STUDI EMPIRIK PERTAUTAN AGAMA DAN EKONOMI
Terintegrasinya
sistem nilai agama terhadap konteks kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dalam studi sosiologi adalah
seperti yang pernah dilakukan oleh Max Weber. The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism
(1904/1905), merupakan hasil kajiannya yang cukup monumental meskipun sudah tergolong klasik. Tetapi, masih tetap
aktual untuk dijadikan sebagai refrensi teoretik
dalam studi sosiologi ekonomi atau sosilogi agama. Adapun pertanyaan mendasar yang ingin dijawab oleh Max
Weber, adalah berkaitan dengan munculnya “kondisi psikologis” yang telah mendorong perkembangan kapitalisme. Menurutnya,
perkembangan kapitalisme dalam masyarakat
Barat dipicu oleh dua hal yang bersifat substansial: (1) rasionalitas instrumental (purposif rationality); dan
(2) etika Protestan-Calvinis.
Pertama,
dalam perkembangan peradaban Barat telah disertai dengan
menguatnya tradisi budaya rasionalitas
yang lebih mengarahkan tindakan individu dan masyarakatnya. Berkaitan dengan kecenderungan seperti
ini, Max Weber mengkonsepsikan empat bentuk rasionalitas:
(1) traditional rationality; (2) value rationality; (3) affective
rationality; dan (4) purposif
rationality. Menurut konsep Max Weber, rasionalitas terakhir ini adalah bentuk rasionalitas yang paling tinggi
derajatnya. Karena kemunculannya adalah bersifat instrumental dengan unsur pertimbangan “pilihan rasional”
untuk mencapai tujuan dari tindakan yang dilakukan dan alat yang akan digunakan. Dengan demikian,
“rasionalitas instrumental” mengarahkan
tindakan individu dan masyarakat pada yang paling tepat guna, efisien, dan
efektif untuk mencapai tujuan dalam
kehidupan keseharian. Bertolak dari keempat bentuk rasionalitas tersebut, yang telah mengantarkan
masyarakat Barat pada konteks peradaban industrial modern yang kapitalistik adalah mengedepankan
“tindakan rasional ekonomi”. Karena dengan menguatnya
bentuk rasionalitas instrumental dalam kehidupan individu dan masyarakat Barat, secara kontekstual telah berhasil
menggerakkan perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahkan kehidupan beragama.
Kedua,
terintegrasinya nilai-nilai keagamaan yang mengambil bentuk pada
etika Protestan-Calvinis sebagai
varian dari ajaran puritanisme keagamaan Kristiani yang menjadi spirit dalam perkembangan kapitalisme
modern. Bagi Max Weber menemukan jawabannya dalam
bentuk penonjolan sikap hidup “tapa-brata keduniaan” (this-wordly
asceticism) dari para pengikut “kaum puritan”
Kristiani (Calvinis, Methodis, Pietis, dan Baptis). Asceticism terintegrasi dalam konsep “panggilan” (calling),
yang inti ajarannya adalah “ide tertinggi” dari kewajiban moral manusia untuk memenuhi
panggilan tugasnya dalam kehidupan dunia. Dengan demikian, maka konsep tersebut senantiasa memproyeksikan perilaku
religius ke dalam aktivitas hidup
sehari-hari di dunia ini.
Dalam
analisis Weber, ajaran tentang calling pada prinsipnya sudah diajarkan Martin Luther ketika memulai gerakan reformasi
keagamaan. Namun, ide dasar tersebut semakin dikembangkan
dan dikuatkan oleh ajaran doktrinal dari Calvin yang berkaitan dengan takdir manusia. Yang mengajarkan bahwa “hanya
segelintir orang yang mendapat panggilan untuk masuk ke dalam surga, dan pilihan itu sudah menjadi ketetapan
Tuhan sebelumnya. Dan tidak satu
orang pun dari para pengikutnya yang dapat dipastikan telah mendapatkan
panggilan”. Oleh karena itu, bagi mereka yang
terpanggil, dituntut untuk bekerja keras, memiliki tanggungjawab moral, dan juga dikontrol oleh sikap asceticism.
Dengan doktrin tersebut telah mendorong kaum Protestan-Calvinis untuk bekerja keras, hidup
hemat, dan suka menabung, agar dapat masuk dalam
kelompok mereka yang “terpanggil” dan juga mendapatkan “penyelamatan”.
Karenanya,
konsepsi ini kemudian menjadi doktrin keagamaan yang kuat dan membentuk “etika individual” sebagai
bentuk kesalehan dunia dan mengarahkan para penganutnya
untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran etika tersebut. Sebagai konsekwensi logisnya, maka para pengikut
Protestan-Calvinis menjadi pekerja yang ulet, sabar, hemat, gemar menabung, dan memiliki
kualitas kesalehan secara individual. Bagi seseorang diwajibkan meyakini diri sendiri sebagai
orang yang terpanggil dan terpilih, sehingga berkurangnya
keyakinan dapat dipandang menjadi indikasi yang kuat kurangnya iman. Dan performa “kerja yang baik” dalam
aktivitas keduniaan menjadi sinyal yang kuat bahwa seseorang itu terpanggil atau pun tidak.
Secara
teoretik, point penting yang dapat ditarik dari kerangka pemikiran Weber adalah pertautan yang kuat antara
perkembangan tradisi budaya rasionalitas masyarakat (purposif rationality) dengan
nilai-nilai ajaran keagamaan (Protestan ethics), merupakan dua unsur penggerak yang telah mendorong
perkembangan kapitalisme di dunia Barat. Berlangsungnya
reformasi keagamaan dalam masyarakat Barat yang terpatri dengan kuat dalam konsepsi ajaran sekte-sekte puritan,
menurut Max Weber tidak mestinya dianggap hanya sebagai hasil dari proses kesejarahan yang
membawa perubahan sosial ekonomi yang terjadi sebelumnya. Ketika doktrin kesalehan dunia (asceticism)
terbawa keluar dari “rumah-rumah peibadatan keagamaan” menuju konteks kehidupan keseharian, kemudian
mendominasi pembentukan moralitas keduniaan, maka
dapat berperan secara efektif dalam memunculkan kekuatan ekonomi modern. Bagi kebanyakan para pelaku
ekonomi yang diasosiasikan dapat menumpuk harta kekayaan yang berlimpah, tetap diperbolehkan sepanjang
dikombinasikan dengan kemampuan pertanggung-jawaban
moral yang tinggi.
Ignas
Kleden (2005), misalnya, dalam diskusi mengenang 100 tahun The Protestan Ethic and Spirit Capitalism
Max Weber, menurutnya bahwa spirit kapitalisme bukan sesuatu hal yang hanya terdapat pada ethic
Protestan, tetapi juga sangat memungkinkan untuk muncul dari nilai-nilai budaya dan agama lain.
Sebagai contoh, adalah munculnya motif perkembangan kapitalisme baru di Asia Timur dan Asia
Tenggara, seperti yang dialami Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapor, dan Malaysia.
Dengan
tesis Max Weber tersebut, telah merangsang para ilmuwan sosial lainnya untuk melakukan studi lebih lanjut.
Karena itu, dari berbagai kajian yang muncul telah memunculkan asumsi teoretik bahwa
pertautan antara nilai-nilai keagaman dan aktivitas ekonomi kelompok masyarakat tertentu,
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Misalnya, dari hasil studi Richard Sosis: Does Religion Promote
Trust? The Role of Signaling, Reputation,
and Punishment, Interdisciplinary Journal of Research on Religion (2005), yang menjelaskan terjalinnya hubungan yang
kuat antara nilai-nilai keagamaan dengan terbangunnya kepercayaan dalam bisnis.
Sosis
berkesimpulan, bahwa bagi penganut agama yang sama justru dapat membangun suatu kepercayaan (trust). Adanya
kecenderungan yang demikian ini, ditemukan oleh
Richard Sosis dalam kelompok pedagang intan Yahudi pada beberapa kota besar di
Eropa, Timur Tengah, dan juga
Amerika Serikat. Dalam aktivitas perdagangan orang Yahudi Ultra-Ortodox, justru
hanya mengandalkan kepercayaan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan para relasi dagangnya. Menurut Sosis
fenomena yang demikian ini yang juga muncul di kalangan pedagang Muslim Maghribi dan Afrika.
Kecuali
itu, studi Barro dan Mitchell, Religion Faith and Economic Growth: What Matters—Belief of Belonging? The
Heritage Foundation’s Center for Religion and Civil Society (2004). Sebagaimana tesis Max Weber,
mereka mengkonsepsikan bahwa nilai-nilai agama dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi
masyarakat. Karena dengan keyakinan agama yang dimiliki individu-individu tertentu, dapat memunculkan nilai-nilai
kehidupan, seperti: etos kerja, kejujuran,
hidup hemat, dan berbagai aspek lain yang terkait dengan kehidupan keagamaan, dapat mendorong penganutnya untuk bekerja
secara produktif dan selanjutnya merangsang pertumbuhan
ekonomi masyarakat.
Memang
di Indonesia dan khususnya di Jawa, untuk membuktikan asumsi dasar dari tesis Weber, berbagai studi telah
dilakukan terhadap kelompok Muslim modernis yang berorientasi pada pengembangan usaha ekonomi. Dan berbagai studi
itu, seperti yang dilakukan oleh
Clifford Geertz (1959), Lance Castle (1967), dan Mitzuo Nakamura (1981). Dalam
studi tersebut, meskipun tidak
menunjuk langsung pada keberadaan agama Islam melainkan sebagai fenomena sosial budaya masyarakat secara
luas, tetapi dengan tiga varian yang dibuat Geertz: santri, priyayi, dan abangan, yang
mencitrakan kekuatan sosial ekonomi yang cukup potensial, menjadi pekerja yang ulet, hidup
sederhana, rajin menabung, dan menghargai hasil kerja individual, merupakan prototipe dari
“kaum santri modernis”.
Dengan
studi pertamanya ini yang menyimpulkan bahwa adanya relasi yang kuat antara keyakinan agama dan perilaku
ekonomi masyarakat Muslim Mojokuto. Masih tetap merujuk pada tesis Max Weber, selanjutnya Geertz lebih memperdalam
studinya (1963) yang difokukskan pada fenomena
kesuksesan bisnis kelompok muslim puritan. Menurut Geertz, para pemimpin komunitas usaha ekonomi di
Mojokuto adalah sebagian besar berasal dari muslim reformis-puritan, seperti
tembakau, textil, dan juga pertokoan. Karenanya, “reformisme Islam dalam bentuknya sebagai kaum muslim
puritan, adalah menjadi doktrin mayoritas para saudagar” (Geertz, 1963). Hal ini, muncul pada
diri santri reformis-modernis yang telah membentuk etos ekonomi modern yang digerakkan oleh
spirit kewirausahaan (entrepreneurship).
Menurut
studi Lance Castle di Kudus (1967) dan Mitsuo Nakamura di Kota Gede Yogyakarta (1981), adalah mengungkapkan
munculnya kelompok wirausaha kaum muslim modernis yang cukup sukses. Di Kudus, misalnya,
muncul golongan santri pemilik industri tembakau,
yang ketika itu diidentifikasi oleh Castle sebagai perusahaan rokok yang besar
dan juga cukup berkembang.
Sedangkan di Kota Gede, menurut hasil studi Nakamura, muncul kelompok wirausahawan yang justru
memiliki basis kekuatan perekonomian dalam konteks pengembangan ekonomi modern.
Kelompok
wirausaha tersebut adalah golongan santri Muhammadiyah. Namun demikian, baik golongan santri di Kudus
maupun Kota Gede, dalam perkembangannya mengalami
degradasi kemajuan usaha ekonomi. Penyebabnya, adalah para pengusaha santri hanya mengandalkan model kewirausahaan
yang cenderung bersifat individual. Oleh karena itu, sebagai akibatnya mereka tidak mampu
bersaing dengan pengusaha China yang justru lebih responsif dan inovatif dalam menerima perubahan, sehingga mereka
berhasil mengembangkan sebuah institusi ekonomi
modern yang kompleks, dari hanya sekedar mengandalkan kemampuan usaha keluarga.
Sukidi
Mulyadi (2005) dalam Equilibrium: Jurnal Ekonomi dan Kemasyarakatan yang mengulas tentang kecenderungan
terjadinya “Degradasi Ekonomi Muhammadiyah”, menganalisis munculnya kelompok muslim puritan di Jawa pada
awal abad ke-20 M. Yang dipelopori
oleh H. Ahmad Dahlan. Pencetus modernis Islam di Indonesia ini, menurut Mulyadi dapat dikategorikan sebagai prototipe
Muslim-Calvinis.
Ahmad
Dahlan (1868—1923), sudah dikenal sebagai salah seorang reformis-modernis yang cenderung memiliki sikap asketis
yang tinggi dan sekaligus spirit enterpreneurship. Dahlan lahir di tengah keluarga yang taat
beragama dan basis pendidikannya yang diterima dari sekolah Islam, maka mendorongnya untuk rajin
beribadah, dan terobsesi menunaikan ibadah haji. Ketika di Mekkah (1890 dan 1903) telah mengantarkannya
pada pendalaman terhadap konsep pemikiran
reformis dunia Islam yang dicetuskan Mohammad Abduh.
Karena
itu, sesudah melaksanakan haji, Ahmad Dahlan menjalani hidup seperti dalam suatu “panggilan” (calling), yang
bertugas sebagai khatib di Keraton Yogyakarta dan sekaligus menjalani kehidupan sebagai “saudagar
batik”. Fenomena ini menguatkan asumsi bahwa nilai simbolis haji bisa menjadi kekuatan
penggerak yang menumbuhkan kebajikan dan etos kerja yang kuat dalam aktivitas bisnis batik
Ahmad Dahlan. Dengan “sikap asketis dan disiplin diri” terintegrasi dengan kuat dalam karakter
kepribadiannya. Etika kerja yang menjadi karakter kepribadian Dahlan, terefleksikan dalam bentuk sikap jujur, rajin,
hemat, suka membantu, dan juga militan untuk melakukan
transformasi sosial keagamaan dalam Islam.
Menurut
Cliffort Geertz (1963), bahwa masyarakat Jawa yang telah menunaikan ibadah haji, lebih memiliki spirit
kewirausahaan ketimbang rekan-rekannya di pedesaan. Dengan nilai kebajikan untuk bekerja keras dan
bersikap jujur dalam pengembangan bisnis, yang telah mengantarkan Ahmad Dahlan memiliki
kemiripan dengan etika Protestan-Calvinis.
Kecenderungan
tersebut, yang juga tampak menonjol pada karakter Abdul Syukur sebagai salah seorang ulama Islam dalam
melakukan pembaruan keagamaan terhadap masyarakat
Gu-Lakudo, setelah kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekkah. Yang mengintegrasikan paham Islam modernis-rasional
dengan pengembangan usaha ekonomi perdagangan.
Akibat positifnya, bagi orang Gu-Lakudo mendorong mereka untuk mulai melakukan suatu proses transformasi
ekonomi dari konteks ekonomi pedesaan pada ekonomi perkotaan yang berbasis pada
pengembangan usaha perdagangan.
No comments:
Post a Comment