Powered By Blogger

Wednesday 15 May 2013

MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?

MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?

Satu konsep biologi yang dicoba-sajikan sebagai bukti teori evolusi oleh para evolusionis adalah kekebalan atau daya tahan bakteri terhadap antibiotik. Banyak sumber evolusionis menyebutkan bahwa kekebalan terhadap antibiotik adalah sebuah contoh perkembangan makhluk hidup melalui mutasi yang menguntungkan. Hal serupa juga dikatakan tentang serangga yang menjadi kebal terhadap insektisida seperti DDT.

Akan tetapi, kaum evolusionis pun salah dalam hal ini.

Antibiotik adalah “molekul pembunuh” yang dihasilkan mikroorganisme untuk melawan mikroorganisme lain. Antibiotik pertama adalah penisilin, yang ditemukan oleh Alexander Flemming pada 1928. Flemming menyadari bahwa jamur (seringkali ditemukan seperti bubuk atau benang-benang di permukaan bahan organik sudah lama – penerj.) menghasilkan molekul yang mematikan bakteri Staphylococcus, dan penemuan ini merupakan titik balik dalam dunia obat-obatan. Antibiotik yang diambil dari berbagai organisme digunakan untuk melawan bakteri, dan berhasil.

Tidak lama kemudian, hal baru ditemukan. Seiring dengan waktu, bakteri mengembangkan kekebalan terhadap antibiotik. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut: sebagian besar bakteri yang diberi antibiotik akan mati, tetapi sebagian lain yang tidak terpengaruh oleh antibiotik tersebut, akan dengan cepat berkembang biak dan membentuk populasi yang sama dengan yang sebelumnya. Sehingga, seluruh populasi menjadi kebal terhadap antibiotik.

Para evolusionis menampilkan hal ini sebagai “evolusi bakteri dengan cara beradaptasi terhadap lingkungan”.

Akan tetapi, kenyataan sebenarnya jauh berbeda dengan penafsiran dangkal ini. Salah seorang ilmuwan yang telah melakukan penelitian mendalam di bidang ini adalah ahli biofisika Israel bernama Lee Spetner, yang juga dikenal dengan bukunya Not by Chance yang terbit tahun 1997. Spetner menyatakan, kekebalan bakteri terjadi karena dua mekanisme; namun tak satu pun dari keduanya merupakan bukti teori evolusi. Kedua mekanisme ini adalah:
1. Perpindahan (transfer) gen-gen kekebalan yang sudah ada pada bakteri.
2. Tumbuhnya kekebalan sebagai akibat hilangnya data genetis karena mutasi.

Mekanisme yang pertama dibahas Profesor Spetner dalam artikel yang terbit tahun 2001:

Sejumlah mikroorganisme dilengkapi dengan gen-gen yang memberikan kekebalan terhadap antibiotik-antibiotik ini. Kekebalan ini dapat berupa kemampuan merombak molekul antibiotik tersebut, atau mengeluarkannya dari sel … Organisma yang memiliki gen-gen ini dapat memindahkannya ke bakteri lain, sehingga menjadikan bakteri tersebut kebal juga. Walaupun mekanisme kekebalan tersebut bersifat khusus terhadap satu antibiotik tertentu, kebanyakan bakteri patogen telah … berhasil mengumpulkan beberapa perangkat gen yang memberikan bakteri-bakteri tersebut kekebalan terhadap beberapa jenis antibiotik.

Spetner lalu melanjutkan dan berkata bahwa hal ini bukanlah “bukti yang mendukung evolusi”:

Perolehan kekebalan terhadap antibiotik dengan cara ini… bukanlah sesuatu yang dapat menjadi contoh dari mutasi yang diperlukan untuk menjelaskan peristiwa Evolusi… Perubahan genetik yang dapat mendukung teori ini semestinya tidak hanya menambahkan informasi pada genom bakteri. Perubahan genetik ini harus pula menambahkan informasi baru pada biokosmos. Perpindahan gen secara horisontal hanya menyebabkan penyebaran gen-gen yang sudah ada pada sejumlah spesies.

Jadi, kita tak dapat berbicara tentang evolusi apa pun di sini, karena tidak ada informasi genetis baru dihasilkan: yang terjadi hanyalah informasi genetis yang sudah ada sekedar dipindahkan di antara bakteri.

Jenis kekebalan yang kedua, yang tercipta sebagai hasil mutasi, juga bukan contoh evolusi. Spetner menulis:

… Suatu mikroorganisme kadang dapat memperoleh kekebalan terhadap suatu antibiotik melalui penggantian acak sebuah nukleotida… Streptomisin, yang ditemukan Selman Waksman dan Albert Schatz, dan pertama kali dilaporkan di tahun 1944, adalah antibiotik yang dapat menjadikan bakteri dapat memperoleh kekebalan dengan cara itu. Tetapi, walaupun mutasi yang mereka alami dalam proses ini bersifat menguntungkan bagi mikroorganisme yang diberi streptomisin, mutasi tersebut tidak dapat menjadi contoh dari jenis mutasi yang diperlukan untuk mendukung Teori Neo-Darwinian (Neo Darwinian Theory atau NDT). Jenis mutasi yang memunculkan kekebalan terhadap streptomisin terjadi pada ribosom, dan menghilangkan kemampuan sel untuk mengenali dan berikatan dengan molekul antibiotik.

Dalam bukunya Not by Chance, Spetner mengibaratkan situasi ini dengan gangguan pada hubungan antara kunci dan lubangnya. Streptomisin, ibarat kunci yang cocok dengan lubangnya, mencengkeram ribosom suatu bakteri dan menjadikannya tidak aktif. Mutasi menyebabkan hal sebaliknya, menguraikan ribosom, sehingga streptomisin tidak dapat menyerang ribosom. Walaupun ini ditafsirkan sebagai “pembentukan kekebalan bakteri terhadap streptomisin”, bakteri tidaklah diuntungkan, malah sebaliknya. Spetner menulis:

Perubahan ini, yang terjadi pada permukaan ribosom mikroorganisme, mencegah molekul streptomisin untuk menempel dan melaksanakan fungsi antibiotiknya. Ternyata, terurainya ribosom adalah berupa hilangnya struktur khusus, dan ini berarti hilangnya informasi. Intinya adalah, Evolusi… tidak dapat dicapai dengan mutasi jenis ini, tak menjadi soal betapa pun banyaknya. Evolusi tidak dapat terjadi melalui timbunan peristiwa mutasi yang hanya merombak struktur khusus.

Singkatnya, sebuah mutasi yang terjadi pada ribosom bakteri telah menjadikan bakteri tersebut kebal terhadap streptomisin. Alasannya adalah “rusak atau hilangnya bagian” ribosom akibat mutasi. Jadi, tidak ada informasi genetis baru yang ditambahkan. Sebaliknya, struktur ribosom terurai, yang berarti, bakteri menjadi “cacat”. (Juga, telah ditemukan bahwa ribosom pada bakteri yang telah mengalami mutasi tidak berfungsi penuh seperti ribosom pada bakteri yang normal.) Karena “cacat” ini mencegah menempelnya antibiotik pada ribosom, maka terjadilah “kekebalan terhadap antibiotik”.

Akhirnya, tidak terdapat contoh mutasi yang “mengembangkan informasi genetis”. Para evolusionis, yang ingin menyajikan kekebalan terhadap antibiotik sebagai bukti evolusi, telah menangani masalah ini dengan tidak sungguh-sungguh, sehingga mereka salah.

Sama halnya dengan terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT dan insektisida sejenis. Pada umumnya, gen-gen kekebalan yang sudah ada, digunakan. Ahli biologi evolusioner, Francisco Ayala mengakui fakta ini, dan berkata: “Varian genetis yang dibutuhkan untuk terjadinya kekebalan terhadap jenis pestisida yang paling bervariasi sekali pun, tampaknya sudah ada dalam setiap populasi yang terkena senyawa-senyawa buatan manusia ini.” Contoh lain yang dijelaskan dengan mutasi, seperti halnya mutasi ribosom yang telah diceritakan di atas, adalah fenomena yang menyebabkan “berkurangnya informasi genetis” pada serangga.

Dalam kasus ini, mekanisme kekebalan pada bakteri dan serangga tidak bisa dinyatakan sebagai bukti kebenaran teori evolusi. Hal ini berlaku karena teori evolusi menegaskan bahwa makhluk hidup berkembang melalui mutasi. Namun, Spetner menjelaskan bahwa kekebalan antibiotik maupun fenomena biologis lainnya bukanlah isyarat adanya mutasi semacam itu:

Mutasi-mutasi yang diperlukan bagi terjadinya makro-evolusi belum pernah teramati. Tidak ada mutasi acak yang dapat menjadi bukti mutasi yang dibutuhkan Teori Neo-Darwinis pada tingkat molekuler, yang telah menambahkan sedikit pun informasi. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah mutasi yang telah diamati merupakan jenis yang diperlukan untuk mendukung teori ini? Ternyata jawabnya adalah TIDAK!

No comments:

Post a Comment