Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi, Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, individu yang terkena masih mampu mengatasinya, namun ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, maka biasanya si penderita sudah tidak mampu mengatasinya. Bila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya individu si penderita saja, melainkan akan semakin menyebar mengganggu orang lain di sekitarnya.
Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Pengertian klasik ini mengandung arti sangat sempit, karena kajian ilmu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie Jahoda, seperti dikutip Yahya Jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian pertama. Menurutnya, kesehatan mental mencakup (a) sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan baik, (b) pertumbuhan dan perkembangan serta perwujudan diri yang baik, (c) keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap segala tekanan, (d) otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas, (e) persepsi mengenai realitas, terbebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial, dan (f) kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan.
Sementara Goble, mengutip dari Assagioli, mendifinisikan, kesehatan mental adalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sepintas lalu kedua pengertian di atas terkesan sudah komprehensip dan utuh, namun setelah diteliti, dua definisi tersebut masih mengandung kekurangan sempurnaan, terutama bila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam. Bila dicermati, kedua definisi di atas bertopang pada faham psikologi murni. Psikologi sangat mengandalkan data-data empirik dan metodologi rasional. Psikologi, sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan mendiskusikan data-data meta- empirik dan metodologi rasional,16 dan biasan ciri-ciri utama telaahnya lebih bersifat sensori, materialistik, obyektif, dan kuantitatif.
Oleh karena itu, dua rumusan pengertian kesehatan mental di atas tidak bisa lepas dari bingkai paradigma sains kontemporer. Kesehatan mental diukur dengan sejauh mana persepsi seseorang terhadap realitas empirik semata. Kesehatan mental dianggap identik dengan seberapa mampu seseorang dalam mempersepsi terhadap lingkungan realitas empirik dengan baik. Realitas empirik yang dimaksud mencakup lingkungan yang terbatas pada diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta-empirik yang meliputi : makhluk spiritual, alam ruh, Allah, dan sebagainya tidak dibicarakan.
Upaya penyempurnaan pengertian kesehatan mental tersebut terus dilakukan oleh para pakar. Arah penyempurnaannya diarahkan pada “ketercakupan seluruh potensi manusia yang multi-dimensi”. Sebagai pionernya, diantaranya adalah Zakiah Daradjat, yang mencoba merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia. Menurutnya, kesehatan mental adalah bentuk personifikasi iman dan takwa seseorang. Ini dipahami, bahwa semua kriteria kesehatan mental yang dirumuskan harus mengacu pada nilai-nilai iman dan takwa.
Bila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian, realisasi diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri, maka parameternya harus merujuk pada iman dan takwa, akidah dan syariat. Dilibatkannya unsur iman dan takwa dalam teori kesehatan mental itu bertopang pada suatu kenyataan, bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, kepribadiannya menarik, sosialitasnya sangat baik, akan tetapi sebenarnya jiwanya gersang dan stress, lantaran dia tidak beragama, atau setidaknya kurang taat dalam beragama. Inilah bentuk kesehatan mental semu. Secara nyata, orang tersebut dapat disebut sehat mental. Perilaku dan perbuatannya dinilai sangat baik oleh lingkungan. Dia sukses berhubungan dengan diri dan orang lain. Namun dilihat dari pengertian Zakiah Daradjat, orang tersebut tidak sehat mental, lantaran dia gagal dalam berhubungan dengan Tuhannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa hakekat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integralitas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Istilah optimal dan wajar mengisyaratkan, bahwa disadari betapa sulitnya menemukan sosok manusia yang mencapai tingkat kesehatan mental yang sempurna, bisa juga dikatakan, manusia berusaha mencapai kesehatan mental menuju kesempurnaan, bahkan yang lazim ditemukan, orang-orang yang mencapai tingkat kesehatan mental yang wajar.
Untuk mengetahui “seberapa tingkat kesehatan mental seseorang?”, Zakiah Daradjat memberikan 4 (empat) indikator, yaitu:
(1) Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental (Neurose) dan penyakit (Psikose).
(2) Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Tuhannya.
(3) Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problema dan keadaan hidup sehari-hari.
(4) Ketika dalam diri seseorang terwujud keserasian, dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.
Dengan diberikannya empat indikator kesehatan mental ini, orang menjadi lebih mudah menilai dan atau mengukur “seberapa tingkat kesehatan mental seseorang”. Dengan asumsi, semakin terpenuhinya keempat indikator tersebut, maka semakin tinggi tingkat kesehatan mental seseorang. Demikian pula sebaliknya, semakin kurang terpenuhinya salah satu atau beberapa indikator itu, maka sedemikian itulah persentase tingkat kesehatan mentalnya. Karena itulah, Zakiah Daradjat menyebut “bahasan kesehatan mental dengan empat indikator” ini dengan istilah “kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan seseorang”.
Di samping itu terdapat 2 (dua) istilah, yakni, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan, dan kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan, atau bentuk psikoterapi. Sejak awal kelahirannya, kesehatan mental muncul kajian lanjut dari psikologi. Bukti yang tak terbantahkan adalah hampir semua buku-buku psikologi membahas mental hygiene, sehingga tidak keliru bila disimpulkan, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim psikologi. Selanjutnya, seiring dengan pesatnya perkembangan sains modern, sosok ilmu baru, kesehatan mental, ini dengan cepat memisahkan diri dari induknya. Perkembangan kajian kesehatan mentalpun demikian pesatnya, bahkan ketenarannya hampir mengiringi ketenaran induknya.
Sekalipun demikian, corak khas objek kajian ilmu kesehatan mental tetap mengikuti apa yang dikaji induknya, psikologi. Sebagai disiplin ilmu, kesehatan mental bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia seoptimal mungkin dan memanfaatkannya sebaik mungkin agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, sebagaimana dikatakan Langgulung, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tugas “mengembangkan semua potensi manusia agar mampu mewujudkan sifat-sifat khasnya agar berbeda dengan makhluk lain di muka bumi ini”. Bila pendapat Langgulung itu dilihat secara mendalam, maka tampak betapa mulia tugas yang diemban ilmu kesehatan mental. Sebab perwujudan sifat-sifat khas kemanusiaan tersebut bisa mengarah pada terciptanya “sosok manusia bermoral mulia”. Moral mulia di sini mencakup moral terhadap diri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan.
Kesehatan mental mengkaji “masalah teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan”. Pada tahap berikutnya, dua teknik terapi kejiwaan itu dipahami memiliki sasaran berbeda, sekalipun tujuannya tidak jauh berbeda. Teknik-teknik konseling diarahkan untuk orang bermasalah dalam tingkat ringan. Biasanya masalah yang menimpanya masih dalam tarap “gangguan kejiwaan”, yang sering diistilahkan dengan “psychoneurose”. Sedangkan terapi kejiwaan diperuntukkan bagi orang yang terkena masalah psikis yang masuk tarap akut, yang sering disebut dengan istilah “psychosis”.
Bila dikembalikan pada bahasan sebelumnya, semakin jelas bahwa dilibatkannya nilai-nilai Islam dalam perumusan pengertian kesehatan mental bisa diposisikan sebagai “koreksi dan penyempurna” terhadap teori-teori kesehatan mental yang dirumuskan para psikolog kontemporer.