MASJID (INSTITUSI
AGAMA)
Pada
konteks normatif dan formalisme keagamaan, umat Islam
mengkonsepsikan institusi masjid sebagai
tempat untuk melaksanakan peribadatan. Karena memang dalam realitasnya, surau atau pun masjid
berfungsi menjadi tempat pelaksanaan ibadah secara formal, seperti shalat lima waktu dan juga
shalat jum’at serta berbagai bentuk peribadatan lainnya. Hal ini berdasarkan pandangan teologis-normatif
dalam Islam yang menyatakan bahwa melakukan shalat berjama’ah di masjid mendapatkan pahala yang
berlipat ganda ketimbang melakukan shalat
sendirian di rumah.
Terkait
dengan hal tersebut, Islam mengajarkan kepada umatnya, bahwa ciri utama orang
yang beriman dan bertaqwa bukan hanya taat
menjalankan ibadah shalat di masjid. Tetapi juga perlu mengeluarkan zakat,
infaq, dan sedekah, kepada para kerabatnya, anak yatim,
orang miskin, kaum musafir yang membetuhkan pertolongan, serta para peminta-minta. Oleh karena itu,
Al-Qur’an menggandengkan perintah “mendirikan shalat” dengan “menunaikan zakat” (QS. 2:177).
Namun,
dengan memposisikan institusi masjid dalam pemahaman yang bersifat teologis-normatif sebagai
tempat pelaksanaan ibadah formal, justru sama artinya dengan mereduksi fungsi masjid dalam
konteks dimensi sosial budayanya. Karenanya, pada awal perkembangan agama Islam di Madinah,
untuk mentransformasikan sistem nilai ajaran Islam dalam kehidupan riel di masyarakat, baik
berkaitan dengan masalah peribadatan atau ritual maupun sosial, adalah berlangsung
di masjid.
Dengan
demikian, maka keberadaan masjid bagi umat Islam, adalah merupakan suatu institusi keagamaan yang memiliki
multi-fungsi. Artinya, masjid secara fungsional tidak hanya menjadi tempat pelaksanaab ibadah formal
bagi umat Islam. Namun juga sebagai pusat pengembangan
kebudayaan Islam. Menurut hasil studi Muhammad Syafii Antonio (2007), bahwa pada awal perkembangan Islam di
kota Madinah, institusi masjid menempati posisi sentral, dengan memiliki beragam fungsi.
Pertama,
keberadaan masjid memang menjadi tempat peribadatan bagi
umat Islam. Kedua, institusi
masjid berfungsi sebagai pusat penyebaran da’wah Islam. Ketiga,
masjid juga berfungsi sebagai pusat
pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan di dalam Islam. Keempat, institusi
masjid menjadi tempat pertemunan bagi para pemimpin Islam untuk melakukan musyawarah, kemudian
mengeluarkan keputusan politik. Kelima, masjid berfungsi sebagai institusi sosial kemasyarakatan.
Artinya, sebagai tempat penyelesaian berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Kecenderungan
tersebut, dapat ditelusuri dari berbagai data historis pada awal perkembangan Islam di kepulauan
Nusantara. Berkaitan dengan hal ini, keberadaan masjid memiliki berbagai macam fungsi. Masjid
Demak misalnya, yang dibangun Wali Songo, tidak hanya berfungsi sebagai tempat
peribadatan. Namun juga menjadi pusat pengembangan kebudayaan dan politik kekuasaan Islam,
khususnya untuk di tanah Jawa. Dalam pengertian, bahwa keberadaan Wali Songo dan masjid Demak yang mereka
bangun, adalah untuk menopang dan
mengukuhkan eksistensi kerajaan Islam yang baru berdiri.6 di
tanah Jawa. Pada masa itu, ada tiga
lembaga yang saling mendukung, yaitu: (1) keraton sebagai pusat kekuasaan; (2)
masjid dan padepokan sebagai pusat
keagamaan; dan (3) pasar sebagai pusat perdagangan.
Dalam
perkembangan mutakhir, di Indonesia mulai muncul gagasan untuk lebih memaksimalkan fungsi masjid yang
tidak hanya menjadi tempat peribadatan dan penyebarab da’wah. Tetapi juga dapat difungsikan
sebagai basis pengembangan ekonomi umat Islam, dalam bentuk “Masjid Incorporated” atau
“Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia” yang berorientasi pada pembangunan “jejaring
ekonomi”. Pengembangan konsep tersebut adalah memulai kegiatan usaha ekonomi yang mudah dilakukan para pengelola
masjid, misalnya: membentuk lembaga keuangan
mikro syari’ah (BMT), toko atau minimarket, dan lembaga pendidikan. Karena dari sekitar 750.000.
lebih masjid yang ada di Indonesia yang keberadaannya cukup beragam, seperti: pusat bisnis,
pasar modern dan tradisional, lokasi perumahan di perkotaan, dan hingga wilayah pedesaan. Dengan potensi tersebut,
berbagai sektor usaha ekonomi yang berbasis di masjid
dapat diintegrasikan dalam suatu jejaring perekonomian masyarakat yang perlu didukung oleh
kemajuan sistem teknologi informasi, seperti internet.
Munculnya
gagasan untuk memaksimalkan fungsi masjid terkait dengan pengembangan usaha
ekonomi umat Islam yang berbasis di masjid,
pada awalnya digulirkan oleh Guntur Subagja. Karena itu, kemudian Guntur
terpilih menjadi Ketua Koperasi
Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia (2008).
Karena
itu, dengan merujuk dari berbagai telaah tersebut di atas, agaknya dapat memberikan gambaran bahwa masjid sebagai
salah satu institusi keagamaan dalam Islam, yang tidak hanya memiliki dimensi teologis untuk mengatur
hubungan kaum muslim dengan Tuhannya.
Namun juga dimensi sosial dan budaya yang memungkinkan bagi umat Islam melakukan inter-aksi sosial dan
transformasi nilai-nilai kebudayaan Islam.
Dengan
menggunakan kerangka analisis sosio-historis dan kultural, Kuntowijoyo (1985) mengkonsepsikan bahwa keberadaan masjid
merupakan pusat perkembangan kebudayaan Islam.
Terkait dengan hal ini, maka keberadaan masjid bagi kaum muslim telah
membentuk “kekuatan sejarah” yang
justru dapat mendorong berlangsungnya suatu proses perubahan besar dalam perkembangan peradaban umat Islam.
Yang kemudian menggerakkan perjalanan sejarah tentang bagaimana transformative capacity dari agama Islam,
yang secara ideal justru berbasis pada
institusi keagamaan (masjid), yang juga telah menyumbang pada proses
perkembangan “peradaban dunia”.9 Karena
memang keberadaan masjid sebagai institusi sosial keagamaan dalam Islam, memiliki multi-fungsi.
Namun, yang lebih esensial berfungsi sebagai basis pengembangan da’wah dan pendidikan yang
membentuk kebudayaan Islam. Dalam fenomena kehidupan
keagamaan orang Gu-Lakudo, keberadaan masjid tidak hanya dikonsepsikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah formal; tetapi
juga memiliki fungsi sosial. Misalnya, sebagai tempat berlangsungnya proses internalisasi
nilai-nilai dalam pengembangan usaha perdagangan. Atau pun untuk menyelesaikan konflik sosial
internal di komunitas mereka sebagai kaum migran perkotaan.
No comments:
Post a Comment