Friday, 16 December 2011

FISIOLOGI TERKAIT DENGAN MEKANISME PENGATURAN SUHU



FISIOLOGI TERKAIT DENGAN MEKANISME PENGATURAN SUHU

     Bagian otak yang berpengaruh terhadap pengaturan suhu tubuh adalah hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior. Hipotalamus anterior (AH/POA) berperanan meningkatkan hilangnya panas, vasodilatasi dan menimbulkan keringat. Hipotalamus posterior (PH/ POA) berfungsi meningkatkan penyimpanan panas, menurunkan aliran darah, piloerektil, menggigil, meningkatnya produksi panas, meningkatkan sekresi hormon tiroid dan mensekresi epinephrine dan norepinephrine serta meningkatkan basal metabolisme rate.

     Jika terjadi penurunan suhu tubuh inti, maka akan terjadi mekanisme homeostasis yang membantu memproduksi panas melalui mekanisme feed back negatif untuk dapat meningkatkan suhu tubuh ke arah normal (Tortora, 2000). Thermoreseptor di kulit dan hipotalamus mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic dan pusat peningkata panas di hipotalamus, serta sel neurosekretory hipotalamus yang menghasilkan hormon TRH (Thyrotropin releasing hormon) sebagai tanggapan.hipotalamus menyalurkan impuls syaraf dan mensekresi TRH, yang sebaliknya merangsang Thyrotroph di kelenjar pituitary anterior untuk melepaskan TSH (Thyroid stimulating hormon). Impuls syaraf dihipotalamus dan TSH kemudian mengaktifkan beberapa organ efektor. Berbagai organ efektor akan berupaya untuk meningkatkan suhu tubuh untuk mencapai nilai normal, diantaranya adalah :

· Impuls syaraf dari pusat peningkatan panas merangsang syaraf sipatis yang menyebabkan pembuluh darah kulit akan mengalami vasokonstriksi. Vasokonstriksi menurunkan aliran darah hangat, sehingga perpindahan panas dari organ internal ke kulit. Melambatnya kecepatan hilangnya panas menyebabkan temperatur tubuh internal meningkatkan reaksi metabolic melanjutkan untuk produksi panas.

· Impuls syaraf di nervus simpatis menyebabkan medulla adrenal merangsang pelepasan epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah. Hormon sebaliknya, menghasilkan peningkatan metabolisme selular, dimana meningkatkan produksi panas.

· Pusat peningkatan panas merangsang bagian otak yang meningkatkan tonus otot dan memproduksi panas. Tonus otot meningkat, dan terjadi siklus yang berulang-ulang yang disebut menggigil. Selama menggigil maksimum, produksi panas tubuh dapat meningkat 4x dari basal rate hanya dalam waktu beberapa menit

· Kelenjar tiroid memberikan reaksi terhadap TSH dengan melepaskan lebih hormon tiroid kedalam darah. Peningkatan kadar hormon tiroid secara perlahan-lahan meningkatkan metabolisme rate, dan peningkatan suhu tubuh.

      Jika suhu tubuh meningkat diatas normal maka putaran mekanisme feed back negatif berlawanan dengan yang telah disebutkan diatas. Tingginya suhu darah merangsang termoreseptor yang mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic, dimana sebaliknya merangsang pusat penurun panas dan menghambat pusat peningkatan panas. 

    Impuls syaraf dari pusat penurun panas menyebabkan dilatasi pembuluh darah di kulit. Kulit menjadi hangat, dan kelebihan panas hilang ke lingkungan melalui radiasi dan konduksi bersamaan dengan peningkatan volume aliran darah dari inti yang lebih hangat ke kulit yang lebih dingin. Pada waktu yang bersamaan, metabolisme rate berkurang, dan tidak terjadi menggigil. Tingginya suhu darah merangsang kelenjar keringat kulit melalui aktivasi syaraf simpatis hipotalamik. Saat air menguap melalui permukaan kulit, kulit menjadi lebih dingin. Respon ini melawan efek penghasil panas dan membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal.

     Menurut Myers, 2006, mengatakan keseimbangan termoregulasi dicapai dengan diikuti oleh mekanisme di dalam regio anterior hipotalamus/ preoptic area yang termosensitif. Neuron-neuron yang sensitive terhadap dingin terlebih dahulu Kembali ke homeostasis ketika suhu tubuh kembali normal Menurun mengintegrasikan input sensori dan kemudian memicu efektor untuk memproduksi metabolisme panas, vasokonstriksi, menggigil dan respon lainnya. Di sisi lain, untuk mengaktifkan kehilangan panas, neuron-neuron yang sensitif terhadap panas merangsang efektor untuk mengalami dilatasi, bernapas pendek dan cepat, berkurangnya metabolisme rate, dan mengambat efektor untuk penghasil panas. Walaupun temperature sirkulasi darah dalam hipotalamus berpartisipasi dalam mekanisme control umpan balik terhadap system sensor-efektor, reseptor di kulit memberikan tanda kritis termal melalui serabut afferent ke AP/POA.


Titik Singgung Tasawuf dengan Kesehatan Mental

Penghayatan tasawuf pada dasarnya berkaitan erat dengan persoalan kesehatan mental. Namun demikian, tidak berarti bahwa penghayatan tasawuf itu semata bertujuan untuk memperoleh kesehatan mental. Alasannya, pertama, tasawuf sudah muncul jauh sebelum kelahiran ilmu kesehatan mental. Kedua, para sufi sudah berbicara tentang “shihhah alnafs “ (kesehatan mental). Sekalipun secara esensial, isi dan maksud kesehatan mental para sufi tersebut tidak selalu sama dengan isi dan maksud kesehatan mental sebagai suatu kajian ilmu saat ini. Karena secara hakiki, para sufi dalam menghayati hidup sufistiknya tidak pernah memperdulikan, apalagi membicarakan, akan memperoleh kesehatan mental atau tidak. Para sufi hanya ingin memperoleh “kedekatan dan kerelaan dari Allah sedekat-dekatnya dan serela-rela-Nya”.

Dengan demikian dalam Islam, persinggungan kesehatan mental dan tasawuf sudah dapat dilihat pada “makna kesehatan mental itu sendiri”. Ajaran kesehatan mental menurut pandangan Islam sebenarnya ajaran tasawuf itu sendiri. Kesehatan mental yang biasa diartikan sebagai “terbentuknya individu yang terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan” dapat ditemukan dalam kehidupan kaum sufi. Ketika ajaran tasawuf dimaknai sebagai “proses penyucian jiwa”, maka itu dapat diidentikkan dengan “usaha pembentukan individu sehat mental”.

Kondisi sehat mental rasanya sulit diwujudkan bila jiwanya terkotori. Seseorang yang ingin memperoleh kesehatan mental, sementara dirinya banyak berlumuran dosa, maka jalan satu-satu untuk itu hanyalah dengan
“menyucikan jiwa”. Bersihkan jiwanya dari seluruh dosa dan perbuatan buruk merupakan jalan untuk memperoleh “sehat mental”.

Persinggunan selanjutnya kesehatan mental dan tasawuf dapat dilihat pada “tujuan yang hendak dicapai keduanya. Tasawuf ingin memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman jiwa di dunia, dan di akhirat. Kesehatan
mental berusaha mendapatkan “kebahagiaan dan ketenteraman hidup di dunia”. Erich Fromm mengatakan, persoalan sehat mental terkait erat dengan problema moral. Pembicaraan soal “moral” tentu terkait erat dengan soal kejiwaan. Moral yang baik (baca: akhlak) mencerminkan jiwa yang tersucikan. Jika jiwa suci menjadi syarat terbentuknya sehat mental, maka orang bermoral baik adalah orang bermental sehat.

Yusuf Musa mengatakan, kebajikan membuat jiwa menjadi tenang (thuma’nînah), sedangkan kejahatan menyebabkan jiwa menderita. Ungkapan ini semakin mempererat persinggungan antara tasawuf dengan kesehatan mental.


Titik Singgung Psikologi Agama dengan Kesehatan Mental

Titik singgung psikologi agama dengan kesehatan mental bisa dilihat dari beberapa aspek berikut:
Pertama, induk ilmu psikologi agama dan kesehatan mental adalah sama, psikologi. Kesehatan mental perannya sebagai ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ilmu psikologi. Hanya saja terdapat perbedaan antara kedua, terutama dalam tujuan pengkajiannya. Psikologi agama mengkaji dan menemukan “pengaruh keyakinan agama terhadap orang-orang yang memeluknya, proses pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan, dan proses kegoncangan keagamaan dan keyakinan seseorang dan berubahnya keyakinan seorang pemeluk agama”, sedangkan kesehatan mental bertujuan “untuk mengembangkan semua potensi yang
ada pada diri manusia seoptimal mungkin, serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan”.

Kedua, kedua ilmu ini memiliki obyek kajian sama, yakni aspek kejiwaan manusia. Bila diperbandingkan dengan persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama, agaknya persinggungan psikologi agama dan kesehatan mental tampak lebih bersifat kokoh dan langsung. Hal itu dapat dilihat bahwa pengembangan ilmu kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari kajian yang ada dalam psikologi agama. Psikologi agama membicarakan pengaruh ajaran agama dan proses kejiwaan orang beragama. Sementara kesehatan mental melanjutkan dan memperdalam apa yang dikaji psikologi agama tersebut. Dapat juga dikatakan, ketika kajian psikologi agama ditindak lanjuti ke arah “implementasi dan pemanfaatan” nya dalam kehidupan manusia, maka di situlah kesehatan mental dikaji dan dikembangkan. Kesehatan mental membicarakan “bagaimana ajaran agama dapat diimplementasikan sebagai terapi kejiwaan”, “bagaimana ajaran agama dapat menumbuhkembangkan seluruh potensi personalitas manusia secara optimal dan seimbang”, dan kemudian bagaimana memanfaatkannya dengan sebaik mungkin dalam kehidupannya, sehingga pemeluk agama tersebut terhindar dari gangguan dan penyakit mental.

Ketiga, kajian kesehatan mental berusaha melanjutkan studi dan kajian yang dilakukan psikologi agama. Bila psikologi agama hanya berbicara mengenai “bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap kejiwaan para pemeluknya”, maka kesehatan mental membicarakan “bagaimana ajaran agama mampu membentuk kepribadian para pemeluknya secara integral sebagai perwujudan tingkat kesehatan mentalnya. Persinggungan psikologi agama dan kesehatan mental makin tampak jelas, ketika membicarakan mengenai kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan. Pengkajian masalah terapi kejiwaan kesehatan mental sudah tentu banyak persinggungan dengan psikologi. Tanpa bantuan psikologi, terapi kejiwaan, terutama ketika menyentuh soal pengaplikasian dan pengembangan metode dan teknik-teknik terapi klinis tidak mungkin dapat dilakukan, karena hal-hal tersebut memang sudah banyak dikembangkan jauh lebih awal oleh kajian psikologi.


Titik Singgung Tasawuf dengan Psikologi Agama

Sebenarnya kedua disiplin ilmu ini secara langsung tidak berhubungan. Tasawuf berkaitan dengan penghayatan keagamaan (Islam) esoterik. Karenanya tasawuf banyak menggunakan “qalb”( ) ketimbang “aql”. Tasawuf lebih bersifat relijius, karena tasawuf berasal dari ajaran agama Islam. Pembenaran terhadap ajaran Islam menjadi syarat kajian tasawuf. pengkajian tasawuf tanpa keyakinan tidak akan menemukan kebenaran yang hendak dicarinya. 

Sementara psikologi agama membatasi kajian pada prinsip-prinsip studi psiklogis belaka. Psikologi agama tidak membicarakan soal benar atau salah ajaran agama (Islam). Karenanya, kebenaran yang dicari psikologi agama bukan kebenaran teologis ataupun kebenaran fikih/syar’i, melainkan kebenaran psikologis semata. Maka pembicaraan mengenai “bagaimana manusia beriman misalnya?”, kajianya hanya ditekankan pada tindakan “gejala-gejala keberimanan secara psikologis saja”. Begitu pula dalam hal “mengapa manusia berkelakuan agamais, psikologi agama tidak membahas motif-motif bersifat teologis metafisis, melainkan hanya berbicara “motif-motif yang mampu disentuh dan observeable secara psikologis.

Dengan mencermati uraian di atas, tampak jelas perbedaan dan sekaligus mengisyaratkan bahwa persinggungan antara keduanya tidak ditemukan secara langsung. Namun bila ditelaah lebih teliti, ternyata ditemukan adanya keterkaitan antara kedua ilmu tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik singgung antara tasawuf dan psikologi agama itu dapat diungkap beberapa temuan berikut:

Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya. Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf membahas bagaimana “menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama”, psikologi agama membahas “bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek kehidupan manusia yang observeable terutama.

Kedua, Tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa” , sementara psikologi agama menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir positif, dan rasional empirik.

Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi agama ditemukan ketika ternyata “salah satu kajian psikologi agama adalah perilaku para sufi”. Hanya saja psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran dan ritus-ritusnya, melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan seorang sufi.

Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan ungkapan tersebut, Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik (tasawuf) berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang”. Kesimpulan hasil risetnya tersebut dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empirik dan keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi.
Keempat, persinggungan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam “obyek kajian”. Psikologi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan ada kepentingan obyek kajian dan atau obyek penelitian. 

Sebagaimana dalam uraian di atas, salah satu obyek kajian psikologi agama adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaan seseorang. Sementara dua hal tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkait dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai pengalaman keberagamaan).

Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, ( ذوق ) kedua bidang kajian tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Bahkan dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan psikologi lebih bersikap agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu, bagaimana memperoleh kebahagiaan dan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti “semua perilaku dan perikehidupan para sufi”. Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama.

Sekalipun persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun persinggungannya dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara kedua saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi agama. Sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau mendalaminya.


Persinggungan Antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental dalam Khazanah Iintelektual Muslim

Secara formal sebagai disiplin ilmu, psikologi agama dan kesehatan mental belum banyak ditemukan dalam khasanah keilmuan muslim, terutama di jaman keemasan kebudayaan Muslim. Jadi hanya ilmu tasawuf yang sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu, karena psikologi agama dan kesehatan mental baru muncul pada abad modern, tepatnya abad ke-19. Meski demikian, secara substansial harus diakui, bahwa embrio kedua ilmu itu sudah ditemukan jauh sebelum tahun kelahirannya, benang merah persinggungan antara ketiga ilmu itu memungkinkan untuk dilacak dalam gudang sejarah keilmuan muslim.

Diskusi mengenai gudang keilmuan muslim dalam sejarah biasanya dikaitkan dengan dua kerajaan muslim di Barat dan di Timur. Di Barat diwakili Daulah Amawiyah yang berpusat di Cordova (Spanyol), sedangkan di Timur diwakili Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.

Kedua kerajaan muslim itulah yang mengibarkan panji kemajuan ilmu-ilmu Islam dan sekaligus terlahirnya para pemikir muslim di setiap bidang keahliannya masing-masing. Pada masa itu kajian filsafat dan seluruh cabang keilmuan Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya, bagaimana posisi tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Oesman Bakar memberikan suatu isyarat, bahwa dalam khasanah intelektual muslim pengkajian psikologi sudah mencakup proses hierarkhis perkembangan berbagai daya jiwa, sifat, fungsi-fungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktifitas daya jiwa.

Pengkajian ini dipelopori al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Sekalipun pengkajiannya masih bersifat filosofis, namun setidaknya usaha mereka telah menorehkan dan menelurkan benih bagi studi-studi psikologis di masa mendatang. Selain itu penelitian A.E. Afifi menghasilkan suatu temuan, bahwa ternyata filsafat mistis Ibnu Arabi telah banyak menguraikan butir-butir kajian penting tentang kejiwaan yang kelak menjadi embrio bagi lahirnya studi-studi psikologi modern. Pada masa itu, Ibnu Arabi sudah membahas mengenai psikologi empiris, sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa, dan teori mimpi yang di kemudian hari banyak diungkapkan Sigmund Frued. Pengkajian Ibnu Arabi mengenai butir-butir psikologis yang tidak terpisahkan dengan penghayatan sufistiknya itu memberikan arti penting bagi pencarian titik persinggungan antara kajian sufistik, psikologi agama, dan kesehatan mental.

Bila dilihat dari segi pengetian psikologi agama, kajian-kajian psikologis Ibnu Arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan cukup strategis bagi pengkajian psikologi agama di masa berikutnya. Psikologi agama yang berarti “ilmu pengaruh” atau “penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam memahami berbagai aspek keagamaan” mengisyaratkan bahwa usaha para pemikir muslim tersebut sudah meletakkan dasar-dasar
strategis pengkajian dan risetnya. Psikologi agama yang lahir di abad modern itu sebenarnya penyemai benihnya tidak lain adalah para pemikir muslim. Psikologi agama tidak mungkin lahir dengan begitu saja, melainkan melalui proses panjang dan berkesinambungan.

Psikologi agama yang mencoba menjelaskan mengenai perasaan, motivasi, perkembangan dan kognisi keagamaan26 tampaknya sulit dilakukan bila teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih dahulu. Di samping itu, psikologi agama yang diartikan sebagai “ilmu pengaruh” secara substansial sudah banyak dikaji Al-Ghazali. Pembahasan di seputar “pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan keagamaan” banyak ditemukan dalam magnum opusnya yakni Ihyâ’ Ulûm al-Dîn dan Munqidz min al-Dhalâl. Kedua buku ini tidak hanya menguraikan mengenai ’pengaruh’ ajaran agama terhadap kehidupan keberagamaan, tetapi juga tentang ’penghayatan’ Al-Ghazali sendiri terhadap adanya pengaruh ajaran Islam.

Satu hal paling masyhur dalam kedua buku tersebut adalah “konversi al-Ghazali” yang dikemudian hari menjadi bagian penting pengkajian psikologi agama. Konversi al-Ghazali tidak dipahami sebagai proses perpindahan dari satu agama ke agama lain, namun merupakan proses kematangan keberagamaan. Model konversi al-Ghazali ternyata cukup menarik bagi William James, seorang tokoh perintis ilmu psikologi agama.

William James mendeskripsikan proses konversi al-Ghazali dalam ruang khusus di buku monumentalnya yang berjudul “The Varieties of Religious Experiences”. Penjelasan ini setidaknya memberikan suatu isyarat bahwa kedua karya al-Ghazali tersebut dapat diposisikan sebagai “karya pemberi inspirasi kelahiran psikologi agama”. 

Ilmu kesehatan mental agaknya juga tidak jauh berbeda dengan psikologi agama. Hasan Langgulung mengatakan, “sekalipun kesehatan mental itu merupakan istilah dan ilmu baru, akan tetapi hakekatnya sama dengan konsep kebahagiaan, keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran”. Sementara menurut Salomon, istilah kebahagiaan itu merupakan ’sebutan kebaikan hakiki’ yang ada dalam kehidupan ini, yang merupakan tujuan paling tinggi, yang disebut sebagai “Summum Bonum”. Kebahagian itu merupakan arah dan tujuan semua tindakan dan harapan setiap manusia.

Bila kesehatan mental itu diartikan kebahagiaan, keselamatan, dan sebagainya, maka sebenarnya para filosof muslim terdahulu sudah banyak membicarakannya. Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Al-Razi sudah banyak menguraikan hal demikian dalam tulisan-tulisannya. Penganalogan konsep kesehatan mental dengan konsep kebahagiaan itu menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi jiwa yang sehat secara wajar dan optimal. Jalal Syaraf mengistilahkan dengan “al-Mustawa al-Shahiy al-Aqliy ’Ammatan”.

Suatu kondisi jiwa yang sehat biasa dibahas ketika berbicara tentang “terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan ber adjustment, pengendalian diri, dan terwujudnya integritas antara berbagai fungsi-fungsi kejiwaan”.

Ibnu Sina, dalam karya monumentalnya “Al-Syifa” (The Book of Healing) sudah membahas teori-teori sehat mental. Dia mengatakan, diskusi mengenai kebahagiaan tidak bisa lepas dari pembahasan teori akhlak. Kebahagiaan tanpa akhlak mulia tidak mungkin. Kebahagiaan akan diperolehnya bila seseorang mamu memilih mana yang baik dan menyingkirkan yang tidak baik. Kebersihan dan kesucian kalbu menjadi kunci utama perolehan kebahagiaan. Kalbu atau jiwa yang suci membuat seseorang terjauh dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Dengan kata lain, orang berakhlak baik menjadikannya mencapai kebahagiaan, ketenteraman, kejayaan, dan keselamatan hidup.

Sementara itu, Al-Razi32 –dalam ’Al-Thib al-Rûhâniy’—melekatkan cara perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan melakukan pola hidup sufistik. Melalui konsep zuhudnya, Al-Razi menguraikan secara teori dan praktis perawatan dan pengobatan gangguan dan penyakit kejiwaan. 

Pengendalian diri, kesederhanaan hidup, jauh dari akhlak buruk, serta menjadikan akal sebagai esensi diri merupakan kunci-kunci pemerolehan kebahagiaan hidup. Demikianlah bahwa ilmu kesehatan jiwa dan psikologi jauh sebelum kelahirannya telah diprakarsai ’persemaian benihnya’ oleh Ibnu Sina dan Al-Razi.

Sementara itu Al-Ghazali menguraikan “teori kebahagiaan” sebagai cerminan kesehatan mental dalam balutan akhlak sufistik. Dia mendeskripsikan “teori kebahagiaan” dalam karya khusus yang disebutnya “Al-Kimiâ al-Sya’âdât” (Kimia kebahagiaan) disamping dalam Ihyâ’ Ulûm al-Dîn khususnya dalam satu bab yang diberi judul “rubu’ al-Munjiyât”. Dalam tulisan tersebut, Al-Ghazali menempatkan term-term “al-fauz, alnajât, dan al-Sya’âdât” untuk menjelaskan tujuan dan akhir kehidupan manusia. Aspek penting lain dari pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan pengembangan ilmu kesehatan mental yakni bab keajaiban hati dan penyingkapan jiwa. Kedua bab itu secara jelas mengungkap hakikat jiwa, watak, fungsi-fungsi kejiwaan dan peranannya dalam kehidupan manusia.

Al-Ghazali mengatakan, kebahagiaan manusia sangat tergantung pada pembahasan terhadap jiwanya, sebaliknya, kegagalan memahami jiwanya menyebabkan ketidakmampuannya dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dalam konteks kajian ini, deskripsi akhlak sufistik Al-Ghazali tersebut dapat dijadikan dasar-dasar penting bagi pengkajian dan pengembangan ilmu kesehatan mental.

Dari uraian di atas, dapat diambil pemahaman bahwa para ilmuwan muslim di masa klasik sudah banyak membahas “psikologi agama, kesehatan mental, dan tasawuf” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi. Menurut data sejarah, baik Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan ahli sufi, ahli jiwa, dan sekaligus ahli kesehatan mental.


Pengertian Kesehatan Mental

Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.

Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup (a) sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan baik, (b) pertumbuhan dan perkembangan serta perwujudan diri yang baik, (c) keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan, (d) otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas, (e) persepsi mengenai realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial, dan (f) kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan.

Sementara Goble, mengutip dari Assagioli, mendifinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sepintas lalu kedua pengertian di atas terkesan sudah komprehensip dan utuh, namun setelah diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan, terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam. Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni. Psikologi sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional. Psikologi, sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional,16 dan biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik, obyektif, dan kuantitatif.

Oleh karena itu, dua rumusan pengertian kesehatan mental di atas tidak bisa lepas dari bingkai paradigma sains kontemporer. Kesehatan mental diukur dengan sejauh mana persepsi seseorang terhadap realitas empirik semata. Kesehatan mental dianggap identik dengan seberapa mampu seseorang dalam mempersepsi terhadap lingkungan realitas empirik dengan baik. Realitas empirik yang dimaksud mencakup lingkungan yang terbatas pada diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta-empirik yang meliputi : makhluk spiritual, alam ruh, Allah, dan sebagainya tidak dibicarakan.

Upaya penyempurnaan pengertian kesehatan mental tersebut terus dilakukan oleh para pakar. Arah penyempurnaannya diarahkan pada “ketercakupan seluruh potensi manusia yang multi-dimensi”. Sebagai pionernya, diantaranya adalah Zakiah Daradjat, yang mencoba merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia. Menurutnya, kesehatan mental adalah bentuk personifikasi iman dan takwa seseorang. Ini dipahami, bahwa semua kriteria kesehatan mental yang dirumuskan harus mengacu pada nilai-nilai iman dan takwa.

Bila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian, realisasi diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri, maka parameternya harus merujuk pada iman dan takwa, akidah dan syariat. Dilibatkannya unsur iman dan takwa dalam teori kesehatan mental itu bertopang pada suatu kenyataan, bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, kepribadiannya menarik, sosialitasnya sangat baik, akan tetapi sebenarnya jiwanya gersang dan stress, lantaran dia tidak beragama, atau setidaknya kurang taat dalam beragama. Inilah bentuk kesehatan mental semu. Secara nyata, orang tersebut dapat disebut sehat mental. Perilaku dan perbuatannya dinilai sangat baik oleh lingkungan. Dia sukses berhubungan dengan diri dan orang lain. Namun dilihat dari pengertian Zakiah Daradjat, orang tersebut tidak sehat mental, lantaran dia gagal dalam berhubungan dengan Tuhannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa hakekat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integralitas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Istilah optimal dan wajar mengisyaratkan, bahwa disadari betapa sulitnya menemukan sosok manusia yang mencapai tingkat kesehatan mental yang sempurna, bisa juga dikatakan, manusia berusaha mencapai kesehatan mental menuju kesempurnaan, bahkan yang lazim ditemukan, orang-orang yang mencapai tingkat kesehatan mental yang wajar.

Untuk mengetahui “seberapa tingkat kesehatan mental seseorang?”, Zakiah Daradjat memberikan 4 (empat) indikator, yaitu:
(1) Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental (Neurose) dan penyakit (Psikose).
(2) Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Tuhannya.
(3) Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problema dan keadaan hidup sehari-hari.
(4) Ketika dalam diri seseorang terwujud keserasian, dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.

Dengan diberikannya empat indikator kesehatan mental ini, orang menjadi lebih mudah menilai dan atau mengukur “seberapa tingkat kesehatan mental seseorang”. Dengan asumsi, semakin terpenuhinya keempat indikator tersebut, maka semakin tinggi tingkat kesehatan mental seseorang. Demikian pula sebaliknya, semakin kurang terpenuhinya salah satu atau beberapa indikator itu, maka sedemikian itulah persentase tingkat kesehatan mentalnya. Karena itulah, Zakiah Daradjat menyebut “bahasan kesehatan mental dengan empat indikator” ini dengan istilah “kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan seseorang”.

Di samping itu terdapat 2 (dua) istilah, yakni, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan, dan kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan, atau bentuk psikoterapi. Sejak awal kelahirannya, kesehatan mental muncul kajian lanjut dari psikologi. Bukti yang tak terbantahkan adalah hampir semua buku-buku psikologi membahas mental hygiene, sehingga tidak keliru bila disimpulkan, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim psikologi. Selanjutnya, seiring dengan pesatnya perkembangan sains modern, sosok ilmu baru, kesehatan mental, ini dengan cepat memisahkan diri dari induknya. Perkembangan kajian kesehatan mentalpun demikian pesatnya, bahkan ketenarannya hampir mengiringi ketenaran induknya.

Sekalipun demikian, corak khas objek kajian ilmu kesehatan mental tetap mengikuti apa yang dikaji induknya, psikologi. Sebagai disiplin ilmu, kesehatan mental bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia seoptimal mungkin dan memanfaatkannya sebaik mungkin agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, sebagaimana dikatakan Langgulung, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tugas “mengembangkan semua potensi manusia agar mampu mewujudkan sifat-sifat khasnya agar berbeda dengan makhluk lain di muka bumi ini”. Bila pendapat Langgulung itu dilihat secara mendalam, maka tampak betapa mulia tugas yang diemban ilmu kesehatan mental. Sebab perwujudan sifat-sifat khas kemanusiaan tersebut bisa mengarah pada terciptanya “sosok manusia bermoral mulia”. Moral mulia di sini mencakup moral terhadap diri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan.

Kesehatan mental mengkaji “masalah teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan”. Pada tahap berikutnya, dua teknik terapi kejiwaan itu dipahami memiliki sasaran berbeda, sekalipun tujuannya tidak jauh berbeda. Teknik-teknik konseling diarahkan untuk orang bermasalah dalam tingkat ringan. Biasanya masalah yang menimpanya masih dalam tarap “gangguan kejiwaan”, yang sering diistilahkan dengan “psychoneurose”. Sedangkan terapi kejiwaan diperuntukkan bagi orang yang terkena masalah psikis yang masuk tarap akut, yang sering disebut dengan istilah “psychosis”.

Bila dikembalikan pada bahasan sebelumnya, semakin jelas bahwa dilibatkannya nilai-nilai Islam dalam perumusan pengertian kesehatan mental bisa diposisikan sebagai “koreksi dan penyempurna” terhadap teori-teori kesehatan mental yang dirumuskan para psikolog kontemporer.


Pengertian Psikologi Agama

Pada mulanya sering terjadi kejumbuhan dalam memberi batasan yang jelas dan tegas terhadap istilah Psikologi agama. Kesulitan ini terjadi karena terdapat dua (2) aspek substansial ilmu yang terkandung dalam ilmu ini, yakni ilmu jiwa dan agama. Sudah dimaklumi, keduanya memiliki karakteristik berbeda dan sulit dipertemukan. Psikologi atau ilmu jiwa memiliki sifat “teoritik empirik dan sistematik”, sementara agama bukan merupakan “ilmu pengetahuan atau saintifik”. Agama merupakan suatu aturan yang menyangkut cara-cara bertingkahlaku, berperasaan, berkeyakinan, dan beribadah secara khusus. Agama menyangkut segala sesuatu yang semua ajaran dan cara melakukannya berasal dari Tuhan, bukan hasil karya dan hasil fikir manusia. Sebaliknya, psikologi merupakan hasil karya dan hasil pemikiran manusia. Psikologi menyangkut manusia dan lingkungannya.Agama bersifat transenden.

Sementara psikologi bersifat profan. Oleh karena itu, psikologi tidak bisa memasuki wilayah ajaran agama. Psikologi dengan watak profannya, sangat terikat dengan pengalaman dunia semata, sementara agama merupakan urusan Tuhan yang tidak terikat dengan pengalaman hidup manusia. Di sinilah letak permasalahan “timbulnya konflik” pada awal kemunculan disiplin psikologi agama. Tentu timbulnya konflik tersebut karena kurangnya pemahaman yang benar terhadap hakekat psikologi agama. Yang perlu dipahami, merumuskan sebuah definisi suatu ilmu yang mencakup dua substansi “ilmu” yang berbeda watak tentu tidak mudah. Bila rumusan definisi keliru, bisa jadi akan menimbulkan kesan “penggerogotan” terhadap wilayah ajaran agama yang suci. Barangkali atas alasan inilah, perkembangan kajian psikologi agama hingga saat ini belum sepesat kajian ilmu pengetahuan lainnya.

Untuk mengetahui bagaimana pengertian psikologi agama yang “benar”, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian menurut para pakarnya. Menurut Zakiah Daradjat, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut cara berfikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku yang tidak terpisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masih dalam konstruk kepribadiannya. Menurut Jalaluddin dan Ramayulis, psikologi agama merupakan ilmu yang khusus mengkaji sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari keyakinan yang dianutnya berdasarkan pendekatan psikologi. Sedangkan Thouless membatasi, bahwa psikologi agama merupakan ilmu jiwa yang memusatkan perhatian dan penelitiannya pada perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip- prinsip psikologi yang diambil dari studi tingkah laku non-relegius.

Dari ketiga rumusan pengertian psikologi agama tersebut ditemukan beberapa catatan penting, yang selanjutnya dapat digunakan untuk melacak “bagaimana hakekat ilmu ini?”. Pertama, psikologi agama menitikberatkan pada “aspek pengaruh”, karenanya, ada yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh, yakni ilmu yang mempelajari “sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil pengaruh keyakinan atau
kepercayaan agama yang dianutnya”.

Kedua, psikologi agama mengkaji “proses” terjadinya pengaruh tersebut. Psikologi agama mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu kepercayaan atau keyakinan dalam menumbuhkembangkan jiwa
keagamaan seseorang. 

Ketiga, psikologi agama mengkaji “kondisi” keagamaan seseorang. Bagaimana terjadinya kemantapan dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi obyek kajian penting psikologi agama.

Tiga ranah itu yang menjadi kajian pokok psikologi agama. Bila dicermati dari ketiga kajian pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama tidak menyentuh keyakinan atau kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama hanya meneliti “seberapa besar atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan perilakunya”, “bagaimana proses terjadi”, dan “bagaimana kondisi jiwa keberagamaan seseorang”. Psikologi agama tidak menyentuh “ajaran agama dan atau keyakinan seseorang”. Ini berarti, psikologi agama tidak berhak “mendukung, membenarkan, menolak atau menyalahkan ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang”.

Ungkapan seperti itu dapat ditemukan dalam pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena keduanya menyatakan, kajian psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip psikologis perilaku keagamaan seseorang. Pendapat kedua tokoh sekaligus mempertegas, bahwa obyek kajian psikologi agama bukan ajaran agama, melainkan tiga aspek sebagaimana disebut di atas, yang oleh Zakiah diringkas menjadi dua aspek, yaitu, kesadaran keagamaan (religious consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience).

Kesadaran keagamaan diartikan sebagai bagian atau segi yang hadir dalam pikiran yang pengujiannya dapat dilakukan melalui metode instrospeksi. Juga dapat dikatakan, kesadaran keagamaan adalah aspek mental dan aktifitas keagamaan seseorang. Sementara pengalaman keagamaan diartikan sebagai perasaan yang membawa pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.

Dengan demikian dapat dipahami, psikologi agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan keberagamaan seseorang. Psikologi agama merupakan studi psikologi dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan seseorang dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip psikologi. Bagaimana bentuk pengaruh ajaran keagamaan, bagaimana terjadinya proses pembentukan suasana kejiwaan, dan bagaimana pula bentuk-bentuk kepribadian keagamaan seseorang dikaji dengan tetap bertopang pada prinsip-prinsip psikologi.


Pengertian Tasawuf.

Istilah tasawuf secara harfiyah diambil dari beberapa akar kata berikut: al-shuffah, shufi, shaff, shuf, dan sophos.1 Al-Shuffah berasal dari istilah “ahl al-shuffah” (penghuni ’emper’ masjid Nabawi), kata shufi berarti sekelompok orang yang disucikan), kata shaff berarti “barisan dalam shalat berjamaah”, kata shuf berarti “kain terbuat dari bulu yang biasa dipakai para sufi”, sementara kata sophos –berasal dari istilah Yunani— berarti “bijaksana”.

Jika dicermati, kelima istilah yang sering digunakan untuk dijadikan akar kata “tasawuf” itu, maka ternyata semua mengandung arti “kehidupan jiwa dan mental seseorang”. Istilah “ahl al-shuffah” secara sekilas seolah menjelaskan hal yang bersifat materi, padahal kata tersebut menekankan pada “makna kejiwaan”. Para ahli shuffah masjid nabawi bukanlah sekelompok sahabat Nabi yang berusaha mencari penderitaan hidup, melainkan sekelompok sahabat yang berusaha menyucikan jiwanya untuk selalu siap mendapat “siraman ruhani” dari Nabi. Demikian pula, ke empat istilah lainnya juga mengandung arti “kondisi kejiwaan atau mental seseorang”. Shaff berarti “barisan dalam salat berjama’ah”. Para sufi mencontoh para sahabat yang senantiasa berrebut untuk menempati barisan “shaff” pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi, jiwanya suci seperti Nabi. Shuf berarti “bulu” juga melambangkan “hidup sederhana”. Para sufi berusaha senantiasa hidup sederhana dalam materi, dan berjuang keras dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Demikian pula, kata sophos yang berarti “bijaksana” melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap siapapun. Sikap bijaksana merupakan sikap jiwa yang adil dan seimbang, jauh dari jiwa lalim.

Seiring dengan penafsiran dari berbagai istilah di atas, Muhammad Aqil2 coba menghimpun beberapa rumusan hakekat tasawuf sebagai berikut: (a) tasawuf merupakan kehidupan spiritual (hayat ruhiyat), (b) tasawuf adalah kajian tentang hakekat, (c) tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah Iman dan Islam, dan (d) tasawuf merupakan jiwa Islam (ruh Islam). Keempat rumusan tasawuf itu secara keseluruhan menekankan pada aspek kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental.

Kesimpulan ini diambil berpijak pada makna-makna yang terkandung dalam keempat rumusan tasawuf tadi. Kata spiritual, hakekat, ihsan, dan jiwa Islam semua mengacu pada bahasan mengenai aspek esoterik Islam, bahkan berkaitan dengan itu, al-Hujwiri3 mengatakan, tasawuf sangat berkaitan erat dengan usaha penyucian jiwa manusia.

Beberapa penjelasan tentang istilah dan pengertian tasawuf tersebut akan semakin jelas bila dilihat dari sisi tujuan dan intisari ajaran tasawuf. Menurut Harun Nasution,4 tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Sedangan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara
ruh manusia dengan Tuhan.

Kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi, bahkan berdialog dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali mereka yang mampu membersihkan dan menyucikan jiwanya dari segala kotoran dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini tentu tidak dilihat dari sisi fisik, melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual.

Oleh karena itu, bila tasawuf diposisikan sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan “suatu kajian mengenai cara dan jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekat-dekat dengan Tuhannya”, karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh haruslah mengacu pada inti ajaran tersebut.

Tasawuf sebagai ilmu tidaklah sama dengan ilmu pengetahuan lain. Untuk itu secara gamblang Ibnu Khaldun5 menjelaskan, bahwa perbedaan antara ilmu tasawuf dengan ilmu pengetahuan tentang Tuhan terletak pada “alat atau instrumen yang digunakan”. Ilmu pengetahuan menggunakan “data empirik”, ilmu tasawuf menggunakan “data spiritual personal”. Ilmu pengetahuan berangkat dari “keraguan”, ilmu tasawuf berangkat dari “keyakinan”. Ilmu pengetahuan berpijak pada “akal rasional”, ilmu tasawuf berpijak pada “hati (al-qalb) atau rasa”. Selanjut ilmu pengetahuan tentang Tuhan bertujuan untuk “mengetahui dan mengenal Tuhan”, sedangkan ilmu tasawuf bertujuan untuk “tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga untuk merasa dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan “.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, tasawuf di samping sebagai ilmu untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya terhadap Allah, dan juga merupakan ajaran tentang usaha penyucian jiwa, mental, dan spiritual, sebagai syarat utama berdekat diri dengan Tuhan. Hal ini senada dengan pendapat Martin Lings,6 bahwa tasawuf senantiasa berurusan dengan usaha penyembuhan kalbu dan penyucian serta pemurnian jiwa dari segala sesuatu yang dapat menghalangi seseorang bertaqorrub dengan Tuhan.

REKONSTRUKSI METODOLOGI ILMU TASAWUF DI PTAI

Oleh: Ahmad Amir Aziz

Kajian ilmu-ilmu keislaman di PTAI belakangan ini mulai dipertanyakan paradigma dan metodologinya, termasuk kajian ilmu tasawuf. Sebagai sebuah disiplin ilmu tradisional keislaman, ilmu tasawuf diakui amat kaya isi sebagaimana tertuang dalam literatur klasik yang melimpah. Karena itu untuk bisa memahami khazanahnya yang luas itu diperlukan waktu yang lama. Namun disinilah problemnya, ketika kajian-kajian tasawuf hanya berhenti untuk sekedar diwarisi sebagaimana dihasilkan kaum sufi klasik, maka tasawuf menjadi ilmu mati.

Parahnya lagi, di PTAI sebagai agen penggodok sarjana agama, ilmu tasawuf juga tidak bisa berkembang, atau paling tidak mengalami kesulitan untuk bisa dikembangkan lebih jauh.Problem itu sebenarnya terletak pada paradigma dan metodologi. Secara paradigmatik di kalangan PTAI sendiri khususnya mahasiswa, mereka banyak yang belum bisa membedakan antara tasawuf sebagai dogma dan tasawuf sebagai ilmu.

Bagi yang sudah bisa memahami perbedaan keduanya, terkadang mereka tidak punya perangkat metodologi sehingga penelitian-penelitian dalam studi tasawuf hanya berputar-putar kajian teks dan studi tokoh. Metode seperti itu sekarang sudah kurang relevan dengan tuntutan dan tantangan zaman dimana problem moralitas masyarakat sudah sedemikian menggurita. Semata hanya mengandalkan pendekatan normatif dan hostoris, ilmu tasawuf akan kesulitan untuk dapat memberikan jawaban atas problem-problem sosial kontemporer.

Karena itu perlu solusi metodologik untuk bisa mengembangkan ilmu tasawuf, yaitu dengan menggeser pendekatan normatif ke sosiologis. Pendekatan sosiologis ini mensyaratkan adanya keterbukaan peneliti terhadap fenomena aktual yang hidup, baik mencakup realitas empirik maupun dunia makna. Disinilah letak urgensinya perspektif fenomenologi untuk studi agama, lebih khusus tasawuf.

Bahwa suatu fenomena hakikatnya adalah refleksi dari suatu realitas yang kompleks, yang hanya dapat dicapai melalui upaya sungguh-sungguh dengan cara menerobos terhadap dunia pengalaman subyektif yang penuh makna. Dalam konteks ini tasawuf sebagai ilmu akan bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu tasawuf.

Lewat fenomenologi sebagai jendela metodologi keilmuan tasawuf, disiplin ini nantinya tidak akan berdiri sendiri, akan tetapi secara subject matter akan selalu bersandingan dengan bidang sejarah, politik, ekonomi, dan budaya. Konsekuensinya materi perkulihan studi tasawuf di PTAI akan mengalami perombakan, yang mana warisan klasik ajaran-ajaran sufisme akan dipilah-pilah dan dikritisi. Implikasi lebih lanjut, cara kerja induktif dengan berangkat dari masalah-masalah kemanusiaan kontemporer akan dijadikan pusat kegelisahan akademik sivitas kampus untuk mengawali proses pengembangan ilmu ini.

Hasilnya, kiranya akan dapat terumuskan konsep-konsep spiritualisme Islam baru yang lebih membumi dan bisa dijadikan pijakan bagi perbaikan moral dan tatanan sosial masyarakat dewasa ini.