Powered By Blogger

Saturday 4 May 2013

FASISME: KEMBALINYA PANGANISME


FASISME: KEMBALINYA PANGANISME

Pada awal bab ini, kita telah mengidentifikasi fasisme sebagai sebuah sistem kekerasan yang muncul dalam masyarakat pagan. Penyebab mendasar dari kecenderungan kekerasan dalam fasisme berasal dari filsafat "pemuj aan kekuatan", bahwa kekuatan adalah kebenaran. Si kuat berhak untuk naik ke puncak dan menghancurkan si lemah. Kaum fasis sangat mengagumi si kuat, sebaliknya membenci dan meremehkan si lemah. Prinsip-prinsip dasar dari filsafat sesat ini adalah mengobarkan peperangan, menumpahkan darah, kekejaman dan kebengisan.

Berlawanan dengan mentalitas menyimpang yang muncul di Sparta, di arena-arena kekaisaran Roma, dan pada suku-suku bangsa pagan yang biadab di Eropa Utara ini, ada sebuah moralitas yang begitu indah yang diturunkan Tuhan kepada kita melalui agama. Sebagaimana diperlihatkan sepanjang sejarah oleh para nabi dan kitab-kitab suci seperti Taurat, Injil dan Al Quran, yang berbicara bukanlah "kekuatan", melainkan "kebenaran". Umat manusia harus dinilai dari apakah ia memenuhi kebenaran yang diturunkan Tuhan ataukah tidak, bukan dari kekuatan mereka. Yang kuat diwajibkan berlemah lembut dan belas kasihan kepada yang lemah, bukannya menghancurkan dan menindas mereka. Kewajiban manusia adalah untuk melindungi yang lemah dan bermurah hati serta mencintai perdamaian, bukannya bersikap kejam dan bengis.

Fasisme modern, yang berakar di abad ke-19, merupakan produk ideologi-ideologi yang ingin melawan kaidah-kaidah moralitas yang diturunkan kepada umat manusia melalui agama, dan menggantikannya dengan budaya pagan yang rasis, haus darah dan kejam. Kecenderungan neo-pagan, yang dimulai dengan Revolusi Prancis, dibentuk oleh Friedrich Nietzsche, dan diusung oleh ideologi Nazi. Para evolusionis seperti Charles Darwin, Francis Galton dan Ernst Haeckel berusaha keras memberikan dukungan "ilmiah" bagi paganisme baru ini, dengan mengingkari keberadaan Tuhan, dan berupaya untuk memperlihatkan bahwa seluruh kehidupan terdiri atas "perjuangan untuk bertahan hidup", dan dengan demikian memberi pembenaran bagi rasisme.

Sejarawan Amerika, Gene Edward Veith, menyimpulkan perkembangan ini dalam bukunya Modern Fascism: Liquidating the Judeo-Christian Worldview sebagai berikut: "Fasisme adalah nostalgia dunia modern atas paganisme… Ia adalah sebuah pemberontakan kultural yang canggih melawan Tuhan."

Nazisme jelas-jelas memperlihatkan fakta tersebut. Kaum Nazi membela paganisme, baik selama tahap awal maupun saat mereka meraih kekuasaan pada tahun 1933. Mereka menjauhkan masyarakat Jerman dari agama Kristen, dan berusaha mengalihkannya kepada kepercayaan pagan.

Bahkan sejak tahun 1920-an, Alfred Rosenberg, ideolog Nazi terkemuka, telah menyatakan bahwa agama Kristen tidak akan mampu membangkitkan energi spiritual yang memadai di bawah Kekaisaran K etiga yang dibangun oleh kepemimpinan Hitler, dan bahwa rakyat Jerman harus kembali pada agama pagan kuno. Menurut Rosenberg, saat memegang kekuasaan, kaum Nazi harus mengganti semua simbol agama Kristen di gereja-gereja dengan swastika, salinan Mein Kampf, dan pedang-pedang yang melambangkan keperkasaan Jerman. Hitler terpengaruh oleh pandangan-pandangan Rosenberg ini, meskipun ia menahan diri untuk tidak
menerapkan apa yang disebut agama Jerman karena ia takut pada reaksi rakyatnya nanti.

Namun, praktik-praktik neo-pagan diujicobakan selama jaman Nazi. Tak lama setelah Hitler berkuasa, hari besar dan perayaan kaum Kristen diganti dengan hari besar dan perayaan pagan. "Ibu Bumi" atau "Ayah Langit" disebut-sebut dalam upacara-upacara pernikahan. Pada tahun 1935, doa-doa Kristen di sekolah dihentikan, dan kemudian semua pelajaran mengenai agama Kristen dilarang.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku The Pink Swastika, yang membahas ideologi-ideologi pagan Nazi (dan berbagai kecenderungan homoseksual), "kebangkitan kembali paganisme Yunani kuno menj adi sebuah aspek mendasar identitas Nazi".

Buku itu menekankan fakta adanya kecenderungan homoseksual dalam gerakan pagan yang membentuk dasar-dasar bagi identitas Nazi. Ia juga memberi contoh menarik tentang hubungan Nazi dengan budaya pagan Yunani:

Siapakah "para intel ektual" yang memopul erkan fasisme Nietzschean di Jerman ini? Stefan George, salah satu penyair Jerman terpopuler saat itu, adalah seorang pencabul bocah laki-laki dan "contoh panutan" bagi Komunitas Istimewa… "George dan para muridnya" menulis bahwa Oosterhuis dan Kennedy membangkitkan kembali konsep Holderlin yakni Griechendeutschen (Jerman Hellenis)… Buku terakhirnya (Stephen George), Das neue Reich (Kerajaan Baru) yang diterbitkan pada tahun 1928, "meramalkan sebuah jaman di mana Jerman akan menjadi Yunani kedua". Pada tahun 1933, saat Hitler berkuasa, ia menawari George posisi sebagai ketua umum Akademi Sastra Nazi.

Di bawah kekuasaan Nazi, banyak pelaksanaan kebijakan yang bertujuan untuk menegakkan kebangkitan kembali budaya pagan. Anak-anak sekolah diajari apa yang disebut dengan "Sejarah Jerman pra-Kristen yang Gemilang", dan berbagai ritual serta upacara warisan budaya pagan diadakan di seluruh Jerman. Semua pertemuan Nazi dilakukan dalam bentuk upacara tradisional pagan. Hampir tidak ada perbedaan antara rapat-rapat umum Nazi, yang diselenggarakan di bawah bayang-bayang obor yang menyala, di mana slogan-slogan penuh dengan kebencian dan permusuhan diteriakkan dan musik pagan Wagner dimainkan, dengan upacara-upacara sesat yang dilakukan ribuan tahun lalu di kuil-kuil dan altar-altar pagan:.

Untuk membangun kembali paganisme, kaum Nazi juga memanfaatkan seni. Berbagai konsep dan lambang Yunani kuno mulai menonjol di bawah kekuasaan Nazi, dan banyak patung seperti patung Y unani dibuat, yang menggambarkan pria dan wanita kuat dari ras Aria. Hitler mengimpikan sebuah "ras unggul" akan terbentuk melalui egenetika, dan sebuah "kerajaan dunia" yang kejam dan penindas akan di dirikan berdasarkan model Sparta. Ungkapan "Reich Ketiga" merupakan penegasan keyakinan akan impiannya ini. (Hitler berusaha mendirikan kerajaan Jerman ketiga dan terbesar setelah dua kerajaan berdiri sebelumnya). K arena impiannya ini, 55 juta orang tewas dalam Perang Dunia II, konflik paling berdarah yang pernah disaksikan dunia. Genocide yang dilakukan Nazi terhadap beragam kelompok etnis seperti Yahudi, Gipsi, dan Polandia, sebagaimana juga para tahanan perang dari bangsa-bangsa lain, merupakan kekejaman yang belum ada tandingannya dalam sejarah.

Dalam bab berikut, kita akan memahami dalam kondisi-kondisi seperti apakah fasisme dapat meraih kekuasaan, dan yang dilakukannya setelah itu.

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuknya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm, 53: 23)

No comments:

Post a Comment