DARWINISME MENYEDIAKAN DASAR-DASAR BAGI
FASISME
Mitos
evolusi, sebuah warisan dari paganisme Sumeria dan Yunani, memasuki kancah pemikiran Barat melalui karya
Charles Darwin The Origin of The Species, yang diterbitkan tahun 1859. Dalam buku ini,
sebagaimana dalam buku The Descent of Man, ia
membahas konsep-konsep pagan tertentu yang telah menghilang di Eropa di bawah dominasi Kristen, dan membuat “pembenaran”
bagi konsep-konsep tersebut dengan
kedok ilmu pengetahuan. Kita dapat menguraikan konsep-konsep pagan yang ia coba benarkan, hingga menjadi
dasar-dasar bagi perkembangan fasisme sebagai
berikut:
1)
Darwinisme memberikan justifikasi bagi rasisme: Sebagai
subjudul dari The Origin
of the Species, Darwin menulis: “ The Preservation of F
avoured Races in The Struggle for
Life (Keberlanjutan Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk
Hidup).” Dengan kata-kata ini,
Darwin mengklaim bahwa ras tertentu di alam lebih “pilihan” daripada
yang lainnya, dengan kata lain, bahwa mereka
lebih unggul. Ia mengungkapkan dimensi gagasan-gagasannya
mengenai ras manusia dalam The Descent of Man, di mana ia menulis bahwa orang kulit putih lebih
unggul daripada ras-ras lain seperti Afrika, Asia, dan Turki, serta diperbolehkan memperbudak
mereka.
2)
Darwinisme memberikan justifikasi bagi pertumpahan darah: Sebagaimana telah disebutkan, Darwin mengemukakan
bahwa ―perjuangan untuk bertahan hidup” yang mematikan terjadi di alam. Ia
menyatakan bahwa prinsip ini berlaku baik pada masyarakat
maupun individu, prinsip ini adalah suatu perjuangan sampai mati, dan sangat wajar bila ras-ras yang berbeda
berusaha untuk saling melenyapkan demi kepentingan
masing-masing. Singkatnya, Darwin menggambarkan sebuah arena di mana satu-satunya aturan adalah
kekerasan dan konflik, dan dengan demikian menggantikan
konsep-konsep perdamaian, kerja sama, pengorbanan diri, yang telah menyebar di Eropa dengan kedatangan
agama Kristen. Jadi, Darwinisme menghidupkan
kembali ide “arena”, sebuah pertunj ukan kekerasan yang
ditemukan di dunia pagan
(Kekaisaran Roma).
3)
Darwinisme membawa kembali konsep egenetika ke dalam pemikiran Barat:
Konsep
mempertahankan keunggulan rasial melalui pemeliharaan keturunan, yang dikenal sebagai egenetika, yang
dilakukan bangsa Sparta dan dibela Plato dengan kata-katanya,
“Para atlet prajurit kita haruslah waspada seperti
anjing penjaga”, muncul
kembali di dunia Barat melalui Darwinisme. Darwin menyediakan seluruh bab dalam The Origin of the Species untuk
membahas “perbaikan
ras-ras hewan”, dan dalam
The Descent of Man ia mempertahankan pendapatnya bahwa manusia adalah suatu
spesies hewan. Tak lama kemudian, keponakan Darwin, Francis Galton, mengembangkan klaim pamannya selangkah
lebih maju, dan mengemukakan teori egenetika
modern. (Nazi Jerman selanjutnya menjadi negara pertama yang menerapkan egenetika sebagai kebijakan
resmi).
Sebagaimana
telah kita bahas, teori Darwin tampaknya hanyalah konsep mengenai ilmu pengetahuan biologi,
tetapi sesungguhnya teori ini membentuk dasar-dasar
untuk cara pandang politis yang benar-benar baru. Tak berapa lama, pandangan ini di definisikan ulang
sebagai “Darwinisme
Sosial”. Dan sebagaimana telah diakui banyak sejarawan,
Darwinisme Sosial menjadi dasar ideologis bagi fasisme
dan Nazisme.
Dampak
penggambaran Darwinisme tentang perang dan konflik telah dianalisis secara sangat mendetail dalam buku Darwinism,
War and History: The Debate over the Biology
of War from 'The Origin of Species' to the First World War karya
Paul Crook terbitan Universitas
Cambridge. Crook menjelaskan bahwa dengan menggambarkan perang sebagai “kebutuhan biologis”, Darwinisme membentuk baik pembenaran formal bagi Perang Dunia I, maupun bagi
berbagai kecenderungan suka perang dalam
fasisme. Crook menulis:
Wacana
Darwinis memberikan persetujuan pada sejumlah doktrin yang mengagungkan
kekuatan, status, elitisme, pendudukan dan penindasan. Berbagai perbedaan antara budaya, jender,
golongan, dan ras direduksi menjadi perbedaan biologis,
yang tertanam dalam diri manusia selama berabad-abad perjuangan selektif. Model konflik Darwin membangkitkan
perhitungan-perhitungan militeris dan rasis yang
memberikan persetujuan bagi perang dan perjuangan imperialis sebagai “kebutuhan biologis”.
Dari
berbagai asumsi (Darwinis) semacam itu timbullah beraneka konsekuensi buruk… .. Perang diberi dalih… . Sebagaimana telah didebat oleh
Frederick Wertham, jika
kekerasan “adalah
sifat alami manusia, dan jika kita semua bersalah, maka tidak seorang pun yang harus disalahkan. Dan
jika kita semua bertanggung jawab, maka tak
seorang manusia pun yang harus bertanggung jawab”… Perang Dunia I digambarkan sebagai usaha pemulihan
terakhir bagi mitologi kebinatangan, yang disandikan
dalam berbagai istilah teori genetika dan naluri dari neo-Darwinism.
Darwin
berpikir untuk menggunakan ungkapan Hobbes “perang alam” sebagai heading pada bab tentang perjuangan
hi dup dalam rancangan “buku
besarnya”, Natural Selection… .
Ia berbicara tentang makhluk hi dup yang “saling menguasai” satu sama
lain: “melalui
penggunaan terus menerus bahasa teramat dramatis yang menggambarkan kehidupan organisme di
alam sebagai semacam perang heroik, dengan
adanya pertempuran, kemenangan, kelaparan, kemiskinan dan pengrusakan, Darwin mencitrakan suatu pertarungan
besar untuk bertahan hidup sebuah
citra yang melingkupi buku Origin”.
No comments:
Post a Comment