FIKIH
Pengertian dan Perkembangan Fikih
Pengertian fikih atau hukum Islam hingga saat ini masih rancu degan pengertian syariah. Hukum Islam atau fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat pula perbedaan antara hukum Islam atau fikih dengan syariah. Perbedaan tersebut terdapat pada dalil atau dasar yang digunakan. Jika syariah didasarkan pada nash al-Qur’an aau Sunnah sedangkan hukum Islam dibangun berdasarkan ijtihad para ulama. (Abuddin Nata,2008:208).
Setelah Rasulullah wafat, wilayah Islam semakin luas dan persoalan semakin banyak. Sementara itu, jumlah nash yang ditinggalkan tidak bertambah. Untungnya sinyal untuk mela kukan ijtihad bagi generasi sesudah dibuat nabi. Karena itu sepeninggal nabi para mujtahid siap berijtihad sesuai dengan kondisi jaman, sehingga Islam tetap relevan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Sejarah mencatat bahwa antara pemikiran yang satu dengan yang lainnya tidak mesti sama.
Perbedaan pendapat tidak untuk membuka jalan pertikaian bagi umat Islam, tetapi lebih bersifat alternatif. Karena itu, menelusuri cara berpikir mereka menjadi sangat penting. Hal yang menarik dalam sejarah perkembangan hukum Islam adalah bahwa ia tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan politik Islam. Pada masa Khulafa al Rasyidun, penguasa adalah juga seorang ulama. Pada masa Dinasti Umayyah (kecuali Khalifah Umar bin Abdul Azis) dan dinasti Abbasiyyah, para penguasa tidak tahu banyak tentang syariat dan cara-cara berijtihad. Urusan agama lebih banyak diserahkan kepada ulama, sedangkan urusan politik dipegang oleh khalifah. (Zuhri,1997:65)
Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan yaitu ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan falsafah, ilmu fikih adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang muslim akan agama mereka sehingga paling banyak membentuk cara berpikir mereka. Dari suatu segi, ilmu fikih, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa nabi sendiri. Jika “fikih” dibatasi hanya kepada pengertiannya sebagai hukum saja maka akar hukum amar erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan nabi sendiri sebagai hakim pemutus perkara. Peran nabi ini berhubungan dengan hukum atau fikih itu. Fikih ini merupakan bagian yang sangat penting. Nabi pernah bersabda bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih akan agamanya. Demikian juga firman ilahi yang berhubungan dengan hal itu yang mengatakan bahwa hendaklah selalu ada sekelmpok orang yang melakukan tafaqquh tentang agamanya. (Madjid,1992:236-237)
Perkembangan permasalahan hukum itu segera menghendaki pengaturan atau kodifikasi terhadap penalaran-penalaran atau logika hukum yang kemudian dikenal dengan ushul fikih. Kodifikasi tersebut telah ada semenjak masa Umawiyah khususnya oleh tokoh yang dikenal dengan nama al Awzai (wafat 155 H/774 M). Dan baru pada dinasti Abbasiyah (131-415 H/750-974 M) usaha penyusunan sistematik ilmu fikih itu dan kodifikasinya berkembang (Madjid, 1992:239).
Pada masa pemerintahan Abbasiyah hidup seorang ahli fikih yang terkenal yaitu Abu Hanifah (79-148 H/699-767 M). Metode ushul yang yang digunakan oleh Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yu, setelah kitabullah dan sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas yang banyak menuai kritik para ulama yang pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu juga dengan istihsan yang digunakannya.
Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah berangkat dari kitabullah, kemudian Sunnah, kemudian praktik sahabat. Apabila ada perbedaan pendapat sahabat maka ia mengqiyaskan dua masalah tadi sambil menyatukan kedua illatnya sehingga maknanya menjadi jelas (Asy-Syak’ah, 1994:333).
Pendapat-pendapat Abu Hanifah ini dianut oleh ulama-ulama mazhab Hanafi. Madzhab Hanafi disebut juga aliran fuqaha karena dalam membangun teori ushul fiqihnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu. Jika terdapat pertentangan antara kaidah ushul dengan furu, maka kaidah tersebut di ubah sesuai dengan hukum furu.Metodologinya yaitu penelitian terhadap masalah-masalah furu yang lebih menyentuh masalah fikih, aktual dan realistis. Langkah selanjutnya mengadakan pengkajian makna yang terkandung dalam masalah furu tersebut, kemudian mengambil prinsip-prinsip umumnya dan menjadikannya sebagai kaidah ushuliyah.
Metode berfikir (penalaran) mereka induktif. Contoh : menjual buah-buahan yang belum masak diperbolehkan demi meningkatkan perekonomian. Dalam perkembangannya, dalam masyarakat Islam terdapat kelompok orang yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari nabi. Dengan kata lain, ajaran Islam itu diperoleh dari Alquran dan petunjuk nabi saja, bukan yang lain. Karena itu mereka di sebut ahlu hadits. Aliran ini berkembang di Hijaz. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya dipantau oleh nabi hingga beliau wafat. Di Madinah sebagai ibukota Islam, beredar hadits nabi yang jauh lebih banyak dan lengkap dibanding daerah lainnya. Pada waktu itu, Hijaz dikenal sebagai pusat hadits. Pigurnya antara lain adalah imam Malik. Kalau aliran Abu Hanifah dan dan al-Auzai banyak menggunakan anologi atau qiyas, aliran fikiran Anas bin Malik sangat memperhatikan tradisi Nabi dan sahabat.
Imam Malik mendasari fikih atau pemahamnnya secara berurutan kepada, pertama, kitabullah, kedua, sunnah, ketiga, ucapan dan amalan sahabat, keempat, ijmak dan kelima, amalan ahli Madinah. Apabila dari kelima sumber atau dasar tersebut tidak ditemukan maka Imam Malik mengambil dari qiyas, istihsan, urf serta sad adzdzara’i dan juga masholihul mursalah maslahat (asy-Syak’ah,1994:342-343).
Perbedaan corak pemikiran ini telah menimbulkan pertentangan. Perbedaan dan pertentangan antara dua kubu ini tidak berkepanjangan, sebab masing-masing pihak mempunyai dasar keislaman yang baik sekali, jauh dari unsur-unsur syahwati (memperturutkan hawa nafsu) serta selalu menjauhi pembelaan yang didasari kedunguan dan komentar yang tidak bermakna. Perbedaan ini hanya terjadi pada penggunaan dan pendahuluan serta pengakhiran ra’y dan hadits. Ahlu hadits mendahulukan hadits dhaif atas ra’y, sedangkan ahlu ra’y lebih mendahulukan akal daripada hadits dhaif. (Ash-Shiddiqie,1993:55)
Anas bin Malik mempunyai seorang murid yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’I. Imam al-Syafi’i lahir pada masa kejayaan Islam. Beliau dilahirkan zaman dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah al Mansur (137-159 H/754-774 M). Al-Syafi’i berusia sembilan tahun ketika Abu Ja’far Al-Mansur diganti oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H). Ketika al-Syafi’i berusia sembilan belas tahun, Muhammad al-Mahdi diganti oleh Musa al-Mahdi (169-170 H). Ia berkuasa hanya satu tahun, kemudian ia diganti oleh Harun al-Rasyid (170-194 H). Harun al-Rasyid digantikan oleh al-Amin (194-198 H). Dan al-Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218 H) (Jaih Mubarak, 2000:101).
Al-syafi’i menerima pendapat gurunya dengan melakukan seleksi ketat terhadap suatu sunnah tetapi juga menggunakan analogi yang dipelajari dari al-Syaibani (wafat 186 H/805 M) bahkan mengembangkannya menjadi teori yang sistematis dan universal tentang metode memahami hukum.(Madjid,1992:241)
Al-Syafi’i muncul dengan membawa pendekatan baru yang berusaha menjadi penengah antara ahlu hadits dengan ahli ra’y. Jadi al-Syafi,i adalah sintesis dari ahlu hadits dan ahlu Ra’yu. Hal ini terlihat misalnya dari sikap al-Syafi’i yang tidak mendahulukan hadits secara mutlak dan tidak mendahulukan ra’y secara mutlak. Al- Syafi’i dalam bidang fikih sama dengan al-Asy’ari dalam bidang kalam, yaitu menetapkan suatu kesimpulan setelah melakukan perbandingan-perbandingan antara pendapat-pendapat yang telah berkembang Dan mengumpulkan antara keduanya dengan memelihara prinsip wasataniyah (keseimbangan) dan takamuliah (kesempurnaan). Mazhab ini menggunakan metode ilmu kalam yaitu dengan membuat suatu kaidah umum yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i dan akal tanpa terikat oleh hukum furu. Mazhab ini di pelopori oleh aliran Syafi’iyah dengan al Syafi’i sebagai peletak dasar.Metodologi pemikiran Syafi’iyah ini di sebut pemikiran kalam karena terutama yang menjadi pelopornya adalah Qodli Abdul Jabbar dan Abu Hasan Al Basri yang berhaluan Mu’tazilah, Abu Hasan al Asyari, Al Juwaini dan al Ghazali. Aliran ini dalam pembahasan ushul Fikihnya membuat kaidah-kaidah Ushuliyyah dan mengeluarkan darinya dalil-dalil dengan berpegang pada petunjuk lapad dan uslub bahasa Arab. Materi ushul Fikih ini pada umumnya tidak lain hanya kaidahkaidah hukum yang timbul dari lapadz-lapadz bahasa Arab dan implikasi seperti nasakh, tarjih, amar, nahyi, tahrim, dan sebagainya. Dalam membahas kaidah ushuliyyah mereka mengadakan pendekatan linguistik, sehingga pada umumnya terpaku pada ketentuan bahasa Arab, baik lafadz, susunan kalimat dan falsafatnya. Mereka menggunakan penalaran/metode deduktif. Dalam hal ini dapat dikemukakan salah satu contoh yang berkaitan dengan hal yang disebutkan di atas yaitu:
Surat al Isra ayat 78 :
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai pada gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh.Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan oleh para malaikat” (Q.S. al-Isra:78)
Dalam sebuah hadits disebutkan :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat”
Dari ayat Alquran dan hadits di atas belum memberikan kejelasan bagaimana hukumnya mengerjakan shalat pada konteks ayat dan hadits di atas, apakah salat wajib ataukah sunnah. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, ushul fikih mengeluarkan kaidah :
“Pokok perintah menunjukkan wajib”
Dari ketentuan di atas dapat dipahami bahwa perintah yang menunjukkan wajib, maka mengerjakannya wajib pula. Jadi kata “Aqim al Shalat” menunjukkan kewajiban shalat (shalat fardu).
Dalam perpustakaan hukum Islam al-Syafi’i sering disebut sebagai Master Architect (arsitek agung) sumber-sumber fikih Islam karena dialah yang pertama kali menyusun ilmu ushul fikih dalam kitabnya ar-Risalah. (Daud Ali,1999:170) Kedudukan Al-Syafi’i sangat kuat, menurut Fachrudin al-Razi (w 606/1209) kedudukannya seperti Aristoteles dalam logika.
Setelah al-Syafi’i muncullah Ahmad bin Hambal (wafat 234 H/855 M) sebagai penerus dan pengembangan aliran fikih al-Syafi’i. Aliran fikih Hambali memiliki ciri kuat sangat menekankan pentingnya hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi tanpa menolak qiyas, aliran Hambali cenderung mengutamakan hadits meskipun lemah daripada analogi, biarpun kuat. (Madjid,1992:244)
Menurut Cak Nur ilmu fikih menunjukkan kekurangannya dengan menitik beratkan kepada aspek lahiriyah sehingga banyak memunculkan kritik terutama dari para sufi. Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslim dalam keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat individual ataupun kolektif. Karena mencakup banyak aspek ini maka posisi hukum Islam sangat penting. Bahkan sejak awal hukum Islam dipandang sebagai suatu pengetahuan yang par exelence-suatu posisi yang belum pernah dicapai oleh teologi. Mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam (Abuy,2004:134).
Dalam sejarahnya, hukum Islam atau fikih ini memiliki kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai madzhab yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-kultural dan politik dimana madzhab itu ada. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini paling tidak di dorong
oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Dorongan keagamaan.
2. Meluasnya domain politik Islam stelah wafatnya nabi Muhammad saw
3. Independensi para spesialis hukum dari kekuasaan
4. Pleksibilitas hukum Islam itu sendiri.
Metodologi Penelitian Hukum Islam
Selanjutnya. untuk lebih dapat memahami pemahaman fikih ini diperlukan kajian yang betul-betul serius. Selama ini kajian metodologis terhadap hukum Islam terutama di Negara-negar Islam termasuk Indonesia dirasakan masih kurang termasuk diperguruan tinggi. Studi hukum Islam lebih banyak diorientasikan pada penguasaan aspek penguasaan materi, sementara kajian metodologisnya masih kurang. (Abuy,2004:136)
Hal di atas terlihat misalnya dari fakta bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih mengetahui kitab al-Umm nya al-Syafi’i dari pada kitab monumentalnya ar- Risalah. Hal ini berimbas kepada kemampuan untuk melakukan ijtihad yang relatif sangat kurang karena tidak menguasai metodologi dalam melakukan ijtihad dikarenakan kurangnya penguasaan terhadap metodologi yang dilakukan para imam madzhab tersebut (Abuy,2004:137).
Untuk sampai kepada fikih sangat diperlukan ushul fikih. Dalam hubungan ini ushul fikih adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metode yang digunakan para faqih dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Mempelajari ushul fikih dapat dilakukan denngan cara-cara sebagai berikut:
1. Mempelajari sumber-sumber ushul fikih, yaitu dalil Alquran dan sunnah, dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang mendalam.
2. Mengetahui maqashid al-syariah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3. Mengetahui turuq al-istinbaat ushul fikih, metode penemuan dan penetapan hukum agar hasil ijtihad tersebut lebih mendekati kebenaran.
4. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.(Abuy,2004:138-139).
Yang menjadi ruang lingkup pembahasan ushul fikih adalah aspek hukum setiap perbuatan mukallaf serta dalil setiap perbuatan tersebut.Hal itu kemudian memberikan penilaian kepada perbuatan mukallaf tersebut, yaitu salah satu dari al ahkam al-khamsah yaitu (1) mubah, (2) sunnah, (3) wajib, (4) makruh dan (5) haram.
(Abuy,2004:139).
Adapun kegunaan mempelajari ushul fikih adalah, pertama, mengetahui aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tanggungjawab manusia terhadap Allah, terhadap manusia, keluarga dan masyarakat.kedua, mengetahui mana perbuatan yang wajib, mubah, haram, makruh dan sunah, mana yang sah dan mana yang batal (Abuy, 2004:140).
Dalam hubungannya denngan kajian hukum Islam, menurut Tahir Azhari (2001:211), metode dalam meneliti hukum Islam itu terdapat beberapa macam, antara lain :
a. Metode Normatif Islami
Yang menjadi objek penelitian metode ini adalah asas-asas, konsep, sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasul baik menurut aliran tradisional atau kontemporer. Contoh metode penelitian ini adalah penelitian tentang sistematika hukum Islam oleh Dr. fathi Usman dalam al Fikr al- Qanun al-Islami bain Ushul wal al –Syari’ah,Sistematika yang dimaksud adalah :
1. Al-Ahkam wa al-Syahsyiah (hukum perseorangan)
2. Al-Ahkam al-Madaniyah (hukum kebendaan)
3. Al-Ahkam al-Jinayah (Hukum pidana)
4. Al-Ahkan al-murasfa’at ( hukum acara perdata)
5. Al-Ahkam al Dusturiyyah ( hukum tata Negara)
6. Al-Ahkam al-Dauliyah ( hukum tata Negara)
7. Al-Ahkam al-Iqtisadiyah wa al-maliyah (hukum ekonomi dan keuangan)
b. Metode Empiris Islami
1. Sosiologis
Yang menjadi objek penelitiannya adalah bagaimana implementasi syari’ah dalam masyarakat muslim. Cukup banyak Negara muslim yang dapat dijadikan sampel seperti Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia dan sebagainya. Yang diteliti dalam penelitrian ini bukan aspek konfliknya tetapi aspek keserasiannya. Yang ditonjolkan bukan segi negatifnya tetapi segi positifnya. Pertanyaan penelitiannya adalah : Mengapa aspek keamanan di Saudi Arabia lebih baik daripada di Amerika Serikat ? seperti terlihat dalam kasus para petugas bank di Saudi Arabia. Apabila mengangkut uang tunai dari satu kota ke kota lain tidak memerlukan pengawasan pihak keamanan sementara di Amerika mustahil karena banyak bandit.
2. Historis
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum juga dapat dijadikan objek penelitian. Misalnya bagaimana pemikiran hukum pada jaman Muawiyah dengan Abbasiyyah? Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Ibn Taymiyyah? Dan seterusnya.
c. Metode Filosofis Islami
Hukum Islam sebagai jalinan nilai-nilai Islami dapat diteliti secara falsafi (filosofis). Manusia dengan menggunakan penalarannya secara positif-mampu menggunakan akalnya sebagai karunia terbesar dari Allah Swt. Dengan demikian, nilai-nilai transendental (wahyu Allah) dipahami oleh setiap orang beriman dengan menggunakan logika dan proses berfikir yang sangat dianjurkan Alquran. Dalam Islam tidak mungkin terjadi konflik antara akal dan wahyu. Cukup banyak ayat-ayat Alquran yang menganjurkan manusia berpikir dan meneliti alam semesta ini. Salah satu contoh penelitian yang menggunakan metode falsafi Islam adalah sebuah buku karya S. Mahmassani, dengan judul, Falsafat al-Tasyri’fi al-Islami, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Farhat J. Ziadeh (1961).
d. Metode Komparatif Islami
Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum Islam sebagai “tolak ukur”. Perbandingan hukum dapat diteliti secara internal antara aliran-aliran hukum Islam (perbandingan madzhab). Misalnya, dalam tradisi Sunni terdapat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali, dan Zahiri. Dapat pula misalnya, dilakukan perbandingan mazhab antara Sunni dan Syi’ah. Misalnya, dalam persoalan hukum kewarisan dan konsep imamah. Secara eksternal, penelitian dapat juga dilakukan terhadap hukum Islam dengan berbagai sistem hukum yang dikenal di dunia, seperti sistem hukum sipil, sistem hukum Anglo Saxon, sistem hukum adat, dal lain-lain.
e. Metode Interpretatif Islami
Ayat-ayat hukum dan hadits-hadits hukum, baik yang tercantum dalam Alquran maupun dalam tradisi Rasul dapat dijadikan objek penelitian, dengan bantuan ilmu tafsir Alquran, ilmu Hadits, serta ilmu bantu lainnya. Dalam penelitian ini peran ijtihad dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam ketiga sangat penting diperhatikan.
f. Metode Pembentukan Garis Hukum
Metode ini dipelopori oleh Prof. Hazairin, seperti terlihat dalam karya-karya beliau. Secara metodologis penelitian dengan menggunakan metode ini, suatu ayat hukum dalam Alquran dapat dipecah menjadi beberapa garis hukum yang dirumuskan masing-masing secara alfabetis (menurut abjad). Misalnya, Surat An-Nisa ayat 7 (Q.S. 4:7).
“Bagi laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu-bapak dan aqrabun (kaluarga dekat) dan bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu-bapak dan aqrabun (keluarga dekat) ada yang mendapat sedikit, ada yang mendapat banyak, bagian yang diwajibkan.”
Q.S 4:7a : “Bagi anak laki-laki, ada bagian warisan dari harta peninggalan ibubapaknya.”
Q.S. 4:7b : “Bagi aqrabun (keluarga terdekat) laki-laki, ada bagian warisan dari peninggalan aqrabun (keluarga dekat) yang laki-laki atau perempuan.”
Q.S. 4:7c : “Bagi anak perempuan, ada bagian warisan dari harta peninggalan ibubapaknya.”
Q.S. 4:7d : “Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan, ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat) yang laki-laki atau perempuannya.”
Q.S. 4:7e : “Ahli waris itu ada yang mendapat warisan sedikit dan ada yang mendapat warisan banyak.”
Q.S. 4:7f : “Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Tuhan.”
Metode pembentukan hukum ini dapat pula disebut sebagai penalaran terhadap ayat-ayat hukum dalam Alquran. Dengan cara ini, orang dengan mudah dapat mempelajari bidang ilmu hukum Islam yang diminatinya. Misalnya, dalam bidang hukum kewarisan (al-faraid) yang dalam sistem fiqih masih disajikan secara tradisional-klasik dan agak sulit untuk dipahami, terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab.
Di samping metode atau model kajian hukum di atas, terdapat juga model kajian hukum sebagai berikut :
1. Model Harun Nasution
Model penelitian Harun terdapat dalam buku Islam ditinjau dari berbagai Aspek jilid II. Harun menggunakan pendekatan sejarah . Harun telah berhasil menjelaskan struktur hukum Islam secar komprehensif yaitu mulai dari pembahasan tentang ayatayat hukum dalam Alquran, latar belakang serta sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sejak nabi sampai sekarang, dan berbagai madzhab dalam Islam serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.
2. Model Noel J. Coulson
Penelitian Coulson terdapat dalam buku Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan bersifat deskriptif analisis.
3. Model M. Atho Mudzar
Model penilitan ini terdapat dalam disertasinya berjudul Fatwas of The Counsil of Indonesian Ulama A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa produk fatwa ulama Indonesia dipengaruhi oleh setting sosial, kultur dan politik. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam empat bab. Bab pertama berisi latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia. Bab kedua membahas majlis ulama Indonesia dari aspek latar belakang berdiri, sosial politik yang mengitarinya, hubungan MUI dengan pemerintah dan organisasi Islam, non Islam dan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Bab ketiga membahas isi fatwa ulama dan metode yang digunakannya. Bab keempat membahas kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut. (Abuddin Nata, 2008 :310-311)
No comments:
Post a Comment