cenderung terletak pada kelebihan secara material. Karena itu, maka setiap individu dan kelompok masyarakat dipacu untuk memaksimalkan capaian kepentingan sendiri, seperti meningkatkan nilai kemanfaatan untuk konsumen dan keuntungan yang optimal terhadap produsen. Implikasi rasionalnya dari penerapan konsepsi ini, adalah mendorong terbentuknya “etos individualistis dan materialistis” dalam perilaku ekonomi dengan berorientasi pada kepentingan jangka pendek atau keduniaan. Sementara itu, dalam Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa tindakan ekonomi baik yang dilakukan produsen maupun konsumen—akan senantiasa berusaha untuk memaksimalkan mashlahah. Adapun konsep mashlahah tersebut, adalah menunjuk pada nilai kemanfaatan dan keberkahan serta keselamatan dengan berorientasi jangka panjang (dunia dan akhirat).

Nurcholish Madjid (1982), misalnya, sebagai salah seorang ilmuwan sosial Islam Indonesia, mengaitkan pengertian konseptual etos dengan ajaran tauhid, ikhsan dan akhlaq, Dalam konsepsi Islam, menurut Kuntowijoyo (2001), tauhid memiliki kekuatan yang bersifat transenden untuk membentuk struktur yang paling dalam dari ajaran Islam. Sedangkan ikhsan, adalah menunjuk pada pengertian optimalisasi terhadap aktualisasi “perbuatan baik” agar mendapat ridha dari Tuhan. Sementara itu, akhlaq adalah muatan nilai-nilai moral dan etika dalam melakukan pekerjaan.

Oleh karena itu, etos yang membentuk karakter dasar seorang individu muslim yang bersumber dari tauhid, ikhsan, dan akhlaq Islami, adalah menunjuk pada kualitas esensial dari karakter dasar individual, kelompok, masyarakat, dan bahkan bangsa untuk mencapai keunggulan kompetitif. Dengan demikian, dalam konsepsi Islam menurut Madjid  pembentukkan dan pengaktualisasian etos kerja bagi seorang muslim, berpijak dari “niat pelakunya” sebagai subyek kerja. Hal ini sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW. Yang menyatakan: “Nilai setiap kerja itu tergantung pada niatnya”. Artinya, jika niat dari orientasi kerjanya tinggi, maka akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi pula. Misalnya, terhadap seseorang yang berniat untuk bekerja dengan sebaik mungkin, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika niatnya rendah, juga akan menghasilkan nilai kerja yang rendah, seperti seseorang yang bekerja hanya mengejar kepentingan hidup material.

Dengan demikian, urgennya niat dalam kerja merupakan suatu bentuk komitmen dan berfungsi sebagai “sumber dorongan batin” bagi seseorang atau kelompok orang untuk bekerja secara sungguh-sungguh. Yang secara normatif-teologis, orientasi kerja menurut konsepsi Islam, sebagai upaya perwujudan dari amanah Tuhan di muka bumi. Tujuannya, adalah untuk mengelola berbagai potensi sumber daya yang ada. Sehingga, nilai kerja merupakan upaya setiap individu untuk mencari rizq (Arab) atau rezeki (Indonesia).

Menurut Dawam Rahardjo (2002), dalam karya monumentalnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengkonsepsikan etos kerja sebagai munculnya nilai tertentu dalam kehidupan manusia yang bersumber dari rangkaian hasil kerjanya. Pemanfaatan terhadap nilai kerja itu, menjadi kata kunci untuk mencari rizq. Karena Tuhan melalui ketentuan rahmat-Nya memberikan rizq kepada setiap orang. Namun, sebagai syarat utamanya kalau seseorang itu bekerja untuk mendapatkan rizq yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Terkait dengan hal tersebut, Al-Qur’an memberikan dorongan: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”, … (QS. 9:105).

Konsepsi normatif-teologis al-Qur’an tersebut, dalam realitas empirik menurut Ibnu Khaldunmenjadi sumber motivasi dalam aktivitas kerja bagi setiap orang untuk mendapatkan penghasilan, keuntungan, dan pembentukkan modal dalam perdagangan. Karenanya, Islam mengajarkan bahwa terbentuknya etos kerja bagi seorang muslim, berkaitan dengan keyakinan agamanya yang diimplementasikan dalam bentuk amal ibadah (ubudiyah) kepada Tuhan dan amal sosial (muamalah) terhadap sesama manusia.

Menurut Kuntowijo (2008), konsep Islam tentang rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiyn), bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi pemusatan dari semua orientasi nilai. Sementara itu, pada keadaan yang sama menempatkan manusia sebagai tujuan transformasi nilai tersebut. Karena itu, ajaran Islam bukan hanya berkaitan dengan masalah teologi, aturan hukum, dan peribadatan; tetapi juga mendorong berlangsungnya penataan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, maka tugas terbesar dalam Islam adalah melakukan proses transformasi sosial dan budaya yang bertumpu pada nilai-nilai ajaran agama Islam itu sendiri.

Dengan demikian, maka dalam paradigm Islam tidak mengenal adanya dikotomis antara domain kehidupan dunia yang bersifat sekuler dan juga domain akhirat yang menjadi fokus utama dari pengajaran agama. Melainkan kepentingan keduanya terintegrasi secara kuat sebagai basis terbangunnya peradaban umat manusia. Karena secara filosofis, Islam menempatkan manusia dalam bingkai “humanisme teosentris”. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi juga mengarahkan tindakannya pada proses transformasi nilai kehidupan masyarakat.

Terbentuknya etos ekonomi dalam Islam pada prinsipnya merujuk dari orientasi keseimbangan hidup antara kepentingan individu dan kelompok atau kolektivitas masyarakat, dunia dan akhirat. Karena yang menjadi mainstream bagi pemikiran Islam, adalah mencirikan tingkah laku rasional manusia dengan tujuan untuk mempergunakan berbagai sumber daya ekonomi yang berorientasi pada keseimbangan antara tujuan material dan spiritual. Dengan pengertian, bahwa bukan hanya semata-semata bertumpu pada kepentingan individual seperti yang yang menonjol dalam perkembangan kapitalisme. Sehingga masyarakat kapitalis, menururut Kuntowijoyo, esensi manusia menjadi bagian yang integral dari elemen pasar. Sebagai akibatnya, kualitas kerja dan kemanusiaan cenderung ditentukan bagaimana proses bekerjanya mekanisme pasar. Sementara itu, dalam masyarakat sosialisme manusia berfungsi sebagai elemen kekuasaan negara atau pun birokrasi pemerintahan.

Sedangkan dalam Islam, menekankan perlunya keseimbangan antara yang bersifat material dan spiritual. Artinya, tidak ada salahnya harta kekayaan yang didapat dengan cara yang benar, kemudian diinvestasikan secara produktif untuk kepentingan individu dan sosial masyarakat. Dengan demikian, maka etos ekonomi dalam Islam terbangun dari sinergisitas antara kemampuan rasionalitas dengan moralitas individual yang berorientasi keberuntungan dunia dan akhirat. Bagan berikut ini, setidaknya dapat memberikan gambaran tentang terbentuknya etos ekonomi dalam Islam.

No comments:

Post a Comment