Titik Singgung Tasawuf dengan Kesehatan Mental
Penghayatan tasawuf pada dasarnya berkaitan erat dengan persoalan kesehatan mental. Namun demikian, tidak berarti bahwa penghayatan tasawuf itu semata bertujuan untuk memperoleh kesehatan mental. Alasannya, pertama, tasawuf sudah muncul jauh sebelum kelahiran ilmu kesehatan mental. Kedua, para sufi sudah berbicara tentang “shihhah alnafs “ (kesehatan mental). Sekalipun secara esensial, isi dan maksud kesehatan mental para sufi tersebut tidak selalu sama dengan isi dan maksud kesehatan mental sebagai suatu kajian ilmu saat ini. Karena secara hakiki, para sufi dalam menghayati hidup sufistiknya tidak pernah memperdulikan, apalagi membicarakan, akan memperoleh kesehatan mental atau tidak. Para sufi hanya ingin memperoleh “kedekatan dan kerelaan dari Allah sedekat-dekatnya dan serela-rela-Nya”.
Dengan demikian dalam Islam, persinggungan kesehatan mental dan tasawuf sudah dapat dilihat pada “makna kesehatan mental itu sendiri”. Ajaran kesehatan mental menurut pandangan Islam sebenarnya ajaran tasawuf itu sendiri. Kesehatan mental yang biasa diartikan sebagai “terbentuknya individu yang terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan” dapat ditemukan dalam kehidupan kaum sufi. Ketika ajaran tasawuf dimaknai sebagai “proses penyucian jiwa”, maka itu dapat diidentikkan dengan “usaha pembentukan individu sehat mental”.
Kondisi sehat mental rasanya sulit diwujudkan bila jiwanya terkotori. Seseorang yang ingin memperoleh kesehatan mental, sementara dirinya banyak berlumuran dosa, maka jalan satu-satu untuk itu hanyalah dengan
“menyucikan jiwa”. Bersihkan jiwanya dari seluruh dosa dan perbuatan buruk merupakan jalan untuk memperoleh “sehat mental”.
Persinggunan selanjutnya kesehatan mental dan tasawuf dapat dilihat pada “tujuan yang hendak dicapai keduanya. Tasawuf ingin memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman jiwa di dunia, dan di akhirat. Kesehatan
mental berusaha mendapatkan “kebahagiaan dan ketenteraman hidup di dunia”. Erich Fromm mengatakan, persoalan sehat mental terkait erat dengan problema moral. Pembicaraan soal “moral” tentu terkait erat dengan soal kejiwaan. Moral yang baik (baca: akhlak) mencerminkan jiwa yang tersucikan. Jika jiwa suci menjadi syarat terbentuknya sehat mental, maka orang bermoral baik adalah orang bermental sehat.
Yusuf Musa mengatakan, kebajikan membuat jiwa menjadi tenang (thuma’nĂ®nah), sedangkan kejahatan menyebabkan jiwa menderita. Ungkapan ini semakin mempererat persinggungan antara tasawuf dengan kesehatan mental.
No comments:
Post a Comment