Powered By Blogger

Wednesday 29 May 2013

TEOLOGI PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

 TEOLOGI PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

a)  Profil
Pierre Teilhard de Chardin lahir di daerah pedalaman Perancis pada tahun 1881. Ia belajar di sekolah Yesuit Jesuit college of Mongré, di mana ia meraih gelar sarjana muda bidang filosofi dan matematika. Pada tahun 1899 ia mengikuti pencalonan pendeta Yesuit, saat ia memulai karir sebagai ahli filosofi, teologi, dan spiritual, dan diangkat menjadi pendeta pada tahun 1911, di usia 30 tahun.

Teilhard mempelajari teologi di Hastings, Sussex, Inggris dari tahun 1908-1912. Di sana ia mensitesis pengetahuan ilmiah,filosofi, dan teologinya berdasarkan teori evolusi. Pada tahun 1912-1914 Teilhard bekerja di laboratorium paleontologi Musée National d'Histoire Naturelle di Paris, dan fokus pada mamalia pada periode tertier. di Ia menjadi paleontologi professional (peneliti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang telah punah) sehingga mengakibatkan perhatiannya tertuju pada asal-usul manusia. Teilhard terkenal karena maha karyanya The Phenomenon of Man (Le Phénomène Humain, 1955)  yang merefleksikan evolusi makhluk hidup khususnya manusia dari sisi iman Katolik. Ia pun terlibat dalam penemuan Manusia Peking pada tahun 1929.

b)  Pemikiran Teilhard de Chardin tentang Evolusi
Antara Agama dan Evolusi
Teori Evolusi Darwin yang diuraikan dalam karyanya tahun 1859, The Origin of Species (Asal-usul Spesies) dan pada tahun 1871 The Descent of Man (Keturunan Manusia) memberi para teolog tiga pilihan dasar. Pertama, mereka dapat menolak teorinya, pilihan yang hanya dipilih oleh sejumlah kecil saja seperti juga sekarang ini. Kedua, mereka dapat berusaha menyesuaikan ilmu evolusi dengan teologi Kristen tradisioanal. Ini menjadi pilihan mayoritas, walaupun ada yang lebih mempertahankan ortodoksi, ada juga yang kurang mempertahankannya. Ketiga, mereka dapat menafsirkan kembali teologi Kristen menurut teori evolusi. Teilhard de Chardin tertarik pada hubungan agama Kristen dengan pemikiran evolusi. Pandangan Teilhard de Chardin termasuk penafsiran kembali radikal yang paling terkenal. Teologinya mirip dengan Teologi Proses pihak Protestan.

Berbeda dengan pembahasan Darwin yang berhenti pada tataran fisiologis atau segi jasmani makhluk hidup, seperti perkembangan tulang dahi pada manusia mulai dari yang rata hampir datar hingga tegak seperti sekarang ini, karya Teilhard tidak hanya menyentuh apa yang jasmaniah, ketubuhan, tetapi sampai pada yang rohaniah. Bagaimana kesadaran manusia muncul, bagaimana kesadaran itu berevolusi terus sampai pada titik akhir, apa yang menjadi landasan evolusi itu, dan bagaimana keyakinan Teilhard bahwa penciptaan manusia tidak akan berakhir pada suatu kesia-siaan belaka, dibahas dalam maha karyanya itu.

Kesadaran
Teilhard membagi sejarah alam (baca: Bumi) dalam tiga tahap besar, yaitu:
1.  Geogenesis atau terjadinya bumi dengan segala unsur-unsur kimia di dalamnya
2.  Biogenesis atau lahirnya makhluk hidup di muka bumi
3.  Noogenesis atau lahirnya kesadaran pada makhluk hidup yang disebut manusia.

Biogenesis menghasilkan lapisan yang disebut sebagai biosfer yaitu tataran alam jasmani makhluk hidup yang bertubuh, sementara noogenesis membentuk lapisan noosphere atau kesadaran. Yang dimaksud sebagai kesadaran di sini adalah kesadaran dengan intensitas setara dengan kesadaran pada manusia. Dengan demikian evolusi bumi tidak hanya berhenti pada berkembangnya variasi makhluk hidup dari hewan bersel satu menjadi hewan bersel banyak dan kompleks seperti semut, gajah, atau manusia. Evolusi berlangsung pada tataran yang kasat mata, yaitu kesadaran. Oleh Teilhard, kesadaran disebut sebagai hakikat batin. Menurut Teilhard, kesadaran mempunyai tiga ciri utama, antara lain:
1.     Kemampuan memusatkan segala sesuatu pada sebagian saja dari dirinya. Proses mendengar dan melihat secara bersamaan adalah suatu kemampuan untuk memusatkan apa yang terjadi di luar diri kepada mata dan telinga.
2.     Kemampuan memusatkan diri pada dirinya sendiri secara teratur dan bertahap, misalnya dalam proses belajar.
3.     Kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua kesadaran lain yang mengelilingi dirinya. Hal ini terlihat misalnya dalam kesadaran kita akan kebersamaan dengan orang-orang lain.

Evolusi Fisik adalah Evolusi Kesadaran
Evolusi makhluk hidup dalam ranah jasmani, menurut Teilhard, berkaitan erat dengan evolusi kesadaran pada ranah rohani. Diyakininya bahwa kesadaran sudah ada pada tingkat hewan bersel tunggal, dan bahkan pada benda-benda mati hanya saja intensitas sangat rendah dibandingkan dengan kesadaran pada makhluk-makhluk tinggi. Semakin tinggi kompleksitas suatu makhluk semakin tinggi pula tingkat kesadarannya. Mengenai hal ini, banyak orang sulit mengerti. Teilhard mendasarkannya pada kenyataan yang diterima oleh banyak ahli biologi bahwa pionir pertama di bumi ini adalah semacam molekul-molekul besar yang membentuk struktur sel makhluk hidup.

Sebagai ilmuwan yang ikut serta dalam banyak ekspedisi arkeologi mulai dari Afrika, Burma, Jawa, hingga daratan China, Teilhard mengamati secara seksama perubahan sistem syaraf dan otak makhluk hidup khususnya manusia dari satu spesies ke spesies berikutnya. Ada dua unsur utama yang menjadi tolok ukur kemajuan. Yang pertama adalah sistem syaraf yang semakin sempurna dan terpusat, dan yang kedua adalah otak yang menjadi lebih besar dan rumit. Keduanya hanyalah perubahan pada tingkat fisiologis, namun baik otak maupun saraf adalah organ yang memungkinkan akan hadirnya kesadaran. Ini semakin menguatkan pendapatnya bahwa evolusi pertama-tama bukan perubahan dan perkembangan tataran jasmani tetapi tataran rohani, yaitu adanya kehendak yang kuat dari kesadaran untuk mencapai puncak evolusinya.

Perjuangan untuk tetap hidup dan seleksi alam seperti diterangkan Darwin memegang peran penting dalam evolusi, tetapi perkembangan kehidupan menuju bentuk yang lebih kompleks dari makhluk bersel tunggal menjadi bersel banyak hanya mungkin diterangkan dengan adanya hakikat batin yang terus berevolusi. Kesadaran atau hakikat batin itu tahu memilih mana yang paling menguntungkan untuk kelangsungan hidup dirinya dan kelangsungan hidup spesiesnya dari berbagai kemungkinan yang ada. Kesadaran harimau untuk bertahan hidup di tengah-tengah dunia hewan mendorongnya untuk memperkembangkan taring yang panjang dan kuku yang kokoh. Selain dipakai untuk pertahanan diri, kuku dan taring itu berguna untuk berburu demi kelangsungan hidupnya.

Pada spesies manusia, perkembangan fisik luaran tidaklah semaju hewan-hewan buas di padang belantara. Manusia tidak mengembangkan cakar, tanduk, hidung yang panjang, atau taring. Hakikat batinnya mengarahkan perkembangan pada penyempurnaan otak dan sistem syaraf sehingga kesadaran manusia melompat jauh meninggalkan makhluk-makhluk lainnya. Dalam pencapaian ini manusia mencapai lapisan yang lebih tinggi daripada sekadar biosphere, yaitu noosphere. Apa yang menjadi kelebihannya adalah kesadarannya tidak sekadar membantunya untuk melihat hal-hal di luar dirinya tetapi juga bisa melihat ke dalam dirinya dengan mempertanyakan siapa dirinya. Manusia adalah bagian dari kosmos yang mencapai puncak evolusi. Di dalam diri manusia inilah “kesadaran” kosmos melihat dirinya sendiri seperti memandang sebuah cermin untuk pertama kalinya.

Seperti halnya tanduk, cakar, taring digunakan untuk mempertahankan diri dan melangsungkan hidup, kesadaran manusia yang “lebih” yang disebut sebagai pikiran adalah alat yang membantu manusia untuk mempertahankan hidupnya serta kelangsungan spesiesnya. Dengan kemampuan inilah, seluruh gerak evolusi tahap demi tahap sejak bumi dijadikan menjadi berarti. Semuanya itu telah disiapkan untuk memungkinkan makhluk yang dinamakan manusia ini hadir.

Titik Omega
Sebagai puncak evolusi apakah manusia berhenti berevolusi? Teilhard mengatakan bahwa evolusi tidak berhenti. Karena kesadaran kosmos ini telah naik sampai ke kesadaran dalam diri manusia, maka ke arah masa depan, manusia mengikuti alur yang sama. Arahnya tidak kepada pengerusakkan pribadi manusia tetapi ke suatu super pribadi, yaitu suatu pemusatan yang lebih tinggi pada kerohaniannya. Teilhard menyebut sasaran evolusi ini adalah titik omega.

Sulit dibayangkan mengenai titik omega ini sesungguhnya, juga bila kita telah membaca maha karyanya. Pada saat ini, titik omega hanya bisa dibayangkan sebagai keadaan pribadi manusia di masa depan di mana kesadaran mencapai titik maksimumnya. Teilhard menyebutnya sebagai ego super pribadi di dalam kedalaman massa yang berpikir. Olehnya, manusia menjadi terhubungkan dengan sesamanya dan terjadilah keseimbangan yang sempurna dari persatuan umat manusia. Meski demikian pribadi manusia sebagai persona yang otonom tidak larut dalam persatuan sempurna ini melainkan mencapai puncak perkembangan yang sungguh-sungguh personal. Ini berbeda sekali dengan konsep dalam Hinduisme dan panteisme, di mana yang individual kehilangan personalitasnya dalam “lautan Semesta”.

Karena Titik Omega adalah horizon di masa depan yang menjadi tujuan seluruh evolusi kosmos, tentu ada energi yang menggerakannya. Energi itu adalah cinta kasih. Dalam bahasa ilmu alam, kata cinta kasih terasa konyol. Bagaimana cinta kasih dapat dibuktikan secara empiris? Justru menurut Teilhard cinta kasih itu nyata dalam setiap unsur yang membentuk alam semesta. Cinta kasih bukan hanya sebatas keterpautan/daya tarik antara makhluk dengan makhluk dan bukan khas dalam manusia saja. Cinta kasih  adalah ciri umum dari seluruh kehidupan dan karena itu ia mencakup segala jenis, tingkat, dan bentuk yang diambil oleh materi yang tertata (terorganisasi).

Pada tingkat manusia dan mamalia, cinta kasih mengambil bentuk yang mudah dikenali, tetapi semakin rendah atau sederhana suatu kehidupan, cinta kasih semakin sulit dikenali, hampir tak terlihat. Mengingat kehadirannya yang mudah dikenali pada kompleksitas materi yang semakin tinggi—yang merupakan kesatuan dari tingkat yang sederhana—dapatlah dipastikan bahwa kekuatan cinta kasih (potensi cinta kasih) sudah hadir dalam objek-objek dasar seperti molekul atau atom-atom. Bentuknya dapat hadir dalam gerak benda, lengkungan ruang waktu, gaya gravitasi benda-benda, dan semacamnya.

Karena itulah, cinta kasih tidak kurang dan tidak lebih adalah jejak-jejak yang secara langsung tertera pada pusat unsur-unsur oleh pertemuan alam semesta secara fisik (jasmani) pada dirinya sendiri. Cinta kasihlah yang mampu sedemikian rupa mempersatukan makhluk-makhluk hidup sehingga mengutuhkan dan menggenapkan mereka. Cinta kasihlah yang menggerakkan dan menggabungkan mereka dengan yang terdalam pada diri mereka.

Penghambat Evolusi
Bentuk evolusi adalah bahwa manusia terus menerus mengalami kemajuan dari waktu ke waktu, misalnya dalam segi intelektual, sosial, dan budaya. Semuanya mengarah pada titik Omega. Meski demikian, ada kekuatan yang menghambat gerak evolusi dan ini harus dihadapi. Hambatan itu, menurut Teilhard, adalah kekuatan penolakan dan materialisasi.

Penolakan terjadi ketika manusia yang berkesadaran belum mampu menyusup ke dalam daya tarik internal. Manusia menutup diri satu sama lain, enggan melihat kebersamaan sebagai sesuatu yang berharga bagi perkembangan dirinya. Perang dan ketidakpedulian adalah bukti nyata adanya penolakan. Agaknya ini tidak terjadi jika kebersamaan mereka membentuk suatu materialitas baru yang berdasar pada ideologi tertentu. Perlu diingat bahwa pada masa hidupnya, Teilhard menyaksikan kelahiran kelompok massa berideologi seperti komunisme, sosialisme, dan nasional sosialisme (Nazi). Tetapi perlu diingat materialitas tetap mengandung sisi buruk juga.

Materialisasi terjadi ketika suatu kesadaran pribadi masuk dalam proses penyatuan pada suatu kelompok persona-persona lain, dan menjadi massa manusia. Seperti dalam bentuk kehidupan pada umumnya, manusia, supaya menjadi sungguh manusia, haruslah ia menjadi legion. Artinya adalah menjadi satu dengan yang lain, membentuk sekelompok massa yang besar. Di sini individu kehilangan personalitasnya dan tergantikan dengan materi baru, yaitu ideologi. Gerakan massa seperti itu berakhir keterbelengguan individu dan lenyapnya personalitas. Jelaslah ini bukan sasaran evolusi menuju titik omega yang dimaksud oleh Teilhard.

Ada sejumlah usaha yang mendukung perkembangan evolusi. Pokok usahanya adalah melihat dengan cara baru bagaimana dorongan menuju persatuan manusia sebenarnya berjalan beriringan dengan perkembangan sisi personal individu manusia. Evolusi perlu dimengerti sebagai pendakian menuju kesadaran, dan kesadaran berkembang menjadi kemahasadaran. Di atas kita telah melihat bahwa salah satu sifat kesadaran adalah kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua kesadaran lain yang mengelilinginya. Secara empiris kita dapat mengalami bangunan kolektif manusia di mana setiap orang ikut ambil bagian dalam bangunan itu melalui ilmu pengetahuan, filsafat, dan semacamnya. Maka dari itu, pertentangan antara yang pribadi dan yang semua akan lenyap pelan-pelan andai saja struktur noosphere (lapisan kerohanian)  dipahami sebagai yang memusat bukan yang tertutup.

Dalam konteks evolusi kesadaran, ruang-waktu adalah sesuatu yang mengatasi manusia karena dari padanya dan di dalamnya manusia tumbuh dan berkembang mulai dari bentuk yang sederhana menuju yang kompleks. Karena itu, yang semesta, universal, kolektif (seperti ruang-waktu) itu, tumbuh bersama-sama dengan yang pribadi dan kelak mencapai puncaknya, yaitu titik omega.

Kristus dalam Segala sesuatu
Di akhir bukunya yang ditulis di China dari Juni 1938 hingga Juni 1940, Teilhard berpaling pada fenomena Kristus; Kristus dalam segala sesuatu.  Untuk memahami yang satu ini, ada proses bertahap yang panjang. Pada tahap pertama, kenyataan alam semesta, dari sudut kekuatan-kekuatan ilahi-alamiah disebabkan oleh kehendak ilahi yang dimengerti sebagai suatu energi khas yang merasuk, menghidupkan yang ada, serta mengarakan mereka pada tujuan akhir evolusinya. Pada tahap kedua, tindakan kreatif Tuhan sesungguhnya adalah unsur universal dari seluruh ciptaan. Tuhan adalah roh segala sesuatu yang bergerak, dan penyokong “keberadaan” (eksistensi) segala sesuatu. Ciptaan memuncak secara kualitatif dalam manusia dan menyempurnakan dirinya dengan cara kembali pada Tuhan. Pada tahap terakhir, kenyataan alam semesta adalah Tuhan-menjadi-Manusia, atau dengan kata lain titik Omega. Ini tidak lain adalah pengaruh hidup kosmis Kristus. St. Paulus dan St. Yohanes sudah mengatakan bahwa Kristus adalah pusat segala ciptaan.

Kristus dalam Segala Ciptaan harus dipahami pertama-tama dari sudut pandang ciptaan. Setiap ciptaan terbangun dari tiga unsur pokok; yang pertama adalah material ragawi individual  yang membangun tubuh (raga); yang kedua adalah material rohani individual yang membangun jiwa; dan yang ketiga adalah sesuatu yang terkait dengan Kristus. Sesuatu ini adalah semacam relasi atau keterkaitan dengan Kristus yang bagi setiap individu memberikan personalitas paripurna serta nilai ontologis seutuhnya. Dengan demikian setiap ciptaan ditarik dan terfokus pada Kristus dan dengan demikian mendapatkan kepenuhan di dalam-Nya.

Mengapa ada penambahan unsur yang ketiga? Karena Kristus adalah pusat segala ciptaan, dan Dialah yang memberi hidup kepada seluruh ciptaan di alam semesta ini. Dalam rangka eskaton, Kristus kosmis ini sudah hadir di dunia tetapi masih terus ada dalam suatu proses panjang perkembangan dalam dunia ini, entah dipahami dalam rangka individu-individu ataupun dalam rangka suatu kesatuan rohani manusia.

Beberapa pandangan Teilhard de Chardin tidak disenangi atasannya dari ordo Yesuit. Ia terus-menerus dilarang menerbitkan tulisan-tulisan teologis dan filsafatnya, dan ia patuh. Ia juga tidak diijinkan menjadi guru besar di College de France, suatu kehormatan besar. Tetapi pada waktu meninggalnya di tahun 1955 teman-temannya mulai menerbitkan karyanya. Yang terkenal adalah Gejala Manusia, Lingkungan Ilahi dan Masa Depan Manusia, yang diterbitkan dalam bahasa Perancis dari tahun 1955 sampai 1959. Pada masa Konsili Vatican Kedua, ketika terdapat sikap terbuka yang baru terhadap pemikiran modern, de Chardin menjadi sangat populer di kalangan Katolik-Roma. Akan tetapi popularitasnya kemudian memudar. Pemikirannya juga diterima positif oleh beberapa pemikir non Kristen. Pemikir agnostic Julian Huxley menyumbangkan Kata Pendahuluan yang simpatik pada terjemahan Inggris dari bukunya Gejala Manusia. Teilhard De Chardin melihat evolusi sebagai hukum keberadaan semesta alam, begitu juga pandangan-pandangannya mengenai Kekristenan disesuaikan. Ini menghasilkan penafsiran kembali yang menarik dari banyak tema Kristen, sebagai berikut:
1) Penciptaan dilihat sebagai suatu proses evolusi. Dosa diinterpretasikan kembali sebagai ketidaksempurnaan yang tak terelakkan yang selalu menyertai proses evolusi. Evolusi dan kesempurnaan tidak cocok, sama seperti ide lingkaran berbentuk segi empat tidak cocok. Kejahatan harus dilihat sebagai hasil sampingan dari evolusi. Seperti diamati tepat sekali oleh Huxley, “para teolog mungkin akan menganggap bahwa pembahasannya tentang dosa dan penderitaan tidak memadai atau sekurang-kurangnya tidak ortodoks.”
2) De Chardin tidak menolak pandangan tradisional tentang Kristus yang historis sebagai Anak Tuhan yang menjelma. Tetapi ia lebih menitikberatkan Kristus yang kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh Kristus yang mistik berkembang di dalam kerangka evolusi manusia. Penebusan harus dilihat sebagai proses evolusi ini.
3) Sejarah manusia berkembang ke arah klimaks kalau semua disempurnakan dalam Kristus. Ini oleh de Chardin disebut dengan istilah “titik Omega.”
4) Semuanya ini meunjukkan konsep baru tentang Tuhan sebagaimana dalam Teologi Proses. Tuhan harus dilihat bukan sebagai tak berubah dan melebihi batas-batas dunia, tetapi aktif dan terlibat di dalam proses evolusi, bahkan tidak terlepas darinya.

Teilhard de Chardin berusaha keras menghubungkan kekristenan dengan pemikiran evolusi. Cita-citanya dapat dibandingkan dengan usaha Agustinus yang menghubungkan Kekristenan dengan Neo-Platonisme atau dengan usaha Thomas dari Aquino dengan ajaran Aristoteles. Akan tetapi de Chardin memberi tempat yang terlalu besar pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak. Ia sendiri melihat pemikirannya sebagai percobaan dan dimaksudkan untuk memperluas pandangan, bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tuntas. Boleh jadi ia dapat disamakan dengan Origines, pelopor besar dan pemikir yang gagasan-gagasannya tidak dapat diterima begitu saja.

Analisa Pemikiran Teologi Pierre Teilhard de Chardin
Berdasarkan penjelasan di atas tampaklah bahwa Teilhard de Chardin memfokuskan pemikiran teologinya di bidang Teologi Dogma, khususnya bidang Antropologi Teologis, yaitu membahas tentang siapakah manusia menurut rencana Tuhan Pencipta. Dia juga membahas di cabang Kristologi, yaitu membahas apa dan siapa Yesus Kristus. Dia menghubungkan kekristenan dengan teori evolusi. Dia memberikan penafsiran baru teologi Kristen menurut teori evolusi, misalnya tentang penciptaan, dosa, kristus, sejarah manusia, dan Tuhan.

No comments:

Post a Comment