Powered By Blogger

Thursday, 25 April 2013

AKTIVITAS EKONOMI MENURUT KONSEPSI ISLAM MORALITAS DAN RASIONALITAS DALAM EKONOMI


AKTIVITAS EKONOMI MENURUT KONSEPSI ISLAM MORALITAS DAN RASIONALITAS DALAM EKONOMI

Dalam pemikiran teoretik ekonomi konvensional yang menonjolkan “keunggulan rasionalitas” dalam tindakan individu, aspek moral dan etika yang bersumber dari sistem nilai agama dan budaya masyarakat, merupakan suatu hal yang harus ditolak. Karena manusia disebut memiliki kemampuan rasional secara ekonomi, jika memaksimalkan kepentingan diri sendiri, memiliki utilitas yang tinggi dalam konsumsi, keuntungan yang optimal terhadap proses produksi, dan sirkulasi penghimpunan modal finansial yang besar untuk penguatan kapital dan juga perluasan investasi.

Karena itu, dalam pengembangan ekonomi konvensional yang menjadi asumsi dasarnya, adalah tingkah laku individu yang cenderung bersifat rasional. Artinya, keunggulan rasionalitas merupakan suatu instrumen yang kuat untuk mendorong perkembangan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, sistem nilai moral dan etika tidak terlalu penting untuk dikedepankan, lantaran cenderung bersifat irasional dan tidak bisa dikalkulasi berdasarkan perhintungan untung rugi secara material.

Begitu dominannya pengaruh pemikiran ekonomi konvensional yang dikonsepsikan oleh para ilmuwan ekonomi klasik dan neo-klasik, mendorong perkembangan “ekonomi positif” (positive economic), yang hanya menempatkan keunggulan rasionalitas sebagai instrumen utamanya. Akibatnya, menafikan pemikiran “ekonomi normatif” (normative economic) yang dibangun di atas kerangka nilai-nilai tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Sementara itu, moral dan rasionalitas adalah dua hal yang fenomenanya saling bertumpang-tindih dalam kehidupan sosial ekonomi, politik, budaya, dan agama masyarakat. Meskipun dari keunggulan rasionalitas yang dimiliki suatu masyarakat tertentu menurut Max Weber berbeda dengan yang lain. Misalnya, pesatnya kemajuan yang dialami oleh masyarakat dunia Barat terhadap masyarakat dunia Timur, adalah terletak pada keunggulan tingkat penggunaan rasionalitasnya.

Secara teoretik dan paradigmatik, ekonomi positif melakukan kajian terhadap berbagai fenomena ekonomi yang berkembang dalam masyarakat sesuai dengan realitas yang ada. Sedangkan ekonomi normatif berkaitan dengan yang “seharusnya” dilakukan. Dan keharusan tersebut, adalah berkaitan dengan nilai (value) dan norma (norm) tertentu, seperti: sosial, politik, budaya, dan agama. Karenanya, pemikiran ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas, antara aspek positif dan normatif. Pemisahan kedua prinsip tersebut, kemudian membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial, bahwa realitas ekonomi adalah cenderung bersifat “independen” terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosial masyarakat. Artinya, tidak ada hubungan kausilitas antara aktivitas ekonomi dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, kalkulasi rasionalitas ekonomi bersifat obyektif dan berlaku universal.

Pemisahan atau pun dikotomis antara pemikiran ekonomi positif dan normatif, pada prinsipnya tidak sesuai dengan kecenderungan dasar dalam studi ilmu sosial, seperti sosiologi dan antropologi dalam mengkaji fenomena ekonomi. Karena nilai-nilai moral dan juga rasionalitas, merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan kehadirannya dalam realitas kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, dalam kajian ekonomi sekalipun, tidak seharusnya terlepas dari pendekatan sistem nilai tertentu, misalnya budaya dan agama.

Sejalan dengan konsep pemikiran para ilmuwan sosial yang melakukan kajian terhadap fenomena ekonomi, seperti: Max Weber, Karl Polanyi, Mark Granovetter, dan lain-lain; maka demikian juga para pemikir Islam, menolak pendikotomian tersebut. Karena dalam konsepsi Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), menegaskan bahwa tindakan atau perilaku manusia tidak terjadi dengan sendirinya. Manusia memiliki kehendak dan kecenderungan berperilaku yang justru dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan etika yang diyakininya. Dengan demikian, tindakan individual sebagai bagian dari komunitas sosial masyarakat, adalah tidak bersifat “bebas nilai”.

Menurut konsepsi Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan individu, kelompok, komunitas, atau masyarakat secara luas, pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari kehidupan beragama. Sebagai asumsi dasarnya, adalah bahwa agama Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablunminallah), tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia (hablunminannas). Oleh karena itu, menurut konsepsi pemikiran Islam, diperlukan untuk mengembangkan nilai-nilai keseimbangan hidup antara moral dan rasionalitas, kepentingan individu dan kolektivitas, termasuk juga kepentingan dunia dan akhirat.

Terbentuknya etika kehidupan di dunia ini termasuk dalam sistem ekonomi adalah bersumber dari keterkaitan unsur-unsur ajaran Islam yang lebih komprehensif dan tidak bersifat parsial. Kuntowijoyo (2001), misalnya, dengan menggunakan metode pendekatan dan analisis “strukturalisme transendental”, mengkonsepsikan keterkaitan (inter-conectedness) antar-unsur dari ajaran Islam. Konsep tauhid yang bersifat transenden, adalah berfungsi sebagai “kekuatan” pembentuk struktur terdalam agama Islam. Yang kemudian termanifestasi keluar dalam bentuk tindakan individu dan kolektevitas, baik secara normatif keagamaan maupun empirik sosial budaya.

Sebagaimana dalam konsepsi ajaran tauhid tersebut, pada hakikatnya rezki bersumber dari Tuhan. Karena itu, sebagai implikasi etik dan moralnya, menurut Dawam Rahardjo (2002), hal ini terkait dengan peletakan landasan normatif tentang “demokrasi ekonomi”. Artinya, yang menjadi poin dasarnya, adalah terkait dengan peranan manusia sebagai pengelola sumber daya ekonomi, perlu memenuhi prinsip dasar keadilan, kriteria rasionalitas, dan juga nilai-nilai moral dan etika kehidupan.

Lalu bagaimana Islam menempatkan nilai moral dan rasionalitas dalam tindakan ekonomi? Pertama, sistem nilai moral yang bersumber dari ajaran Islam menjadi bingkai yang kuat untuk mengembangkan kalkulasi untung-rugi, yang berdasarkan pertimbangan rasionalitas ekonomi. Kedua, keunggulan rasionalitas para pelaku ekonomi, tidak harus keluar dari pertimbanga nilai-nilai moralitas yang berkembang dalam masyarakat.

Oleh karena itu, ajaran Islam sangat merespons keberadaan institusi ekonomi seperti pasar; sebagai wahana berlangsungnya transaksi perdagangan yang legal (halal) dan baik (thayyib). Sebagai akibat positifnya, adalah bahwa semua orang bisa mendapatkan alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi yang dapat dikategorikan cukup ideal. Penghargaan ajaran Islam terhadap adanya pasar sebagai tempat transaksi jual-beli barang dan jasa, merujuk pada ketentuan Tuhan dalam al-Qur’an. Dengan memberikan isyarat bahwa usaha perdagangan harus dilakukan dengan cara yang baik berdasarkan prinsip saling bersepakat (ridha) dan menghormati, agar hasil yang dicapai sama-sama menguntungkan. “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu …” (QS. 4:29).

Merujuk dari ayat tersebut, maka Nabi Muhammad memberikan suatu instrumen praktis dalam proses transaksi barang dan jasa secara komersial yang dijadikan rujukan bagi setiap individu, agar tidak terjadi penipuan, pengurangan takaran, spekulasi, dan transaksi yang bersifat abstrak dalam aktivitas ekonomi perdagangan. Dari beberapa hadits dapat dikutip: “Nabi melarang jual beli yang mengandung unsur tipu daya” (HR. Muslim dan Ahmad). “Nabi melarang jual beli dengan penawaran palsu” (HR. Bukhari dan Muslim). “Nabi melarang adanya dua jenis transaksi dalam satu akad/kontrak” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i). “Nabi melarang menjual barang yang belum diserahterimakan” (HR. Bukhari dan Muslim). “Nabi melarang jual beli utang” (HR. Duruquthni). “Nabi melarang jual beli ikan dalam air” (HR. Ahmad). “Nabi melarang jual beli anak kambing yang masih dalam kandungan ibunya” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi). Instrumen praktis bagi para pelaku ekonomi sebagaimana hadits Nabi Muhammad tersebut, tujuannya adalah untuk mendorong terciptanya keadilan ekonomi dalam masyarakat.

Untuk mengaktualisasikan konsep tersebut, maka para pelaku ekonomi di pasar perlu didorong untuk mengembangkan semangat persaingan yang sehat, kerja sama, dan saling tolong menolong. Bagi para penjual tidak menarik keuntungan yang berlipat-ganda dari pembeli. Atau, menjual barang yang tidak sesuai dengan standar harga, mengurangi meteran dan timbangan, serta menimbun barang dagangan agar harga melonjak tajam.

Oleh karenanya, aktivitas ekonomi perdagangan di pasar, memerlukan instrumen nilai moral yang kuat untuk menciptakan persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy), dan juga keadilan (just price). Tujuan dari semua ini, adalah untuk menciptakan kesejahteraan yang real dalam masyarakat, bukan semacam “kesejahteraan semu”.

Sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi, beliau berperan sebagai seorang pedagang yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan rasionalitas ekonomi, seperti kejujuran dalam bertransaksi, pengambilan keuntungan secara transparan kepada pembeli. Namun, setelah menjadi Nabi dan hijrah ke Madinah, para sahabatnya yang berprofesi sebagai pedagang yang aktif melakukan perdagangan di pasar. Sedangkan beliau hanya mengawasi jalannya mekanisme pasar agar tidak keluar dari bingkai moralitas Islam. Lihat juga Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI-UII &BI), Ekonomi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2008, h. 83.

Sementara itu, rasionalitas ekonomi menurut konsepsi Islam, adalah setidaknya berkaitan dengan beberapa hal yang bisa menghasilkan keuntungan dan juga menghindari kerugian, baik material maupun yang non-material.

1. Setiap pelaku ekonomi perlu berupaya untuk hidup hemat atau tidak melakukan suatu hal yang cenderung pada kemubaziran. Karena dengan perilaku mubazir berati telah terjadi pengurangan sumber daya ekonomi yang dimiliki, tanpa memiliki kompensasi hasil yang seimbang yang didapat dari pengeluarannya.

2. Setiap pelaku ekonomi perlu berupaya untuk meminumkan resiko. Meskipun dalam kalkulasi rasionalitas ekonomi tidak semua resiko dapat terhindarkan, tetapi paling tidak bisa diminimalisir.

3. Setiap pelaku ekonomi senantiasa dihadapkan pada kondisi yang fluktuatif. Dengan demikian, diperlukan kemampuan rasionalitas untuk melakukan definisi situasi dan prediksi terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi dalam aktivitas ekonomi.

4. Setiap pelaku ekonomi memerlukan informasi tentang pasar yang benar untuk memperkecil berbagai resiko yang boleh jadi muncul dalam perdagangan. Karenanya, memerlukan suatu kemampuan rasionalitas untuk mengakses berbagai sumber informasi, sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kalkulasi ekonomi.

Dengan demikian, dalam konsepsi Islam tidak menafikan kemampuan dan keunggulan rasionalitas individu dan masyarakat untuk mengembangkan aktivitas ekonominya. Yang menjadi penekanannya adalah, rasionalitas perlu dibingkai oleh nilai-nilai moral, agar tidak berkembang apa yang disebut dengan moral hazard dalam aktivitas ekonomi. Sebab, kalau kecenderungan tersebut yang dominan, maka menjadi penggerak bagi perkembangan “ekonomi bawah tanah” (underground economy) dan “ekonomi hitam” (black economy).

No comments:

Post a Comment