Powered By Blogger

Wednesday 8 May 2013

MENGENAL SEPINTAS PSIKOLOGI EVOLUSIONER


MENGENAL SEPINTAS PSIKOLOGI EVOLUSIONER

Sejumlah mahasiswa dan mahasiswi diminta menjawab pertanyaan berikut ini: “Idealnya, berapa banyak pasangan seksual yang ingin anda miliki sampai bulan depan, dalam waktu enam bulan mendatang, selama setahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, dan selama sepanjang hayat?”. Ada perbedaan jawaban yang diberikan oleh mahasiswa dan mahasiswi menanggapi pertanyaan diatas. Mahasiswa pria ingin memiliki lebih banyak pasangan seksual daripada yang diinginkan mahasiswi. Kecenderungan ini konsisten untuk setiap interval waktu. Misalnya, untuk waktu dua tahun mendatang, pria ingin memiliki rerata delapan pasangan seksual, sementara wanita hanya ingin mempunyai satu pasangan seksual saja. Pria ingin memiliki rerata 18 pasangan seksual selama hidupnya, sementara wanita hanya menginginkan rerata 4 atau 5 pasangan seksual (Buss & Schmitt, 1993). Teori apa yang mampu menjelaskan perbedaan antara pria dan wanita menyangkut jumlah pasangan seksual yang diinginkan tersebut? Psikologi evolusioner mungkin akan bisa menjawab permasalahan ini.

Sejumlah orang diberi satu pernyataan yang menggambarkan kebiasaan warga kota Cambridge: “Jika seseorang pergi ke kota Boston, maka dia akan menumpang kereta bawah tanah”. Kemudian, mereka diberi empat kartu yang memberi informasi tentang empat warga kota Cambridge. Salah satu sisi dari masing-masing kartu akan berisi informasi tentang ke kota mana warga Cambridge akan pergi; sedang sisi lain dari setiap kartu akan berisi informasi tentang kendaraan apa yang dipakai untuk bepergian. Sisi depan yang dapat dilihat pada masing-masing kartu berisi informasi sebagai berikut: Kartu pertama bertuliskan kota Boston, kartu kedua bertuliskan kota Arlington, kartu ketiga diberi tulisan kereta bawah tanah, dan kartu terakhir diberi tulisan taksi. Tugas mereka adalah memilih kartu manakah yang harus dibalik untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan pernyataan “Jika seseorang pergi ke Boston, maka dia akan menumpang kereta bawah tanah”. Jawaban yang tepat menurut penalaran logis adalah membalik kartu pertama yang bertuliskan kota Boston dan kartu keempat yang berisi tulisan taksi. Sayangnya, hanya sekitar 25% dari subjek yang diminta memecahkan problem diatas mampu membuat jawaban benar (Cosmides & Tooby, 1997). Hal ini berarti secara umum pikiran manusia kurang mampu membuat penalaran logis, lebih khususnya pikiran manusia kurang mampu mendeteksi pelanggaran prinsip kondisional jika-maka. Akan tetapi, gambaran tentang pikiran manusia yang samasekali bertolak belakang dengan gambaran negatif diatas akan muncul ketika orang diberi pernyataan yang mengandung kontrak sosial seperti “Jika anda ingin makan roti-roti itu, maka anda harus merapikan tempat tidur dulu”. Lebih banyak orang (sekitar 65-80% dari subjek yang diminta memecahkan problem) ternyata mampu melakukan penalaran logis dan mendeteksi kecurangan dalam kontrak sosial tersebut (Cosmides & Tooby, 1997). Teori apa yang dapat menjelaskan mengapa pikiran manusia lebih mampu mendeteksi kecurangan dalam situasi khusus pertukaran sosial daripada melakukan deteksi pelanggaran prinsip kondisional jika-maka secara umum? Psikologi evolusioner mungkin akan mampu menjawab permasalahan ini.

Psikologi evolusioner mulai ditempatkan sebagai salah satu pendekatan atau perspektif yang penting dalam psikologi secara umum (Baron, 1996), psikologi sosial (Archer, 1996), psikologi perkembangan (Bjorklund & Pellegrini, 2000), psikologi kepribadian (Buss, 1995) psikologi belajar (Hergenhahn & Olson, 2001), psikologi kognitif (Solso, 1998), dan psikologi perbedaan antara pria dan wanita (Buss, 1995b). Misalnya, Baron (1996, hal. 9) memasukkan psikologi evolusioner sebagai salah satu perspektif dalam mempelajari perilaku disamping perspektif behavioral, kognitif, psikodinamik, humanistik, biopsikologis, dan sosiokultural. Hergenhahn dan Olson (2001, hal. 48) menambahkan paradigma evolusioner kedalam teori-teori belajar masa kini selain paradigma fungsionalistik, asosiasionistik, kognitif, dan neurofisiologis. Solso (1998, h. 30) menamai pendekatan psikologi evolusioner dalam psikologi kognitif sebagai bionomik kognitif. Bionomik kognitif menyatakan bahwa kognisi manusia seperti persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus dipahami dalam konteks evolusi fisik dan sosial manusia. Bjorklund & Pellegrini, (2000, h. 1704) menyimpulkan bahwa perspektif evolusioner sangat penting untuk ilmu psikologi perkembangan baru.

Kemunculan psikologi evolusioner didorong oleh keprihatinan bahwa perkembangan teori-teori psikologi sedang dalam situasi morat -marit (Buss, 1995a). Secara lebih khusus, Buss menjelaskan bahwa cabang-cabang psikologi seperti psikologi kognitif, psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, dan psikologi budaya berkembang terpisah satu sama lain. Para pakar psikologi dari satu cabang psikologi saja bahkan tidak mampu mencapai konsensus. Teori-teori skala mini semakin menjamur namun teori-teori tadi tak berkaitan satu sama lain. Masing-masing teori hanya mampu menjelaskan serangkaian gejala tertentu. Meskipun pakar psikologi memiliki asumsi bahwa pikiran manusia merupakan suatu kesatuan yang bersifat menyeluruh dan terpadu, namun belum ada satu metateori yang memadukan, menyatukan atau menghubungkan berbagai gejala yang berbeda yang diteliti oleh ahli psikologi. Psikologi evolusioner akan menjadi satu paradigma teoretis baru yang menawarkan satu metateori bagi psikologi (Buss, 1995a, h. 1).

Psikologi evolusioner juga merupakan kritikan terhadap Model Ilmu Sosial Standar (Standard Social Science Model, SSSM) yang dianggap ortodoks (Archer, 1996; Cosmides & Tooby, 1997). SSSM mengibaratkan pikiran manusia sebagai tabula rasa, satu kotak kosong yang tidak berisi apa-apa sampai pengalaman akan mengisinya. Metafora mengenai pikiran manusia telah berubah dari kotak kosong ke switchboard dan kini sebuah komputer, namun isi pikiran tetaplah ditentukan oleh sesuatu dari luar, yakni dari lingkungan dan dunia sosial. SSSM juga berpandangan bahwa arsitektur pikiran manusia didominasi oleh sejumlah mekanisme yang bersifat general-purpose dan content-independent atau domain-general. Mekanisme yang bersifat general-purpose itu diantaranya adalah belajar, induksi, inteligensi, imitasi, rasionalitas, dan budaya. Psikologi evolusioner mencoba mengganti SSSM dengan menunjukkan bahwa pikiran manusia terdiri dari sejumlah besar mekanisme yang secara fungsional bersifat khusus dan domain specific.

Psikologi evolusioner adalah satu pendekatan terhadap psikologi yang menerapkan pengetahuan-pengetahuan dan prinsip-prinsip biologi evolusioner untuk meneliti struktur pikiran manusia (Cosmides & Tooby, 1997). Menurut Cosmides dan Tooby (1997) psikologi adalah cabang biologi yang mempelajari (a) otak, dan (b) bagaimana program-program pemrosesan informasi otak memunculkan perilaku. Oleh karena psikologi adalah cabang biologi, maka teori-teori, prinsip-prinsip serta observasi-observasi dalam biologi evolusioner dapat dipergunakan untuk mempelajari psikologi. Evans & Zarate (1999) merumuskan psikologi evolusioner sebagai kombinasi dua ilmu, yakni biologi evolusioner dan psikologi kognitif.

No comments:

Post a Comment