ASHABIYAH DAN RELASI
FUNGSIONAL EKONOMI
Dalam
perkembangan tradisi keilmuan yang didukung para ilmuwan muslim, konsepsi pemikiran mereka tidak hanya
sekedar terfokus pada “ilmu keagamaan” yang bersifat normatif-teologis. Tetapi
mereka juga mengembangkan pemikiran yang berkaitan dengan fenomena sosial empirik yang muncul
dalam masyarakat, misalnya ekonomi, politik, dan budaya. Namun, yang menjadi kecenderungan paradigmatik dalam
konstruksi keilmuan mereka, tidak
membuat dikotomis antara kehidupan beragama dengan konteks sosial yang membentuk realitas masyarakat.
Dalam
pandangan Islam, ilmuwan dikategorikan sebagai ulama, yang terambil dari
kata alim. Artinya, orang-orang yang berilmu, terpelajar (sarjana), atau
mereka yang memiliki ilmu pengetahuan. Karena itu, para ilmuwan atau ulama dalam hal pengembangan
“keilmuan”—baik yang berkaitan dengan ilmu agama maupun ilmu pengetahuan secara luas—adalah
dikonsepsikan sebagai “pewaris Nabi” (al-ulama waratsat al an-biya’). Lihat
juga Nor Huda, Islam
Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Ar-Ruzz Media,
Jogjakarta, 2007, h. 207.
Karena
itu, bagi kalangan ilmuwan muslim mengkonsepsikan bahwa aktivitas dan perilaku ekonomi merupakan bagian yang
integral dari kehidupan beragama. Dalam pengertian proses perkembangan peradaban Islam
merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk melepaskan
persoalan ekonomi dari konteks kehidupan yang lain, seperti: sosial, politik,
budaya, dan agama. Yang tentu saja
konsepsi pemikiran tersebut, mengacu pada kerangka pemikiran paradigmatik yang cenderung bersifat
integratif.
Ritzer,
menawarkan model pendekatan baru dalam kajian fenomena sosial masyarakat, yang
disebutnya “paradigma integratif”.
Adapun konsepsi dasarnya, adalah (1) makro-obyektif, seperti:
masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur,
teknologi, dan bahasa; (2) makro-subyektif, misalnya: budaya, norma dan
nilai-nilai; (3) mikroobyektif, seperti:
pola tingkah laku, tindakan dan interaksi; serta (4) mikro-subyektif, misalnya:
persepsi, kepercayaan, dan konstruksi
sosial terhadap kenyataan. George Ritzer, Modern Sociological Theory, The
MacGraw-Hill Companies, New York, 2000.
Paradigma
Islam—menurut Umer Capra (2001)—sebagaimana yang terkandung dalam ajaran doktrinal-teologis Islam
memberikan tekanan pada terintegrasinya nilai-nilai moral dan persaudaraan kemanusiaan dengan
keadilan sosial-ekonomi. Dengan konsepsi yang demikian itu, merupakan suatu isyarat bahwa dalam perspektif Islam
tentang kehidupan ekonomi, adalah tidak
bersifat sekuler dan bebas nilai. Tetapi, mengarah pada penyatuan nilai-nilai dalam berbagai elemen institusinal,
mulai dari: individu, keluarga, masyarakat, pasar, dan negara. Karena tujuan yang ingin dicapai
adalah terwujudnya kesejahteraan bersama, yang dalam Islam diistilahkan sebagai falah.
Konsep
falah dalam Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an, yang secara literal
mengandung pengertian tentang “keberuntungan
jangka panjang” (dunia dan akhirat). Karenanya, terkait dengan konteks
kehidupan ekonomi, tidak hanya
terfokus pada pencapaian keberhasilan material, tetapi juga perlu diperkuat
diperkuat dengan nilai-nilai spiritualitas
agama. Lihat misalnya, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI),
Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Terkait
dengan keperluan analisis dalam pengembangan studi ini, yang bertumpu pada pendekatan sosiologi ekonomi dan
agama, maka ditampilkan konsep pemikiran teoretik Ibnu Khaldun (1332—1400). Karena sebagai seorang ilmuwan sosial
muslim klasik, pengembangan orientasi
keilmuannya cenderung bersifat multi-disipliner dalam menginterpretasikan berbagai fenomena
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Kekuatan analisis Ibnu Khaldun terhadap masalah
perekonomian, misalnya, setidaknya dapat dikategorikan
berada pada dua level (makro dan mikro).
Pada
level makro, Khaldun merumuskan konsep dasar pemikirannya dalam bentuk pertautan lingkaran “sebab-akibat”.44 Yang
secara multi-disipliner mengaitkan antara konteks sosial-ekonomi dengan pengaruh syari’ah
agama, kekuasaan politik, peranan kolektivitas masyarakat, kekayaan dan potensi sumber daya yang dimiliki, serta
keadilan. Kesemua elemen tersebut, adalah berada
dalam satu lingkaran yang memiliki saling ketergantungan, disebabkan satu sama lain saling mempengaruhi.
Karena cara kerja lingkaran sebab-akibat ini, menyerupai “rantai reaksi” yang berlangsung
sepanjang tiga generasi atau sekitar seratus dua puluh tahun sebagai rentang waktu yang diperlukan
untuk terbangunnya suatu bentuk kebudayaan dan peradaban.
Dengan
konsep pemikiran yang berorientasi makro tersebut, Ibnu Khaldun ingin memberikan penekanan tentang urgennya
dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Yang antara satu elemen dengan yang
lainnya adalah saling memiliki keterkaitan pada rentang waktu tertentu sebagai penentu bagi
maju-mundurnya peradaban suatu bangsa. Karena
itu, dalam konsepsi pemikiran
Ibnu Khaldun—sebagaimana Max Weber—bahwa pertautan yang kuat antara sistem nilai agama dengan
strutktur ekonomi masyarakat merupakan suatu hal yang konstruktif. Fenomenaya dapat diamati
dalam konteks kehidupan yang bersifat individual maupun institusional, baik secara formal maupun informal.
Kerangka
konsep pemikiran Ibnu Khaldun di bidang ekonomi, dirumuskan kembali oleh Umer Chapra,
yang disebutnya sebagai
relasi-fungsional dengan mencitrakan hubungan sebab-akibat. Misalnya, syari’ah
agama sebagai acuan terbentuknya
nilai-nilai moral yang membentuk kekuasaan politik, pembangunan dan perilaku
ekonomi, kesejahteraan masyarakat, keadilan
distribusi dan konsumsi. Lihat Umer Chapra, ibid, h. 154-155.
Sementara
itu di level mikro, Ibnu Khaldun mengkonsepsikan tentang perlunya suasana kehidupan saling tolong-menolong
atau bekerja sama untuk mewujudkan model kesejahteraan
ekonomi masyarakat. Dasar pemikirannya, secara teologis merujuk pada
ayat al-Qur’an, yang menjelaskan pentingnya ikatan kolektivitas sosial: “Dan
tolong menolonglah kamu dalam
hal (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong untuk berbuat
dosa dan pelanggaran” (QS. 5 :
2).
Untuk
mengaktualisasikan ikatan sosial dan kerja sama tersebut, maka diperlukan suatu bentuk solidaritas sosial yang
lebih bersifat fungsional. Yang oleh Ibnu Khaldun disebutnya sebagai ashabiyah. Adapun konsep ashabiyah tersebut,
memiliki pengertian secara positif
dan negatif. Pengertian positifnya, adalah menunjuk pada terbentuknya
“persaudaraan dalam Islam”. Dengan adanya
ikatan persaudaraan yang kuat, maka sangat memungkinkan bagi setiap individu, kelompok, komunitas,
dan masyarakat, membangun jaringan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
pengertian yang negatif dari ashabiyah, adalah munculnya solidaritas dengan mengacu pada
kesetiaan yang total (fanatisme buta) terhadap kepentingan yang bersifat pragmatis. Akibatnya,
menurut Ibnu Khaldun, dapat menimbulkan kerugian bersama bagi semua elemen masyarakat. Karena solidaritas yang
dibangun, tidak menggunakan pertimbangan
moral dan rasional.
Konseptualisasi
tentang “solidaritas sosial” (ashabiyah) yang bersumber dari pemikiran
Ibnu Khaldun ini, agaknya kita bisa membandingkannya
dengan konsep pemikiran Emile Durkheim. Namun demikian, yang menjadi fokus sorotan Khaldun adalah “fungsionalnya”
ikatan sosial masyarakat. Sementara itu, Durkheim mengkonsepsikan munculnya solidaritas sosial masyarakat
menurut bentuknya, yang dalam perkembangan sosiologi dikenal dengan solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Lihat misalnya, Jonathan H. Turner and Leonard Beeghley, The Emergence of Sociological Theory, The
Dorsey Press, Illinios, 1981.
Dengan
konsep pemikiran teoretik yang dibangun Ibnu Khaldun—juga seperti halnya para ilmuwan sosial lainnya—memberikan
penegasan bahwa perilaku ekonomi masyarakat tidak
bersifat mekanistik atau pun atomisasi sosial. Melainkan dipengaruhi berbagai
faktor, seperti situasi politik,
budaya, dan agama. Kecuali itu, konsep ashabiyah yang menjadi instrumen dalam pengembangan sosial
ekonomi individu, kelompok, komunitas, dan masyarakat,
mengisyaratkan terintegrasinya sistem nilai moral dan rasionalitas. Yang
moralitas berbasis pada petunjuk
al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad dalam menjalani kehidupan riel di tengah masyarakat. Sedangkan
kemampuan rasionalitas adalah bertumpu pada kemampuan
individual manusia untuk menggunakan potensi pemikirannya, yang bersumber dari akalnya.
No comments:
Post a Comment