Powered By Blogger

Thursday 25 April 2013

KOMUNITAS MIGRAN GU-LAKUDO


KOMUNITAS MIGRAN GU-LAKUDO

Salah satu fokus studi para ilmuwan sosial adalah berkaitan dengan keberadaan suatu komunitas masyarakat. Meskipun dari hasil studi mereka juga menghasilkan pengertian yang beragam tentang konsep dasar komunitas. Tonnies (1963), membedakan komunitas dalam dua kategori, yaitu: Gemienschaft dan Gesellchaft sebagai suatu bentuk kerja sama bagi manusia yang berlangsung secara tipikal.

Pembedaan secara tipikal yang dilakukan Tonnies, adalah untuk membedakan bagaimana tipe hubungan kerja sama komunitas masyarakat pedesaan yang berbasis pada keluarga ekstended yang cenderung bersifat Gemienschaft dengan yang ada di kota-kota negara kapitalis modern yang lebih berbentuk Gesellchaft. Dari kedua kategori ini, menurut Tonnies, merupakan type ideal tentang eksistensi komunitas.

Gemienschaft menunjuk pada karakterisasi yang dapat teridentifikasi dengan kuat, misalnya: emosional, tradisional, dan juga konsep yang holistik tentang keanggotaan dalam komunitas yang sama. Adapun hubungan kerja sama yang bersifat Gemienschaft tersebut, adalah didasarkan atas keinginan yang alami, misalnya: kedekatan emosional, tradisi budaya, ikatanikatan kekeluargaan, etnisitas, dan keyakinan agama, sebagai instrumen yang mengaturnya. Sedangkan Gesellchaft, mencitrakan hubungan-hubungan yang dibangun di atas “keinginan yang bersifat rasional”. Dengan demikian, maka di dalamnya mengandung unsur-unsur: rasionalitas, individualitas, dan emotional disanggement.

Menurut George Hillery (1955), setidaknya ada tiga hal mendasar yang menonjol pada suatu komunitas, yaitu: (1) berlangsungnya interaksi sosial; (2) bermukim di suatu wilayah geografis yang sama; dan (3) memiliki keterikatan bersama, misalnya: sistem nilai budaya, keyakinan, pekerjaan, dan kekerabatan. Oleh karena itu, ada tiga elemen dasar yang dapat diamati terhadap keberadaan komunitas, seperti: (1) wilayah (area) pemukiman; (2) common ties (keluarga, etnisitas, dan agama); serta (3) interaksi sosial yang cenderung bersifat variatif.

Sementara itu, Jim Ife dan Frank Toseriero (2008), mengkonsepsikan komunitas dalam dua bentuk, yaitu: komunitas geografis dan fungsional. Terbentuknya komunitas geografis, adalah berbasis pada keberadaan lokalitas tertentu, apakah di wilayah pedesaan atau di perkotaan. Sedangkan terbentuknya komunitas fungsional, karena ada faktor-faktor lain yang mendasari yang dimiliki bersama, sehingga dapat membentuk kesamaan identitas. Misalnya, komunitas akademik, komunitas pengajian jama’ah masjid, atau komunitas lain, yang tidak berbasis pada lokalitas tertentu.

Ife dan Toseriero juga mengidentifikasi, setidaknya ada lima ciri yang melekat pada komunitas, yaitu: (1) terjadinya interaksi-interaksi individu dalam skala yang cenderung terkendali; (2) adanya identitas bersama dan perasaan memiliki; (3) tanggung jawab yang memuat hak dan kewajiban; (4) hubungan yang bersifat Gemeinschaft; dan (5) kebudayaan lokal dengan memiliki ciri-ciri yang unik dari komunitas tersebut. Lihat Jim Ife dan Frank Toseriero, Community Development, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, h. 191-194.

Dengan merujuk dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial tersebut, agaknya dapat digunakan untuk mengkonsepsikan konteks sosial yang menonjol pada orang Gu-Lakudo sebagai komunitas urban, khususnya di Kota Bau-Bau. Yang kemudian mereka juga merambah ke kota lain dalam upaya pengembangan usaha ekonomi dan perluasan pasar perdagangan di Sulawesi Tenggara.

Sebagai dasar pemikirannya, adalah mereka bermukim di wilayah geografis yang sama, seperti yang dapat kita amati di kota Bau-Bau. Memang pada awalnya, mereka sebagai kaum urban yang belum memiliki kemapanan sosial ekonomi, area pemukiman mereka hanya berada di sekitar pasar dan masjid kota tersebut. Namun, setelah mereka memiliki kemampuan ekonomi dan seiring dengan perkembangan wilayah kota Bau-Bau yang lebih berorientasi pada perdagangan, mereka mulai mengembangkan area pemukimannya pada lokasi-lokasi strategis untuk perdagangan. Tentu saja dengan cara membeli tanah-tanah kosong dari warga masyarakat yang tidak mampu berkompetisi dalam kehidupan kota modern yang lebih mengutamakan kemampuan ekonomi. Dengan demikian, maka keberadaan orang Gu-Lakudo, merambah pada penguasaan ruang-ruang fisik dan sosial di Kota Bau-Bau, sebagaimana halnya para pedagang Tionghoa dan Bugis-Makassar.

Kecuali itu, mereka juga memiliki keterikatan bersama (common tie), misalnya: tradisi budaya, sistem kekerabatan, keyakinan agama, dan sumber kehidupan yang sama sebagai pedagang. Dengan ikatan kekerabatan dan keyakinan agama yang sama, menjadi elemen yang kuat bagi terpeliharanya “kohesi sosial” mereka. Namun juga harus diakui, bahwa orang Gu-Lakudo sebagaimana etnik lokal lain di Sulawesi Tenggara yang bermukim di kota, telah mengalami proses modernisasi. Karena itu, konteks kehidupan sosial mereka semakin terbuka yang disertai dengan pergesekan kepentingan. tentu saja membawa implikasi pada terkikisnya elemen-elemen dasar kohesi sosial mereka sebagai komunitas urban. Meskipun dari kecenderungan tersebut, belum tampak menonjol secara jelas ke permukaan. Karena masih kuatnya bingkai kehidupan keagamaan yang mereka praktekan dalam realitas keseharian mereka.

Terlepas dari munculnya kecenderungan tersebut, sebagai salah satu etnik lokal yang melakukan urbanisasi dan bergelut dengan aktivitas kehidupan ekonomi perkotaan, orang Gu-Lakudo justru tetap mensinergiskan konsep Gemeinschaft dan Gesellchaft,13 seperti yang dikonsepsikan oleh Tonies. Karena di satu pihak, dengan berdasarkan pada keasamaan tradisi budaya, etnisitas, dan keyakinan agama, mereka tetap mencitrakan fenomena sosial yang afinitas (affinity). Dalam konteks ini, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang mereka pertahankan, tentu saja berkaitan dengan kesatuan etnisitas, tradisi budaya lokal (bahasa dan pranata sosial), dan paham keagamaan dalam Islam yang mereka anut. Namun di pihak lain, dengan keberadaan mereka sebagai komunitas urban yang bergelut dalam aktivitas ekonomi modern di kota Bau-Bau, Raha, dan Kendari, mereka juga menunjukkan perilaku hidup yang memenuhi tuntutan rasionalitas. Artinya, basis moralitas yang bersumber dari ajaran agama Islam yang mereka anut adalah bersinergis dengan tindakan rasionalitas dalam pengembangan usaha perdagangan.

Gemeinschaft seperti yang dikonsepsikan Tonnies, adalah mengandung pengertian bahwa hubungan kerja sama anggota komunitas dibangun berdasarkan keinginan yang alami, misalnya: tradisi budaya dan ikatan-ikatan kekeluargaan, etnik, dan agama, menjadi suatu kekuatan yang mengaturnya. Sedangkan Gesellchaft, menunjuk pada pengertian bahwa hubungan interaksi sosial yang terbangun adalah atas kemauan yang lebih bersifat rasionalitas, individualistis, dan emotional disanggement, sebagai elemen-elemen kunci yang mendasarinya. Lihat juga Erna Karim, Konstruksi dan Rekonstruksi Masyarakat Ideal: Studi Mengenai Komunitas Spiritual Rei Ki Tummo di Indonesia (Disertasi), Universitas Indonesia, Depok, 2008.

No comments:

Post a Comment