Powered By Blogger

Monday 6 May 2013

MORAL FASIS BERTENTANGAN DENGAN MORAL QURANI


MORAL FASIS BERTENTANGAN DENGAN MORAL QURANI

Sudah sangat jelas bahwa fasisme hanya membawa pada pertumpahan darah dan penderitaan bagi umat manusia. Sejarah abad ke-20 menjadi buktinya. Namun, dengan segala fakta ini, tetap ada orang-orang di berbagai belahan dunia yang bersimpati terhadap fasisme. Gerakan-gerakan fasis di masa kini berkembang dengan cepat, dengan nama neo-Nazi dan holigan. Tindakan-tindakan hukum terhadap gerombolan-gerombolan fasis ini sama sekali tidak efektif. Negara-negara kuat seperti Inggris dan Jerman, tak mampu memberangus mereka. Ini karena mereka mempergunakan cara-cara yang tidak efektif. Mustahil mereka bisa mengendalikan dan menertibkan orang yang dibesarkan tanpa pengetahuan agama, yang membuat mereka menjadi sangat tidak bertanggung jawab, tidak bisa diatur dan agresif. Satu-satunya jalan untuk menghentikan agresi dan terorisme yang terjadi di berbagai negara saat ini, adalah menanamkan moralitas yang diajarkan agama, dan bukan ideologi-ideologi pagan atau ateistik yang merupakan akar fasisme.

Sebagaimana akan dijelaskan dalam buku ini, fasisme bertentangan dengan Perdamaian, persahabatan, persaudaraan, mufakat, dan toleransi. Sedangkan pokok ajaran agama, adalah moralitas yang baik. Oleh karena itu, fasisme adalah ideologi yang sangat jauh berbeda dengan agama.

Sebagai contoh, fasisme menyetujui rasisme. Golongan fasis selalu mengklaim bahwa ras atau bangsa mereka lebih mulia daripada yang lain, dan menggunakan klaim itu sebagai alasan untuk merampas wilayah dan kekayaan bangsa lain. Klaim rasis ini mengaki batkan peperangan, pembunuhan, dan pembersihan etnis yang tak terhitung banyaknya. Sementara itu di lain sisi, Al Quran mengajarkan bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh ras, warna kulit atau karakteristik fisik lainnya, melainkan berdasarkan pada kedekatan pada Tuhan dan kehidupan yang penuh dengan keimanan dan akhlak yang baik. Al Quran menjelaskan tentang kebenaran hal ini:

“Hai manusia, sesungguhnya K ami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. 49:13)

Dalam ayat lain, Allah menyebut rasisme sebagai kemarahan fanatis zaman Jahiliyah, dan menyatakan bahwa Dia akan melindungi orang-orang beriman dari ideologi provokatif ini:

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 48:26)

Sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut, Allah telah menciptakan manusia dengan ras dan kelompok etnis yang berbeda-beda, sehingga mereka saling berinteraksi satu sama lain dalam kedamaian, persaudaraan dan toleransi. Dengan kata lain, berbeda dengan pemikiran fasis, ras dan etnis yang berbeda bukanlah alat bagi konflik Darwinis Sosial dan perjuangan untuk bertahan hidup. Tidak ada superioritas biologis di antara ras-ras dan etnis dan yang berbeda. Tuhan memandang kemuliaan manusia hanyalah dari kedekatan dengan-Nya, dan hidup dengan iman dan akhlak. Karenanya, jika manusia mengikuti Al Quran tidak akan ada konflik ras, warna kulit, atau suku bangsa, ataupun klaim tentang keunggulan ras yang dapat menemukan tempat subur untuk tumbuh.

Sejarah mengungkapkan bahwa ―kemarahan fanatis tersebut adal ah penyakit yang berasal mula dari masyarakat pagan atau ateis. Di sana senantiasa terdapat klaim keunggulan ras, asal usul etnis, atau suku bangsa, serta konflik yang diakibatkannya. Orang-orang ini selalu berusaha menentukan keunggulan mereka dari ciri-ciri fisik seperti itu. Namun Al Quran menyatakan, Semua kekuasaan milik Allah. (QS. 10: 65). Manusia diciptakan oleh Tuhan tanpa ada perbedaan di antara ras atau warna kulit, tetapi sebagai makhluk tidak berdaya yang sangat tergantung kepada Tuhan. Mereka akan mati pada suatu ketika. Jadi, tidak ada pribadi atau masyarakat yang berhak untuk mengklaim keunggulan atas yang lainnya. Pada kematian, klaim-klaim ini akan terbukti nihil. Sebuah ayat suci tentang subjek Hari Penghitungan mengungkapkan fakta ini:

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.“ (QS. Al Muminuun, 23: 101)

Sebagaimana dijelaskan ayat tersebut, pada saat kematian, Hari Penghitungan, atau hari akhirat, konsep-konsep seperti ras, warna kulit, dan asal - usul etnis tidak lagi penting. Satu-satunya hal yang penting saat itu adalah kedekatan kepada Allah dan apakah seseorang mendapatkan belas kasihan-Nya. Pada hari itu, tidak seorang pun berkesempatan untuk mempertanyakan ras atau suku bangsa seseorang. Orangorang yang saat ini tergila-gila dengan kesukuan mereka, yang karenanya sampai membunuh orang lain, dan bahkan membakar mereka hidup-hidup, akan memahami betapa tak berdaya dan tergantungnya mereka, apa pun ras mereka.

Ciri khas fasisme lainnya yang membedakan adalah kecenderungannya akan kekerasan. Kaum fasis memandang kekerasan, penggunaan kekuatan kasar, perang dan konflik sebagai konsep-konsep keramat. Hal ini tidak mungkin ada pada orang yang hidup menurut Al Quran. Misalnya, seorang Muslim disuruh untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Allah berfirman tentang ini dalam salah satu ayat suci:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. “ (QS. 41: 34)

Tidak mungkin bagi seseorang yang berperilaku sesuai dengan ayat di atas untuk bersimpati kepada logika dan metode fasis, atau untuk menunjukkan kecenderungan sedikit pun kepada fasisme.

Ciri lainnya dari moralitas fasis adalah kemampuannya untuk mengorbankan ribuan orang tidak bersalah tanpa ragu-ragu demi tujuan-tujuan yang mereka anggap suci. K aum fasis, yang berpendapat bahwa ― tujuan menghalalkan cara, melakukan segala jenis kebrutalan untuk sebuah tujuan yang jelas-jelas tak dapat dibenarkan. Bagaimanapun, Al Quran menyebutkan bahwa menyerang orang lain secara tak adil dan membunuh orang yang tidak bersalah adalah kejahatan besar. Menurut fasisme, nyawa manusia tidak ada nilainya, sedangkan agama memandang bahkan nyawa dari satu orang pun sangat penting. Allah memerintahkan:

“…barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maaidah, 5: 32)

Mengingat pembunuhan seorang yang tak bersalah sama artinya dengan membunuh keseluruhan umat manusia, jelaslah betapa besarnya dosa dari semua pembunuhan, pembantaian, dan pembersihan etnis yang dilakukan oleh kaum fasis. Allah mengungkapkan apa yang menunggu kaum fasis yang kejam itu di hari akhirat.

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.“ (QS. 42: 42)

Telah disebutkan juga bahwa kaum fasis sangat pemanas, sehingga mereka gampang dihasut, dibuat marah, dan dipanas-panasi untuk melakukan kekerasan. Kelompok-kelompok fasis cenderung beroperasi dalam bentuk kelompok jalanan, terpancing amarah bahkan oleh kejadian kecil, dan segera terlibat dalam perkelahian karena sedikit provokasi. Sudah jelas, kekerasan yang dipicu secara emosional ini sama sekali bertentangan dengan perintah Al Quran. Al Quran membicarakan tentang orang-orang yang cerdas, berwatak halus dan moderat yang dapat menahan diri jika marah. Tidak ada yang dapat membuat mereka agresif atau marah:

“Orang-orang yang menafkahkan , baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.“ (QS. Ali „Imran, 3:134)

Kecenderungan lainnya yang dimiliki kaum fasis adalah mentalitas kelompok. Banyak orang muda yang jahil dan tak terdidik di dalam kelompok fasis. Mereka bahkan tidak tahu mengapa mereka melakukan sesuatu, terbawa-bawa oleh semacam emosi histeris di bawah pengaruh massa, slogan-slogan, dan lagu-lagu perang. Mereka terbawa oleh mentalitas gerombolan dan terlibat dalam kejahatan kelompok yang tak akan pernah mereka lakukan dari keinginan bebas mereka sendiri. Mereka dapat menyerang seorang asing tanpa alasan, atau menjarah sebuah tempat kerja. Kebanyakan orang yang terlibat dalam berbagai aksi demikian melakukannya
karena mereka telah menj adi bagi an dari gerombolan, salah satu saja dari psikologi kelompok, karena kemauan dan kesadaran mereka lemah. Tetapi Allah memperingatkan manusia akan penyimpangan oleh mayoritas.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (QS. Al Anaam, 6: 116)

Karena itulah, alih-alih mengikuti orang banyak, orang yang beriman bertindak cerdas dan sesuai dengan kesadaran mereka yang lebih baik. Hal ini hanya mungkin dengan menjalani hidup menurut Al Quran.

Perbedaan lainnya antara agama dan fasisme adalah persyaratan Al Quran akan perdamaian dan persetujuan bersama. K onsep-konsep ini bertolak belakang dengan fasisme, yang menganjurkan agresi, penaklukan, perang, kekuatan kasar, dan penindasan. Allah melarang semua ini, yang disebutkan di dalam Al Quran sebagai kekejaman. Sebaliknya, Allah menyuruh manusia untuk hidup sesuai dengan apa yang baik dan membina silaturahmi di antara sesama.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa, 4: 114)

No comments:

Post a Comment