Powered By Blogger

Thursday 18 August 2011



ILMU KALAM

Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga disiplin lainnya adalah fikih, tasawuf dan filsafat. Ilmu fikih berhubungan dengan segi-segi formal peribadatan dan hukum, tekanannya sangat eksoteris; ilmu tasawuf membidangi segi-segi penghayatan, dan pengamalan keagamaan yang lebih pribadi, tekanannya lebih esoterik; filsafat mengarahkan pembahasannya pada perenungan tentang hidup ini dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya; ilmu kalam membahas Tuhan dengan segala derivasinya.(Nurcholish Madjid,1992:201).

Ilmu kalam disebut juga Ilmu tauhid, ada juga yang menyebutnya dengan dengan ilmu Ushuluddin yaitu ilmu pokok-pokok agama yang menyangkut masalah akidah dan keimanan. Menurut Hasbi ash-shiddieqy (1991:1-2), ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dali-dalil yang meyakinkan, baik dalil aqli, dalil naqli atau dalil wijdani (perasaan halus). Ilmu seperti itu dinamakan dengan tauhid, karena pembahasanpembahasan yang paling menonjol ialah masalah ke-Esa-an Allah yang menjadi sendi asasi agama Islam, bahkan menjadi sendi bagi agama yang benar yang dibawakan oleh rasul yang diutus. Allah SWT berfirman :
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”. (Q.S. 21:25)

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman, Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam kajian keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu ‘Aqa’id (Ilmu Akidahakidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan], Ilmu Tauhid ( Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu pokok-pokok Agama). Di Indonesia, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain terdapat di atas, Ilmu kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran Agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan
189

Metodologi Studi Islam
Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktriner, seringkali juga dogmatis. (Nurcholish Madjid,1992:202)

Menurut Abuy Sodikin dan Badruzaman (2004:120) dengan mengutip pendapat Asy-Syiddieqy (1992 : 1-2) faktor penyebab mengapa ilmu ini disebut ilmu kalam sebagai berikut :
1. Karena problema-problema yang diperselisihkan para ulama dengan ilmu ini, yang menyebabkan umat terpecah menjadi beberapa golongan adalah masalah kalam Allah yang kita baca, apakah dia itu makhluk atau qadim.
2. Materi-materi ilmu ini adalah merupakan teori-teori kalam; tak ada diantaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota badan.
3. Ilmu ini, dalam menerangkan cara atau menetapkan dalilnya untuk pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq, karena itu ilmu ini disebut juga ilmu kalam.
4. Ulama-ulama mutaakhirin memperkatakan dalam ilmu ini membahas masalah-masalah yang tidak dikatakan oleh ulama salaf, seperti penta’wilan ayat-ayat mutasyabbih, pembahasan tentang pengertian qadla; tentang kalam dan lain-lain.

Oleh karena itulah istilah ilmu kalam lebih terkenal di masa Abbasiyah, sesudah terjadi banyak perdebatan, pertukaran ide, dan bercampurnya masalahmasalah tauhid dengan falsafah, seperti membicarakan maddah, susunan tubuh, hukum-hukum jauhar, sifat dan lain-lain.(Abuy Sodikin,2004:120). Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fikih, kajian tentang Ilmu Kalam dikalangan kaum “santri” masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian ilmu Fikih yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab ‘Aqidah al-’Awwam (Akidah kaum Awam), diteruskan dengan Bad’ al-’Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawahrat at-Tawhid (Permata Tawhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). Di samping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu, penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang. (Nurcholish Madjid,1992:202-203).

Pertumbuhan Ilmu Kalam

Jika dilihat dari sejarah timbulnya, ilmu kalam bermula dari persoalan politik yaitu kematian Usman bin Affan, yang kemudian diganti oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian tersebut dipertegas oleh Harun Nasution (1995:368) bahwa masalah akidah dalam Islam muncul sebagai akibat dari masalah politik. Setelah kematian khalifah Usman bin Affan, umat Islam di Madinah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Pengangkatannya ditentang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damsyik, dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib ikut bertanggungjawab atas pembunuhan Usman bin Affan. Setelah itu pecahlah perang antara Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan. Perang ini dikenal dengan perang Shiffin. (Abuy Sodikin,2004:121). Senada dengan ungkapan di atas, Cak Nur mengungkapkan dengan mengatakan sebagai berikut : Sama halnya dengan disiplin–disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu kalam sangat erat terkait dengan anarkisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, akan sampai kepada peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan, khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang seringkali dinamakan al-Fitnat al- Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, ilmu kalam merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah besar itu. (Nurcholish Madjid,1992:203).

Dalam perang Shiffin pihak Ali sudah berada dalam keunggulan, untuk mengelakkan kekalahan, Amr bin Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abu Sufyan, menaikkan lembaran-lembaran al-Qur’an di ujung pedang. Melihat lembaran al-Qur’an penghapal Alquran di pihak Ali mendesak Ali untuk menerima tahkim, yaitu arbitrase sebagai jalan penyelesaian sengketa dengan Mu’awiyah .Dalam arbitrase itu, Ali kalah dan Muawiyah yang menang, Ali diturunkan oleh Abu Musa al-Asyari dari kursi khalifah dan Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah oleh Amr bin Ash. Pengangkatan ini membuat sebagian dari pengikut Ali keluar dari barisannya dengan argumen bahwa khalifah keempat tersebut telah membuat kesalahan dalam menerima tahkim. Golongan inilah kemudian yang disebut dengan golongan Khawarij (Abuy,2004:121- 122).

Dalil untuk menyalahkan terjadinya tahkim atau arbitrase tersebut adalah al-Qur’an surat al-Maidah ayat 44 sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah : 44).

Mereka sangat kecewa kepada ‘Ali karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyyah Ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” yang di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan “de-jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Khawarij, kaum pembelot atau pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyyah sebagai kafir. Karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyyah, juga Amr Ibn al-’Ash, gubernur Mesir sekeluarga dan membantu Mu’awiyyah mengalahkan ‘Ali dalam peristiwa “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali sedangkan Mu’awiyyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr Ibn al-Ash selamat sepenuhnya ( tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr,karena rupanya mirip. (Nurcholish Madjid 1992: 205)

Selanjutnya, kembali kepada pendapat Khawarij di atas ternyata mendapat reaksi dari kalangan lainnya yang cukup keras. Diantaranya pendapat keras ini (pendapat bahwa pelaku dosa besar itu kafir), ditentang oleh umat Islam yang bersifat moderat, yang dalam sejarah Ilmu Kalam atau Teologi Islam dikenal dengan nama Mur’jiah. Berbeda dengan Khawarij, yang memandang bahwa amal atau perbuatan merupakan faktor penentu (menentukan) dalam soal iman, Mur’jiah menganggap tidak demikian. Sehingga, menurut faham Mur’jiah, selama seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat, ia tidak bisa dikafirkan, walaupun melakukan dosa besar, dia tetap mukmin. (Abuy Sodikin, 2004:123)

Kembali kepada persoalan Khawarij. Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan ekslusifistik, kaum khawarij akhirnya binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran khawarij adalah
Mu’tazilah. Kelompok inilah sebenarnya yang paling banyak mengembangkan ilmu kalam. Berkenaan dengan hal ini Ibnu Taymiyah memiliki kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ulama yang disebutnya Imam Abdullah ibn al-Mubarak.

Menurut Ibn Taymiyyah sarjana itu mengatakan demikian : Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan ahli
(pengikut) Ra’y (temuan rasional)…

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyah bahwa ilmu kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah.Salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyah. Tapi yang menarik adalah orang yang pertama kali menggunakan rasionalitas adalah Jahm bin Safwan yang justru seorang penganut Jabariyah, yaitu paham yang mengatakan bahwa manusia tidak berdaya sedikitpun jika berhadapan dengan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberikan pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti ini tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi (personal god). Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tidak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal yang universal. Dengan mengikuti pemikiran Aristoles tersebut Jahm sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat kasih sayang, pemaap dan sebagainya. Bagi mereka adanya sifat-sifat tersebut membuat Tuhan jadi ganda, jadi bertentangan dengan sifat tauhid yang ingin mereka tegakkan.( Nurcholish Madjid,1992:206-207)

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Setelah Mu’tazilah muncullah aliran baru dalam kalam yaitu aliran Asy’ariyyah. Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang pada awalnya terdidik dalam paham Mu’tazilah.Seorang pemikir lain yang ilmu kalamnya mendapatkan pengakuan sama dengan al-Asy’ari adalah Abu Mansur al- Maturidi. Keduanya dianggap oleh sebagian kaum Sunni sebagai “jalan keselamatan”.(Nurcholish Madjid,1992:208-209). Selanjutnya akan dibahas tentang beberapa aliran dan doktrin kalam sebagai tambahan informasi, Anda diisyaratkan untuk dapat memahaminya dengan lebih baik.

ALIRAN DAN DOKTRIN KALAM
1. Khawarij
Khawarij pada awalnya adalah kelompok politik yang membelot dari Ali karena merasa kecewa terhadap hasil arbitrase. Kemudian mereka menjadi kelompok aliran teologi karena pembicaraannya telah memasuki wilayah teologi. Doktrin pokok kelompok ini adalah :
a. Mereka menafsirkan al Quran dengan sangat literal dan dengan pemahaman sederhana serta kaku. Hal ini disebabkan kebanyakan mereka orang Arab Baduy.
b. Orang yang melakukan arbitrase (Ali,Muawiyah,Musa al Asy’ari,Amr bin Ash) dan yang menyetujui hal itu telah melakukan dosa besar dan kafir karena tidak melaksanakan hukum Allah. (Harun Nasution,1986:12-13)

Menurut Harun Nasution (1986:15-19) aliran Khawarij ini kemudian terpecah menjadi beberapa kelompok antara lain :
1. Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli yang pada awalnya mengikuti Ali.Bagi mereka, Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah
Nama al-Azariqah diambil dari Nafi ibn Azraq. Pengikutnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Sub-sekte ini lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi musyrik. Dalam Islam syirik merupakan dosa yang terbesar. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan yang sefaham dengan mereka pun kalau tidak mau berhijrah dianggap kafir.
3. Al-Najdat
Aliran ini diambil dari nama Najdah ibn Amir al Hanafi dari Yamamah. Pada awalnya mereka ingin menggabungkan diri dengan al-Azariqah. Pada saat itu tengah terjadi pertentangan diantara pengikut Nafi diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi yang tidak menyetujui bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Najdah dan Abu Fudaik akhirnya bergabung dan mengangkat Najdah sebagai imam baru mereka. Menurut Najdah, bahwa orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di neraka adalah orang Islam yang tak sefaham dengan golonngannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di neraka, dan kemudian akan masuk surga. Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan dapat menjadi musyrik.
4. Al-Ajaridah
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban tetapi hanya kebajikan. Kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan dan mereka tidak menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan harta rampasan perang adalah harta orang yang telah mati terbunuh. Mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari Alquran karena mengandung cinta.
5. Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Ziad ibn al-Asfar. Faham mereka dekat dengan faham al-Azariqah. Mereka termasuk golongan ekstrem. Mereka berpendapat bahwa orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak kafir; anak-anak kaum musyrik tidak boleh dibunuh; Tidak semua yang berdosa besar musyrik; daerah yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar al harb; kufur dibagi dua yaitu kufur bin inkar al ni’mah dan kufur bi inkar al rububiyah yaitu mengingkari Tuhan.
6. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat. Nama golongan ini diambil dari nama Abdullah ibn al-Ibad. Menurut mereka orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah muysrik tetapi kafir; daerah yang tak sefaham dengan mereka kecuali camp pemerintah adalah dar tawhid; Orang Islam yang berdosa besar adalah muwahhid-yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan kalaupun kafir hanya kafir bi al-ni’mah bukan kafir al-millah yaitu kafir agama; Yang boleh dirampas hanyalah kuda dan senjata.

2. Murjiah
Murjiah adalah kelompok teologi yang lebih memilih tidak ikut larut dalam politik atau pertentangan muslim-kafir (Harun,1986:22).Aliran ini terbagi dua yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem. Menurut golongan moderat, Orang yang berdosa besar tetap muslim dan tidak kafir tetapi akan dihukum di neraka sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya. Yang termasuk tokoh moderat ini al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf. Yang kedua adalah golongan ektrem yaitu al-Jahmiah.menurut golongan ekstrim mengatakan bahwa orang-orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang yang demikian pun tidak menjadi kafir meskipun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi, dan kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupaklan orang mukmin (Harun Nasution,1986:25-26).

3. Syiah
Syi’ah adalah kelompok teologi yang mendukung Ali secara politik dan mengakui Ali sebagai imam dan mengagungkan ahlul bait. Kata syi’ah bermakna ‘pengikut’ atau ‘penolong’. Istilah ini dipungut dari peristiwa masa lalu yaitu ketika khalifah ketiga, Usman bin Affan terbunuh yang mengakibatkan kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan yaitu syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah (Asy-Syak’ah,1994:133). Adapun doktrin atau pemikiran Syi’ah sebagai berikut :
1. Itrah (para pengganti nabi yang suci)
2. Ishmah (kesucian para imam dari dosa)
3. Wishayah (pengangkatan whasi dan wali oleh nabi)
4. Wilayah (menerima kepemimpinan seorang imam)
5. Imamah (kepemimpinan orang-orang shaleh)
6. ‘Adil (keadilan dalam semua tindakan Allah)
7. Taqiyyah (menyembunyikan, dan berhati-hati dalam masalah agama karena larangan rezim penguasa tirani)
8. Sunnah (praktik nabi suci)
9. Ghayyah (gaibnya imam mahdi)
10. Syafa’ah (pertolongan dari salah seorang 14 manusia suci pada hari kiamat)
11. Ijtihad (integrasi fatwa-fatwa hukum agama dengan evolusi dan perubahan dalam kondisi kehidupan manusia)
12. Do’a (doa dan permohonan)
13. Taqlid (Mengikuti ulama dalam masalah-masalah teknis keagamaan) (Ali Syari’ati:1995:60-61)

Menurut Syak’ah (1994:139) firqah Syi’ah telah terpecah dan terbagi-bagi menjadi sekian banyak kelompok. Kelompok tersebut antara lain:
1. Sabaiyah
Firqah Syi’ah ini adalah yang pertama menuhankan Ali bin Abi Thalib. Firqah ini dipimpin oleh Abdullah bin Saba.
2. Tawabun
Kelompok ini dipimpin oleh Sulaiman bin Surd al-Khuza’i seorang sahabat nabi yang mulia. Kelompok ini bermotif rasa simpati dan ungkapan penyesalan karena mereka merasa bersalah atas meninggalnya Husein.
3. Al-Kisaniyah
Kelompok ini berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan hak Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat demikian karena dialah yang membawa bendera dalam pertempuran Jamal.
4. Al-Mughiriyyah
Kelompok ini termasuk kelompok yang paling meyimpang karena meyakini kedatangan Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali yang dikenal dengan Muhammad yang berjiwa suci (an-nafsu azzakiyah).
4. Qadariyah
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? (Harun Nasution,1986:31). Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. (Harun
Nasution,1986:31)
5. Jabariyyah
Kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan. (Harun Nasution,1986:31)
6. Mu’tazilah
Aliran ini muncul pada awal pemerintahan Bani Umayyah (40-132 H/660-750) dan tampak sekali keaktifannya pada masa pemerintahan khalifah Hisyam dan para penggantinya (105-131 H/723-748 M) (Brill’s,1987:788). Bagaimana awal perkembangan Mu’tazilah, dan mengapa firqah ini dinamakan Mu’tazilah? Sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak dapat dilepaskan dari nama washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tazilah. Washil adalah salah seorang murid Hasan Bashri. Ia selalu menghadiri halaqah pengajian yang diselenggarakan Hasan Bashri di sebuah masjid di Bashrah. Suatu ketika, salah seorang murid Hasan Bashri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Bashri memberi jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafiq. Washil yang saat itu hadir merasa tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia pun menyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang mukmin secara mutlak, dan bukan pula kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar tersebut di antara dua kedudukan itu. (Asy-Syak’ah, 1994:310). Pendapat lain mengatakan, bahwa nama Mu’tazilah diambil dari sifat orang-orang yang memisahkan diri dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketaqwaan, zuhud, kesederhanaan, serta merasa puas dengan apa yang ada. Pendapat ketiga mengatakan, nama itu diambil dari pernyataan Mu’tazilah, bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah memisahkannya antara mukmin dan kafir. (Asy-Syak’ah,1994:310)
Pendapat keempat mengatakan, bahwa sikap I’tizal (memisahkan diri) telah ada sejak lama sebelum masa Hasan Bashri. Mu’tazilah adalah mereka yang tidak mau melibatkan diri dalam Perang Jamal dan perang Shiffin. Ketidakterlibatan mereka dalam dua perang tersebut adalah karena mereka belum dapat mengetahui dengan jelas, mana yang benar dan mana yang salah diantara dua pihak yang bertikai itu. Dalam hal ini mereka bersandar pada firman Allah:
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; Jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujarat 9)
Karena mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti antara yang benar dan yang salah, maka mereka bersikap netral. Pendapat kelima mengatakan, bahwa mazhab I’tizal adalah merupakan mazhab dari segi akidah dan pemikiran yang dikembangkan oleh Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid. Hal ini karena Washil telah belajar dari Muhammad bin Ali bin Abi Thalib , dan Muhammad belajar dari ayahnya. Sebagai penguat pendapat ini, Zaidiyah, salah satu firqah syi’ah, menyepakati semua ajaran akidah Mu’tazilah, kecuali dalam masalah imamah. Di samping itu, Zaid sendiri adalah murid Washil bin Atho. Pada prinsipnya, secara umum Syi’ah cenderung kepada Mu’tazilah dalam hal aqidah,dan banyak memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal ushul fiqih. (Asy-Syak’ah,1994:311) Pancasila Mu’tazilah adalah ;
1)Tauhid, yaitu meyakini bahwa Allahlah yang Maha Esa Tidak ada yang menyerupainya, 
2) Al Adl, 
3)al-Wa’du wal Waid
4)Manjilah bainal Manjilatain 
5) Amr ma’ruf nahi munkar.
7. Ahlu Sunnah wal Jamaah
Aliran ini dipelopori oleh Abul Hasan bin Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir pada tahu 260 Hijriah dan wafat pada tahun 324 Hijriyah. Ketika paham Jabariyah mengatakan bahwa Allah-lah pencipta segala perilaku manusia, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia sendiri yang menciptakannya, maka al-Asy’ari atau Ahli Sunnah mengatakan bahwa semua perilaku manusia Allah-lah yang menciptakannya, sedangkan manusia mengamalkannya sesuai dengan kesangupannya (Asy-Syak’ah:1994:385). Mengenai al-Qur’an apakah hadits atau qadim, Asy’ari berpendapat bahwa “Hendaklah dapat dibedakan antara kalamullah dengan zat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud al-Qur’an yang ada diantara kita diturunkan dalam kurun waktu” (Asy-Syak’ah,1994:385). Secara popular doktrin mereka antara lain: 
a. Mereka lebih mendahulukan wahyu daripada akal.
b. Tuhan bersifat, Alquran adalah kalamullah dan qadim.
c. Tuhan dapat dilihat diakhirat oleh mata telanjang.
d. Antropromorfisme.
e. Orang berdosa besar masih mukmin hanya saja dia menjadi fasiq.

Kajian dan Model Penelitian Ilmu Kalam Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya; lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin. Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan.

Islam khususnya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer. (M.Amin,2000:223) Jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan pendekatan critical sosial sciences dan humaniora pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah atau dogma hanya akan bermakna secara esoterik-metafisis tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini. (M.Amin,2000:236)

Dalam penelitian terhadap ilmu kalam terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian pemula dan penelitian lanjutan. Penelitian pemula adalah penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh penelitian pemula sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam dengan merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.

Diantara contoh contoh penelitian kalam pertama antara lain:
a. Model Abu Mansur Muhammad bin Mahmud al Maturidy al Samarkandi
Penelitian Samarqandi dapat dilihat dalam kitabnya yang berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini ditahkik oleh Fathullah Khalif.Dalam buku tersebut selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat al Maturidi juga diungkapkan berbagai macam persoalan ilmu kalam secara detil. Diantaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriman, pembahasan tentang alam , antropromorphisme, sifat-sifat Allah dan perbuatan makhluk.
b. Model al Imam al-Hasan bin Ismai’il al-Asy’ari
Al-Asy’ari telah membuat buku yang berjudul Maqalat al Islamiyyin wa Ikhtilaf al Musallin. Buku ini telah ditahkik oleh M. Muhyiddin Abd al-Hamid. Dalam buku ini dibahas tentang permulaan timbulnya masalah perdebatan pendapat di kalangan umat Islam disebabkan oleh perbedaan kepemimpinan. Dalam buku itu juga dibahas tentang kebolehan bagi Allah menciptakan alam, tentang al-Qur’an, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan manusia, perbuatan manusia.
c. Model Abd Al-Jabbar bimn Ahmad
Ia menulis kitab Syarh al Ushul al Khamsah. Buku ini ditahkik oleh Dr. Abdul Karim Usman. Buku ini membahas aliran Mu’tazilah secara mendalam dan mendetil.
d. Model Thahawiyah
Ia menulis kitab Syarh al –Akidah al Thahawiyah. Buku ini telah ditahkik oleh beberapa ulama dan di edit oleh Muhammad Nashir al Din al-Bayai. Didalamnya membahas pemikiran teologi aliran Salaf. Dalam buku ini dibahas tentang kewajiban mengimani apa yang dibawa Rasul, mengikuti ajaran Rasul, makna tauhid, macam tauhid, menngenai wujud yang berada di luar zat Tafsir tentang Qudrat dan seterusnya. Selanjutnya dapat disebutkan beberapa karya yang merupakan penelitian pemula atau pertama sebagai berikut:
1. Model al-Imam al-Haramain al-Juwainy
2. Model al-Ghazali
3. Model al-Amidy
4. Model al-Syahratsani
5. Model al-Bazdawi (Abuddin Nata,2008:274-277)
Seluruh penelitian pemula bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mana ajaran teologi Islam yang diambil dari Alquran dan hadits dan berbagai pemikiran tokoh teologi (Abuddin Nata, 2008:277). Selanjutnya adalah penelitian lanjutan. Dalam penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalisasi. Contoh penelitian lanjutan sebagai berikut :
a. Model Abu Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran dalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-’Aqaid. Permasalahan teologi yang diangkat dalam penelitian ini sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi. (Abuddin Nata,2008:278)
b. Model Mustafa Ali al-Ghurabi
Ali Mushthafa Al-Ghurubi, sebagaimana Abu Zahrah tersebut, memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang terdapat dalam Islam serta pertumbuhan Ilmu Kalam di kalangan masyarakat Islam. Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmu al-Kalam ‘ind al-Muslimin. Dalam hasil penelitiannya itu ia mengungkapkan antara lain sejarah pertumbuhan ilmu kalam,keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, zaman Khulafaur Rasyidin, zaman Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologi yang muncul pada setiap zaman tersebut. (Abuddin Nata,2008:278)
c. Model Abd. Lathif Muhammad Al-Asyr
Abd Al-Lathif Muhammad Al-’Asyr secara khusus telah melakukan penelitian terhadap pokok-pokok pemikiran yang dianut Aliran Ahli Sunnah. Hasil penelitiannya ini telah dituangkan dalam karyanya berjudul al-Ushul al-Fiqriyah li mazhab ahl al-Sunnah yang tebalnya 162 halaman. Dalam buku ini antara lain dibahas tentang pokok-pokok yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dikalangan umat Islam; masalah mantiq dan falsafah, hubungan mantiq dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, bentuk dan pemikiran, pembentukan konsep, barunya alam, sifat yang melekat pada Allah azza wa jalla, nama-nama Tuhan, keadilan Tuhan, penetapan kenabian, mu’jizat dan karomah, rukun Islam, iman dan Islam, taklif (beban), Al-Sam’iyyat (wahyu atau dalil naql), Al-Imamah, serta ijtihad dalam hukum agama. (Abuddin Nata,2008:279)

Disamping model tersebut terdapat model lain sebagai berikut :
1. Model Ahmad Mahmud Subhi
2. Model Ali Sami al-Nasyr dan Ammar Jam’iy al-Thaliby
3. Model Harun Nasution

No comments:

Post a Comment