Pengertian Tasawuf.
Istilah tasawuf secara harfiyah diambil dari beberapa akar kata berikut: al-shuffah, shufi, shaff, shuf, dan sophos.1 Al-Shuffah berasal dari istilah “ahl al-shuffah” (penghuni ’emper’ masjid Nabawi), kata shufi berarti sekelompok orang yang disucikan), kata shaff berarti “barisan dalam shalat berjamaah”, kata shuf berarti “kain terbuat dari bulu yang biasa dipakai para sufi”, sementara kata sophos –berasal dari istilah Yunani— berarti “bijaksana”.
Jika dicermati, kelima istilah yang sering digunakan untuk dijadikan akar kata “tasawuf” itu, maka ternyata semua mengandung arti “kehidupan jiwa dan mental seseorang”. Istilah “ahl al-shuffah” secara sekilas seolah menjelaskan hal yang bersifat materi, padahal kata tersebut menekankan pada “makna kejiwaan”. Para ahli shuffah masjid nabawi bukanlah sekelompok sahabat Nabi yang berusaha mencari penderitaan hidup, melainkan sekelompok sahabat yang berusaha menyucikan jiwanya untuk selalu siap mendapat “siraman ruhani” dari Nabi. Demikian pula, ke empat istilah lainnya juga mengandung arti “kondisi kejiwaan atau mental seseorang”. Shaff berarti “barisan dalam salat berjama’ah”. Para sufi mencontoh para sahabat yang senantiasa berrebut untuk menempati barisan “shaff” pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi, jiwanya suci seperti Nabi. Shuf berarti “bulu” juga melambangkan “hidup sederhana”. Para sufi berusaha senantiasa hidup sederhana dalam materi, dan berjuang keras dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Demikian pula, kata sophos yang berarti “bijaksana” melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap siapapun. Sikap bijaksana merupakan sikap jiwa yang adil dan seimbang, jauh dari jiwa lalim.
Seiring dengan penafsiran dari berbagai istilah di atas, Muhammad Aqil2 coba menghimpun beberapa rumusan hakekat tasawuf sebagai berikut: (a) tasawuf merupakan kehidupan spiritual (hayat ruhiyat), (b) tasawuf adalah kajian tentang hakekat, (c) tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah Iman dan Islam, dan (d) tasawuf merupakan jiwa Islam (ruh Islam). Keempat rumusan tasawuf itu secara keseluruhan menekankan pada aspek kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental.
Kesimpulan ini diambil berpijak pada makna-makna yang terkandung dalam keempat rumusan tasawuf tadi. Kata spiritual, hakekat, ihsan, dan jiwa Islam semua mengacu pada bahasan mengenai aspek esoterik Islam, bahkan berkaitan dengan itu, al-Hujwiri3 mengatakan, tasawuf sangat berkaitan erat dengan usaha penyucian jiwa manusia.
Beberapa penjelasan tentang istilah dan pengertian tasawuf tersebut akan semakin jelas bila dilihat dari sisi tujuan dan intisari ajaran tasawuf. Menurut Harun Nasution,4 tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Sedangan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara
ruh manusia dengan Tuhan.
Kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi, bahkan berdialog dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali mereka yang mampu membersihkan dan menyucikan jiwanya dari segala kotoran dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini tentu tidak dilihat dari sisi fisik, melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual.
Oleh karena itu, bila tasawuf diposisikan sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan “suatu kajian mengenai cara dan jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekat-dekat dengan Tuhannya”, karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh haruslah mengacu pada inti ajaran tersebut.
Tasawuf sebagai ilmu tidaklah sama dengan ilmu pengetahuan lain. Untuk itu secara gamblang Ibnu Khaldun5 menjelaskan, bahwa perbedaan antara ilmu tasawuf dengan ilmu pengetahuan tentang Tuhan terletak pada “alat atau instrumen yang digunakan”. Ilmu pengetahuan menggunakan “data empirik”, ilmu tasawuf menggunakan “data spiritual personal”. Ilmu pengetahuan berangkat dari “keraguan”, ilmu tasawuf berangkat dari “keyakinan”. Ilmu pengetahuan berpijak pada “akal rasional”, ilmu tasawuf berpijak pada “hati (al-qalb) atau rasa”. Selanjut ilmu pengetahuan tentang Tuhan bertujuan untuk “mengetahui dan mengenal Tuhan”, sedangkan ilmu tasawuf bertujuan untuk “tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga untuk merasa dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan “.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, tasawuf di samping sebagai ilmu untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya terhadap Allah, dan juga merupakan ajaran tentang usaha penyucian jiwa, mental, dan spiritual, sebagai syarat utama berdekat diri dengan Tuhan. Hal ini senada dengan pendapat Martin Lings,6 bahwa tasawuf senantiasa berurusan dengan usaha penyembuhan kalbu dan penyucian serta pemurnian jiwa dari segala sesuatu yang dapat menghalangi seseorang bertaqorrub dengan Tuhan.
No comments:
Post a Comment