Powered By Blogger

Wednesday, 24 April 2013

MASJID (INSTITUSI AGAMA)


MASJID (INSTITUSI AGAMA)

Pada konteks normatif dan formalisme keagamaan, umat Islam mengkonsepsikan institusi masjid sebagai tempat untuk melaksanakan peribadatan. Karena memang dalam realitasnya, surau atau pun masjid berfungsi menjadi tempat pelaksanaan ibadah secara formal, seperti shalat lima waktu dan juga shalat jum’at serta berbagai bentuk peribadatan lainnya. Hal ini berdasarkan pandangan teologis-normatif dalam Islam yang menyatakan bahwa melakukan shalat berjama’ah di masjid mendapatkan pahala yang berlipat ganda ketimbang melakukan shalat sendirian di rumah.

Terkait dengan hal tersebut, Islam mengajarkan kepada umatnya, bahwa ciri utama orang yang beriman dan bertaqwa bukan hanya taat menjalankan ibadah shalat di masjid. Tetapi juga perlu mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah, kepada para kerabatnya, anak yatim, orang miskin, kaum musafir yang membetuhkan pertolongan, serta para peminta-minta. Oleh karena itu, Al-Qur’an menggandengkan perintah “mendirikan shalat” dengan “menunaikan zakat” (QS. 2:177).

Namun, dengan memposisikan institusi masjid dalam pemahaman yang bersifat teologis-normatif sebagai tempat pelaksanaan ibadah formal, justru sama artinya dengan mereduksi fungsi masjid dalam konteks dimensi sosial budayanya. Karenanya, pada awal perkembangan agama Islam di Madinah, untuk mentransformasikan sistem nilai ajaran Islam dalam kehidupan riel di masyarakat, baik berkaitan dengan masalah peribadatan atau ritual maupun sosial, adalah berlangsung di masjid.

Dengan demikian, maka keberadaan masjid bagi umat Islam, adalah merupakan suatu institusi keagamaan yang memiliki multi-fungsi. Artinya, masjid secara fungsional tidak hanya menjadi tempat pelaksanaab ibadah formal bagi umat Islam. Namun juga sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam. Menurut hasil studi Muhammad Syafii Antonio (2007), bahwa pada awal perkembangan Islam di kota Madinah, institusi masjid menempati posisi sentral, dengan memiliki beragam fungsi.

Pertama, keberadaan masjid memang menjadi tempat peribadatan bagi umat Islam. Kedua, institusi masjid berfungsi sebagai pusat penyebaran da’wah Islam. Ketiga, masjid juga berfungsi sebagai pusat pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan di dalam Islam. Keempat, institusi masjid menjadi tempat pertemunan bagi para pemimpin Islam untuk melakukan musyawarah, kemudian mengeluarkan keputusan politik. Kelima, masjid berfungsi sebagai institusi sosial kemasyarakatan. Artinya, sebagai tempat penyelesaian berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.

Kecenderungan tersebut, dapat ditelusuri dari berbagai data historis pada awal perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Berkaitan dengan hal ini, keberadaan masjid memiliki berbagai macam fungsi. Masjid Demak misalnya, yang dibangun Wali Songo, tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan. Namun juga menjadi pusat pengembangan kebudayaan dan politik kekuasaan Islam, khususnya untuk di tanah Jawa. Dalam pengertian, bahwa keberadaan Wali Songo dan masjid Demak yang mereka bangun, adalah untuk menopang dan mengukuhkan eksistensi kerajaan Islam yang baru berdiri.6 di tanah Jawa. Pada masa itu, ada tiga lembaga yang saling mendukung, yaitu: (1) keraton sebagai pusat kekuasaan; (2) masjid dan padepokan sebagai pusat keagamaan; dan (3) pasar sebagai pusat perdagangan.

Dalam perkembangan mutakhir, di Indonesia mulai muncul gagasan untuk lebih memaksimalkan fungsi masjid yang tidak hanya menjadi tempat peribadatan dan penyebarab da’wah. Tetapi juga dapat difungsikan sebagai basis pengembangan ekonomi umat Islam, dalam bentuk “Masjid Incorporated” atau “Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia” yang berorientasi pada pembangunan “jejaring ekonomi”. Pengembangan konsep tersebut adalah memulai kegiatan usaha ekonomi yang mudah dilakukan para pengelola masjid, misalnya: membentuk lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT), toko atau minimarket, dan lembaga pendidikan. Karena dari sekitar 750.000. lebih masjid yang ada di Indonesia yang keberadaannya cukup beragam, seperti: pusat bisnis, pasar modern dan tradisional, lokasi perumahan di perkotaan, dan hingga wilayah pedesaan. Dengan potensi tersebut, berbagai sektor usaha ekonomi yang berbasis di masjid dapat diintegrasikan dalam suatu jejaring perekonomian masyarakat yang perlu didukung oleh kemajuan sistem teknologi informasi, seperti internet.

Munculnya gagasan untuk memaksimalkan fungsi masjid terkait dengan pengembangan usaha ekonomi umat Islam yang berbasis di masjid, pada awalnya digulirkan oleh Guntur Subagja. Karena itu, kemudian Guntur terpilih menjadi Ketua Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia (2008).

Karena itu, dengan merujuk dari berbagai telaah tersebut di atas, agaknya dapat memberikan gambaran bahwa masjid sebagai salah satu institusi keagamaan dalam Islam, yang tidak hanya memiliki dimensi teologis untuk mengatur hubungan kaum muslim dengan Tuhannya. Namun juga dimensi sosial dan budaya yang memungkinkan bagi umat Islam melakukan inter-aksi sosial dan transformasi nilai-nilai kebudayaan Islam.

Dengan menggunakan kerangka analisis sosio-historis dan kultural, Kuntowijoyo (1985) mengkonsepsikan bahwa keberadaan masjid merupakan pusat perkembangan kebudayaan Islam. Terkait dengan hal ini, maka keberadaan masjid bagi kaum muslim telah membentuk “kekuatan sejarah” yang justru dapat mendorong berlangsungnya suatu proses perubahan besar dalam perkembangan peradaban umat Islam. Yang kemudian menggerakkan perjalanan sejarah tentang bagaimana transformative capacity dari agama Islam, yang secara ideal justru berbasis pada institusi keagamaan (masjid), yang juga telah menyumbang pada proses perkembangan  “peradaban dunia”.9 Karena memang keberadaan masjid sebagai institusi sosial keagamaan dalam Islam, memiliki multi-fungsi. Namun, yang lebih esensial berfungsi sebagai basis pengembangan da’wah dan pendidikan yang membentuk kebudayaan Islam. Dalam fenomena kehidupan keagamaan orang Gu-Lakudo, keberadaan masjid tidak hanya dikonsepsikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah formal; tetapi juga memiliki fungsi sosial. Misalnya, sebagai tempat berlangsungnya proses internalisasi nilai-nilai dalam pengembangan usaha perdagangan. Atau pun untuk menyelesaikan konflik sosial internal di komunitas mereka sebagai kaum migran perkotaan.

No comments:

Post a Comment