Powered By Blogger

Saturday 4 May 2013

PENEKANAN UNTUK MELENYAPKAN PEMIKIRAN YANG BERTENTANGAN


PENEKANAN UNTUK MELENYAPKAN PEMIKIRAN YANG BERTENTANGAN

Sebuah contoh menarik tentang usaha-usaha fasisme untuk mencuci otak masyarakat adalah upacara-upacara pembakaran buku pada Jerman Nazi.

Hal ini pertama kali dilakukan pada 10 Mei 1933. Para mahasiswa dari berbagai universitas Jerman, yang sebelumnya telah diakui sebagai yang terbaik di dunia, berkumpul di Berlin dan kota-kota Jerman lainnya, dan membakar buku-buku yang berisi pemikiran-pemikiran “non-Jerman”. Ribuan buku dibakar, disertai penghormatan Nazi, lagu-lagu dan musik kemiliteran.

Di Berlin, Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels berpidato di depan para pelajar:

Terobosan revolusi Jerman telah membuka kembali jalan bagi Jerman…Manusia Jerman masa depan tidak hanya akan menjadi seorang manusia buku, melainkan seorang manusia berkarakter. Kepada tujuan inilah kami ingin mendidik kalian. Sebagai pemuda, memiliki keberanian untuk menghadapi tatapan tanpa belas kasihan, mengatasi rasa takut akan kematian, dan memperoleh kembali rasa hormat terhadap maut demikianlah tugas dari generasi muda ini. Dan dengan demikian di saat-saat tengah malam ini kalian bertindak baik dengan melemparkan roh-roh jahat masa lalu ke dalam api. Ini adalah sebuah tindakan yang simbolik, kuat, dan hebat  tindakan yang seharusnya membuktikan hal - hal berikut ini kepada dunia Di sinilah pondasi intelektual dari Republik (Demokratik) November runtuh ke tanah, tetapi dari rongsokan ini bangkitlah burung phoenix dari sebuah jiwa baru akan dengan penuh kejayaan…

Negara fasis hanya memperbolehkan ideologinya sendiri yang diajarkan. Di luar itu, tak seorang pun boleh memikirkan yang lain, jika tidak, dia akan dihukum, buku-bukunya dibakar, atau dibungkam dengan cara-cara lainnya. Mereka yang tak setuju dengan ideologi ini diintimidasi sampai dia mau menerimanya.

Oleh karena itu, sistem pendidikan dibuat untuk sepenuhnya melayani negara fasis. Perubahan sepenuhnya sistem pendidikan digariskan dalam pasal ke-20 prinsip-prinsip dasar Sosialisme Nasional. Sejak sekolah dasar, anak-anak dibesarkan tanpa nilai-nilai etika atau rasa kemanusiaan, tanpa kasih sayang atau belas kasihan sama sekali. Mereka dididik dengan prinsip-prinsip bahwa yang kuat adalah yang paling benar, dan bahwa penggunaan kekuatan penting untuk mencapai tujuan. Lembaga yang diciptakan untuk anak-anak Jerman berusia antara 10 hingga 18 tahun dikenal dengan Hitlerjugend, atau Pemuda Hitler. Semua yang bergabung dengan Pemuda Hitler diperingatkan bahwa mereka harus benar-benar waspada dalam kehidupan sehari-hari, dan harus memata-matai semua orang yang menentang Nazi. Sebagian dari mereka bahkan melaporkan orang tua mereka sendiri. Pemuda Hitler tumbuh terus menerus, dan pada tahun 1935, 60% pemuda menjadi anggotanya.

Taktik lain yang digunakan oleh semua rezim fasis adalah menyembunyikan sejarah yang benar dari masyarakat, dan menggantikannya dengan pengajaran sebuah versi khayalan yang mereka tulis sendiri. Tujuanmya adalah untuk membangun sebuah budaya di mana pemikiran-pemikiran kaum fasis dapat berkembang dengan pesat, yang memungkinkan mereka menjadi lebih populer dan lebih kuat mengakar dalam masyarakat. Pemahaman tentang sejarah, juga filsafat, sepanjang proses pendidikan diawasi ketat oleh negara fasis. Karena dididik dengan sistem itu, rakyat sama sekali tak menyadari bahwa mereka sedang dicuci otak dalam ideologi fasis, dan bahwa semua pemikiran lain disensor sepenuhnya.

Berhala-Berhala Fasisme: Pemimpin yang dikeramatkan

Bagian paling penting dalam fasisme adalah sang pemimpin, yang namanya ditonjolkan dalam setiap aspek kemasyarakatan. Rezim Hitler, Mussolini dan Franco adalah contoh nyata hal ini. Gelar-gelar yang digunakan para diktator ini, "Der Führer," "Il Duce", atau "El Caudillo", semuanya menyiratkan hal yang sama "Pemimpin yang mengetahui segalanya". Dan, memang, keti ganya menjalankan pemerintahan masing-masing sepenuhnya berdasarkan keinginan-keinginan mereka sendiri, sementara kolega-kolega terdekat dan perwira-perwira paling senior mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Fasisme melekatkan sebuah kekuatan yang nyarIs keramat kepada sang pemimpin, agar ia dapat mempertahankan daya tariknya dan meningkatkan penerimaannya di hati rakyat. Sang pemimpin adalah penguasa seluruh negeri dan rakyatnya, yang digambarkan sebagai bagian dari dirinya. Seorang pemimpin Sosialis Nasionalis, Herr Spaniol, berpidato di Saarbruecken pada bulan Januari 1935:

Aku tidak percaya bahwa Gereja-gereja akan terus eksis dalam bentuknya yang sekarang. Di masa depan agama akan bernama Sosialisme Nasional. Nabinya, pausnya, Yesus-nya, akan bernama Adolf Hitler.

Dengan cara serupa, Mussolini dipandang di Italia sebagai seorang dengan kemampuan istimewa, suatu makhluk unggul, yang dipilih dan diciptakan demi tugas yang di embannya. Perkataan dan pernyataan Mussolini dinamakan "Dekalog Fasis", dan yang kedelapannya: “Duce selalu benar”, menjadi slogan yang terdengar di seluruh Italia pada tahun 1920-an dan 1930-an. 39 Tahun 1935, keanggotaan organisasi pemuda fasis, Opera Nationale Balilla, diwajibkan kepada seluruh pemuda Italia. Para pemuda Italia yang menj adi anggota Balilla bersumpah untuk "… percaya kepada Romawi yang abadi… kepada kejeniusan Mussolini, kepada Fasisme Bapak Suci kita."

Cara lain yang digunakan untuk melukiskan pemimpin fasis sebagai keramat adalah dengan menempatkan gambar-gambar dan patung-patungnya di seluruh penjuru negeri. Hal ini memiliki efek psikologis yang mendalam terhadap rakyat, yang terus-menerus merasa diri mereka berada dalam kekuasaan dan pengawasannya, dan bahkan, bahwa dia selalu mengamati mereka. Jawatan propaganda resmi milik Mussolini biasanya mengarahkan pers bagaimana foto Mussolini akan dicetak, kapan, dan foto yang mana, di halaman berapa, dalam susunan seperti apa, dan dalam ukuran berapa. Dalam foto-foto ini, "Duce" tampil di hadapan rakyatnya dengan pose-pose yang megah: sambil mengacungkan pedang, menekankan perkembangan ekonomi di wilayah panen, menyapa kaum fasis muda, sebagai seorang pekerja atau olahragawan yang tak kenan lelah.

Di setiap kesempatan, Mussolini ditampilkan sebagai pahlawan rakyat. Halaman-halaman koran dihiasi foto-fotonya sedang menerbangkan pesawat, berkuda melompati rintangan, berenang, bermain ski di pegunungan Alpen, bermain anggar, memakai kostum terjun payung, dan lain-lain.

Propaganda ini begitu efektifnya hingga teman-teman lamanya pun langsung berdiri menghormat setiap kali bertemu dengannya. Jadi, Mussolini dapat memuaskan egonya yang sangat besar, dengan tidak mempersilakan teman-teman lamanya untuk duduk, melainkan membiarkan mereka terus berdiri selama berjam-jam.

Metode-metode yang digunakan untuk menggambarkan pemimpin fasis sebagai manusia super, selama masa Hitler dan Mussolini berkuasa, juga digunakan oleh kaum fasis modern di masa kita. Diktator fasis di Irak, Saddam Hussein, adalah sebuah contoh. Selama bertahun-tahun, jalan-jalan di Irak dipenuhi oleh gambar-gambar Saddam yang berukuran besar. Dan, di dalamnya, dia diperlihatkan dalam beraneka peran yang berbeda sebagai pemimpin rakyatnya: sebagai petani di desa, pekerja di pabrik, sebagai tentara di barak militer. Dia membuat kehadirannya terasa di mana-mana, dalam upaya untuk memberi kesan sebagai "seseorang yang melihat dan mengetahui segala hal", dengan kata lain, seorang yang keramat.

No comments:

Post a Comment