Dalil Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur'an Dan Hadits
Nilai-nilai ajaran tauhid, fiqih dan akhlaq sering dilihat kecenderungannya pada bentuk formalnya saja, khususnya bidang ilmu yang mengambil bentuk prilaku lahiriyah sebagaimana yang tampak dalam ilmu syari'at. Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana firman Allah:
Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).
Ayat yang saya tulis di atas menunjukkan pada kita bahwa formalitas belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis sayithon, seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat kita tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di sekitar kita yang dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan.
Penekanan pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam ritual ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin.
Hal ini disebabkan karena pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual ibadah tidak dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual jasad yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal pengamalan ritual ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang sedang diamalkan. Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan riyadhoh istiqomah yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini. Karena ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika diri kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian berbagai ritual syari'at ibadah jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus dan terkonsentrasi pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan ikhlas karena Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan untuk mempengaruhi batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan telah dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri kepada Allah Zat Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian jasadi wal batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran. Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam syari'at Islam.
Sejalan dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan abadi kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai berikut:
Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).
Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 186).
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Demikian juga halnya dengan Al-Hadits, diantara sekian banyak Hadits Rasul yang menjelaskan tentang nilai-nilai spiritual, yang sering kita dengan dan kita ucapkan adalah:
"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat- Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka." (Shahih Muslim No.10).
Nilai-nilai spiritual yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits itulah yang menjadi dalil utama keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini.
No comments:
Post a Comment