Powered By Blogger

Wednesday 8 May 2013

TEORI POST MODERN: SEBUAH PENGANTAR


TEORI POST MODERN: SEBUAH PENGANTAR

Pemakaian istilah modern secara tersirat menyatakan adanya perkembangan yang mengikuti teori sosiologi modern. Gagasan ini tampak aneh karena kita telah terbiasa memikirkan sesuatu yang modern itu sebagai perkembangan yang paling akhir, yang paling baru. Tetapi, dalam beberapa dekade terakhir dan dalam beberapa bidang yang berbeda (kesenian, arsitektur, sastra, dan sebagainya) telah terjadi sederetan perkembangan yang dianggap ada masalah dengan modernitas yang ingin ditunjukkan dan dijelaskan oleh pakar post modernitas.

Dalam teori sosiologi, teori modern (dan teori klasik) masih tetap penting dan menonjol dalam disiplin ini. Tetapi post modernisme makin penting pengaruhnya atas teori sosiologi dan kini ada peluang untuk mengidentifikasi perkembangan perspektif teoritis dan teoritisi post-modern. Selanjutnya, karena paling dekat dengan kemanusiaan orang mengharapkan teoritisi sosiologi akan menjadi teori yang paling terbuka terhadap post-modernisme. Karena setidaknya sebagian teoritisi sosiologi makin berorientasi post-modern, kita dapat rnengharapkan bahwa sosiologi yang makin berorientasi empiris akan semakin dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh beberapa teori sosial postmodernisme.

Dalam membahas post-modernisme, kita perlu menggeser perhatian kita dari teori-teori sosiologi ke teori-teori sosial. Meski perbedaan antara keduanya tak jelas, teori sosiologi cenderung mencerminkan perkembangan yang sebagian besar terjadi dalam sosiologi dan menjadi sasaran perhatian utama sosiologi. Teori sosial cenderung bersifat multidisiplin. Sebenamya, setidaknya sebagian teori yang telah dibahas sebelumnya, terutama teori neo-Marxisme dan teori tentang agen struktur, lebih tepat dilukiskan sebagai teori sosial. Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa teori-teori post-modern paling tepat dipandang sebagai teori sosial.

Kini Sosiologi menghadapi situasi serupa dengan yang pernah dihadapi oleh sejumlah bidang ilmu, terutama oleh kesenian liberal, pada dekade yang lalu:

Momen post-modern telah tiba dan intelektual, seniman, dan pengkaji kultural yang kebingungan berpikir apakah mereka harus ikut rombongan dan bergabung dengan karnaval ataukah menonton di pinggir lapangan hingga mode baru itu lenyap ke dalam pusingan mode kultural (Kellner, 1989b: 1-2)

Meski banyak sosiolog dan teoritisi sosiologi masih menggangap post modernisme sebagai sebuah mode (dan terus melihatnya lebih menyupai karnaval daripada sebagai upaya ilmiah serius), faktanya adalah bahwa post modernisme tak bisa diabaikan lagi oleh teoritisi sosiologi (Dandaneau, 2001). Dalam teori sosial masa kini, post-modernisme telah menjadi permainan terpanas di kota (Kellner, 1989b:2). Demikian panasnya pertandingan itu sehingga seorang teoritisi menyatakan bahwa kita harus menghentikan penggunaan istilah post modernisme itu karena telah letih oleh pekerjaan yang terlalu keras (Lemert, 1994:142). Artinya istilah itu telah disalahgunakan baik oleh pendukungnya, oleh pencelanya, maupun selama berlangsungnya perdebatan panas antara mereka.

Dengan mengemukakan arti penting post-modernisme dan perdebatan panas yang ditimbulkannya, tujuannya adalah untuk menyajikan semacam pengantar ringkas tentang pemikiran post-modern (Antonio, 1998; Ritzer, 1997; Ritzer dan Goodman, 2001). Tetapi, ini bukan perkara mudah. Alasannya adalah karena adanya perbedaan besar di kalangan pemikir post-modern yang umumnya bersifat idiosinkretik itu sehingga sukar menggeneralisasi kesamaan pendapat mereka. Smart (1993), misalnya, telah membedakan tiga pendirian di kalangan pemikir post-modern itu.

Pertama atau pendirian yang ekstrim menyatakan bahwa masyarakat modern telah terputus hubungannya dengan dan sama sekali telah digantikan oleh masyarakat post modern. Tokoh yang berpendirian demikian termasuk Jean Baudrillard, Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1972/1983; Bogard, 1998; Theory, Culture, and Society, 1997).

Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa meski telah terjadi perubahan, post modernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan modernisme. Pendirian ini diikuti oleh pemikir Marxian seperti

Fredric Jameson, Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe, dan oleh pemikir feminis post-modern seperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson.

Ketiga pendirian Smart yang lebih memandang terus-menerus menunjukkan keterbatasan modernisme. Meski berguna, tipologi Smart ini mungkin ditolak oleh pemikir post-modernisme lain karena terlalu menyederhanakan perbedaan besar antara pemikiran mereka.

Meski di kalangan pemikir kini tak ada tema yang lebih besar daripada gema "post-modern, namun terdapat sejumlah besar kerancuan dan kontroversi tentang apa makna sebenamya dari istilah post-modern itu. Demi kejelasannya perlu dibedakan antara istilah "post-modernitas (post modernity), post modernism dan teori sosial post modern.

Post modernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat menyusul era modern.

Post modernisme mengacu pada produk kultural (di bidang kesenian, film, arsitektur dan sebagainya) yang berbeda dari produk kultural modern.

Teori sosial post modern mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern. Dengan demikian, post-modern meliputi periode historis baru, produk kultural baru, dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial. Tentu saja semua ini merupakan sebuah perspektif baru dan berbeda mengenai peristiwa yang di tahun-tahun belakangan ini, yang tak lagi dapat dilukiskan dengan istilah modern, dan perspektif mengenai perkembangan baru yang menggantikan realitas modern.

Konsep pertama, post modern ini terutama tertuju pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, post modernitas. Lemert menyatakan bahwa kelahiran post modernisme dapat dirunut sekurang-kurangnya secara simbolis kepada:

Kematian arsitektur modern pada jam 3:32 siang, 15 Juli 1972 saat dihancurkannya proyek perumahan Pruitt Igoe di St. Louis. Proyek perumahan raksasa di St. Louis ini melambangkan keyakinan arogan arsitekstur modern bahwa dengan membangun proyek perumahan public terbesar dan termegah ini arsitek dan perencananya dapat membasmi kemiskinan dan kesengsaraan manusia. Dengan menghancurkan simbol gagasan modern ini berarti mengakui kegagalan gagasan modernitas itu sendiri. (Lemert, 1990:233; mengikuti Jencks, 1977).

Penghancuran proyek Pruitt-Igoe mencerminkan perbedaan antara pemikir modern dan post-modern tentang persoalan apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas masalah masyarakat. Contoh lain, perang terhadap kemiskinan yang dicanangkan Lyndon Johnson tahun 1960-an, adalah khas cara masyarakat modern meyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu. Tak inginnya pemerintahan Reagan di tahun 1980-an membangun program raksasa untuk mengatasi masalah kemiskinan, mencerminkan keyakinan masyarakat post-modern bahwa tak ada jawaban rasional tunggal untuk menanggulangi berbagai macam masalah. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa antara pemerintahan Kennedy dan Johnson dan Reagan, AS bergerak dari masyarakat modern ke masyarakat post-modern. penghancuran proyek Pruitt-Igoe sebenarnya terjadi dalam jangka waktu itu.

Konsep kedua, post-modernisme, berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern. Di dunia kesenian, Jameson (1984) mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post-modern yang menampilkan sosok Marilyn Monroe hampir tanpa emosi dengan lukisan Munch modern, The Scream. Di bidang televisi, tayangan Father Knows Best merupakan contoh yang tepat program televisi modern, sedangkan program Twin Peak dapat dianggup dianggap sebagai contoh program post-modern. Di bidang film, The Ten Commandment jelas digolongkan sebagai film modern sedangkan Blade Runner sebagai karya post-modern.

Konsep ketiga, adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan teori sosial modern.

Teori sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan rasional, untuk analisisnya dan untuk mengkritik masyarakat. Menurut Marx landasannya adalah umat manusia sedangkan menurut Habermas, landasannya adalah nalar komunikatif.

Pemikiran post-modern menolak "landasan ini" dan cenderung menjadi relativistik, irrasional dan nihilistik. Dengan mengikuti Nietzsche dan Foucault di antaranya, pemikir post modern mempertanyakan landasan demikian, yakin bahwa landasan itu cenderung memberikan hak istimewa terhadap kelompok tertentu dan menurunkan derajat sebagian besar yang lainnya, memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu dan membuat kelompok lain tanpa kekuasaan.

Pemikir post-modern pun menolak gagasan tentang narasi besar atau metanarrative. Dalam penolakan atas gagasan inilah kita berhadapan dengan salah seorang pemikir post-modern paling penting, yakni Lyotard. Lyotardlah (1984:xxiii) yang memperkenalkan ilmu pengetahuan modern dengan sejenis sintesis umum tunggal (atau metadiscourse) yang dapat kita hubungkan dengan karya teoritisi seperti Marx dan Parsons. Jenis narasi besar yang ia hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern termasuk dialektika spirit, the hermeneutics of meaning, emansipasi rasional, atau penciptaan kekayaan (Lyotard, 1984:xxiii)

Bila ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative maka ilmu post modern menolak narasi umum seperti itu. Seperti dinyatakan Lyotard, Jika disederhanakan, saya mendefinisikan post-modern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarratives. (1984:xxiv). Lebih keras lagi ia mengatakan, marilah kita memerangi totalitas...marilah kita menghidupkan perbedaan (1984: 82). Kenyataannya, post-modernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda: "Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan post-modern memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan (1984:xxv).

Dalam pengertian ini sosiologi sudah bergerak keluar periode modern, masuk ke dalam periode post-modern dalam upayanya mencari formula sintesis yang lebih khusus. Menurut pandangan Fraser dan Nicholson, Lyotard lebih menyukai narasi tentang modernitas yang lebih sempit, berukuran setempat ketimbang metanarasi atau narasi besar dari modemitas (1988: 89). Sintesis baru ini mungkin dapat dilihat sebagai contoh narasi sosiologi yang kecil dan "setempat" yang dimaksud Lyotard itu.

Sementara Lyotard menolak narasi besar secara umum Baudrillard menolak gagasan narasi besar dalam sosiologi. Di satu sisi Baudrillard menolak seluruh gagasan tentang kehidupan sosial. Dengan menolak gagasan tentang kehidupan sosial, menyebabkan ia menolak metanarrative sosiologi yang dihubungkan dengan modernitas:

...prinsip pengorganisasian besar, narasi besar tentang kehidupan sosial yang menemukan dukungan dan pembenarannya dalam gagasan tentang kontrak rasional, masyarakat sipil, kemajuan, kekuasaan, produksi yang kesemuanya ini menunjuk pada sesuatu yang pernah ada tetapi kini sudah tak ada. Era perspektif tentang kehidupan sosial (yang berkaitan erat dengan periode yang terkenal sebagai modernitas)...sudah berlalu (Bogard, 1990:10).

Jadi, post-modern menolak metanarrative umumnya dan menolak narasi besar dalam sosiologi khususnya.

Teori sosial post-modern untuk sebagian besar bukan produk sosiolog (Lyotard, Derrida, ]ameson bukan sosiolog). Di tahun belakangan ini sejumlah sosiolog mulai berkarya menurut perspektif post-modern, dan post-modernisme hingga taraf tertentu dapat dipandang sebagai bagian dari tradisi sosiologi klasik. Ambil contohnya penafsiran ulang karya Simmel berjudul Post-modernized Simmel (Weinstein dan Weinstein, 1993;1998). Weinstein dan Weinstein mengakui adanya alasan kuat untuk menyatakan bahwa Simmel sebagai seorang modernis liberal, mengemukakan narasi besar tentang kecenderungan sejarah menuju dominasi kultur objektif menuju "tragedi kultur". Tetapi, mereka pun menyatakan adanya alasan kuat untuk mengakui pemikiran Simmel sebagai post-modern. Dengan demikian, mereka mengakui bahwa kedua alternatif mempunyai validitas dan pemikiran modern tak berarti lebih benar daripada post-modern atau sebaliknya. Mereka selanjutnya menyatakan, menurut kami modernisme dan postmodernisme bukanlah pilihan eksklusif, tetapi dua bidang yang batasnya tak bersambungan satu sama lain (1993:21). Mereka pun menyadari bahwa mereka dapat menafsir ulang pemikiran Simmel sesuai dengan pemikiran modern tetapi menafsirkannya menurut post-modernis jauh lebih bermanfaat. Karenanya mereka mengekspresikan pandangan yang sangat post-modern: "Tidak ada Simmel esensial, hanya Simmel-Simmel yang berbeda-beda yang dibaca melalui beragam pandangan di dalam formasi diskursus
kontemporer" (Weinstein dan Weinstein, 1993:55).

Alasan Weinstein dan Weinstein menyatakan Simmel sebagai pemikir postmodern karena Simmel menentang totalisasi dan ia cenderung berpandang detotalisasi modernitas. Ia sebenarnya seorang penulis esai, pencerita sejarah, meski ia menyusun teori tragedi kultur. Ia lebih banyak menjelaskan berbagai masalah khusus ketimbang menerangkan totalitas kehidupan sosial.

Simmel juga dideskripsikan sebagai seorang pemalas. Lebih khusus lagi, dilukiskan sebagai sosiolog pemalas yang membuang-buang waktunya untuk menganalisis sejumlah besar fenomena sosial. Ia tertarik pada berbagai fenomena sosial itu karena kualitas estetikanya; seluruh fenomena sosial yang ada itu dianalisisnya untuk "merangsang, mengherankan, menyenangkan, atau untuk kesenangan dirinya" (Weinstein dan Weinstein, 1993:60). Simmel dideskripsikan membuang-buang kehidupan intelektualnya dengan mengembara dari menjelaskan satu fenomena sosial ke fenomena sosial lain karena dorongan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menyebabkan Simmel terhindar dari pandangan totalitas terhadap kehidupan dan memusatkan perhatian terhadap sejumlah unsur kehidupan itu.

Simmel pun dilukiskan sebagai tukang intelektual (bricoleur), yang mengerjakan sesuatu berdasarkan bahan yang tersedia padanya. Dihadapannya tersedia berbagai fragmen kehidupan sosial atau "serpihan kultur objektif". Selaku tukang ahli, Simmel merangkum gagasan apapun yang ia temukan untuk menjelaskan dunia sosial.

Kiranya tak perlu membahas terlalu rinci interpretasi Weinstein dan Weinstein tentang pemikiran post-modern Simmel ini. Yang jelas, interpretasi seperti itu sama masuk akalnya dengan pandangan modern. Akan jauh lebih sukar menemukan pandangan post-modern yang serupa dari teoritisi klasik utama lainnya, walaupun orang tentu akan dapat menemukan aspek-aspek pemikiran mereka yang bersesuaian dengan post-modernisme. Begitulah, seperti dijelaskan Seidman (1991), sebagian besar teori sosiologi adalah buatan teoritisi modern, tetapi ada isyarat post-modern dalam kebanyakan pemikiran teoritisi modern itu (lihat juga diskusi tentang Weber dan post-modernisme dalam Gane, 2002).

Tempat lain untuk mencari berita tentang post-modernisme adalah di antara kritik atas teori modern dalam teori sosiologi. Seperti telah ditunjukkan oleh beberapa pengamat (Antonio, 1991; Best dan Kellner, 1991; Smart, 1993) posisi kunci diduduki oleh C. Wright Mills (1959).

Pertama Mills sebenarnya menggunakan istilah post-modem untuk melukiskan era pasca pencerahan yang kita masuki: "Kita berada di penghujung dari apa yang disebut abad modern...abad modern digantikan oleh periode post-modern (Mills, 1959:165-166).

Kedua, ia adalah pengkritik keras teori besar (grand theory) modern dalam sosiologi, terutama seperti yang dipraktikkan oleh Parsons.

Ketiga, Mills menginginkan sosiologi menghubungkan masalah publik yang besar dengan persoalan pribadi yang khusus.

Meski ada isyarat post-modernisme dalam karya Simmel dan Mills (dan teoritisi lainnya), namun dalam karya mereka itu tak kita temukan teori post modern itu sendiri. Sebagai contoh Best dan Kellner berpendapat bahwa Mills adalah "teoritisi modern yang membuat generalisasi sosiologi yang luas, meneliti sosiologi dan sejarah, dan percaya atas kekuatan imajinasi sosiologi untuk penjelaskan realitas sosial dan untuk mengubah masyarakat (1991:8). Berdasarkan latar belakang yang umum ini, kita akan membahas teori sosial post modern secara lebih kongkret.

2 comments:

  1. untuk isi blognya sudah bagus sih, cuma blog ini terlalu banyak konten yg tidak perlu jadi ketika dibuka linknya lama, saran saja sih lebih baik tampilan blognya sederhana dengan isi yg berkualitas :)

    ReplyDelete
  2. kak, Smart itu siapa yah? nama pemikir apa hanya istilah?
    yang tipologi Smart itu

    ReplyDelete