Powered By Blogger

Saturday 4 May 2013

KRISIS SOSIAL: LAHAN SUBUR BAGI FASISME


KRISIS SOSIAL: LAHAN SUBUR BAGI FASISME

Terdapat banyak persamaan pada latar belakang sosial dan psikologis di mana 
negara fasisme terbentuk. Sebagian besar negara-negara tersebut kalah dan rusak 
parah dalam Perang Dunia I, hingga rakyatnya sangat lemah dan letih, banyak yang 
kehilangan suami, istri, anak-anak dan orang-orang yang mereka cintai dalam perang. 
Negara-negara tersebut juga tertimpa kesulitan ekonomi, politik, dan perasaan 
meluas bahwa bangsa mereka mengalami keruntuhan. Rakyat menderita secara 
material; partai-partai yang beragam itu tak mampu mengatasi masalah-masalah 
bangsa, di samping berkelahi di antara mereka sendiri.

Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting 
dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas akibat 
perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian terbesar dari 
populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan oleh resesi ekonomi 
dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia menderita kerugian besar 
dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil dari tujuan mereka. Seperti 
halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang, bangsa Italia merindukan untuk 
memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka sebelumnya.

Sebenarnya, ini adalah sentimen yang telah membangun kekuatan sejak akhir 
abad ke-19. Italia modern bernostalgia dengan kebesaran Kekaisaran Romawi, dan 
merasa berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia merasa bersaing dengan 
kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk mengangkat dirinya ke 
kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya". Karena pengaruh cita-cita ini, 
bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris Raya, Prancis dan Jerman. 

Krisis sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam pembentukan 
Nazisme di Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I. Pengangguran dan krisis 
keuangan menambah kekecewaan akibat kekalahan itu. Inflasi meningkat hingga 
tingkat yang jarang dapat disamai. Anak-anak kecil bermain dengan uang kertas 
bernilai jutaan mark, karena uang, yang merosot nilainya dalam hitungan jam, 
menjadi tak lebih dari selembar kertas nilainya. Bangsa Jerman ingin memulihkan 
harga diri mereka yang hilang dan kembali ke taraf hidup yang lebih baik. Dengan 
janji untuk memenuhi harapan-harapan seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh 
dukungan.

Spanyol pra-fasis juga menunjukkan kesamaan dengan negara-negara ini. 
Hilangnya koloni-koloni Spanyol di kedua sisi benua Amerika pada awal abad ke-19 
telah membuat harga dirinya merosot tajam. Pada awal abad ke-20, Spanyol sudah 
setengah runtuh. Perekonomiannya jatuh, dan hak-hak istimewa yang didapat oleh 
kaum aristokrat membuka jalan bagi ketidakadilan. Bangsa Spanyol mengenang masa
lalunya yang agung dan kuat dengan kerinduan mendalam.

Negara lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada masa 
Jepang pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan 
perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu 
menentukan bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu, 
perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat 
yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka 
perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi 
ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan 
pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami 
peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas 
masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas 
membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa kejayaan 
dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan awal bagi 
rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.

Kita juga tak boleh mengabaikan ancaman komunisme, yang saat itu 
mengancam untuk mengambil alih seluruh dunia. Bisa jadi sejumlah bangsa 
menyerahkan diri pada rezim-rezim fasisme agar tidak menjadi korban ideologi yang 
brutal, kejam dan penindas itu, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, 
karena percaya bahwa fasisme "lebih baik di antara dua kejelekan".

No comments:

Post a Comment