AKTIVITAS EKONOMI MENURUT KONSEPSI ISLAM MORALITAS DAN RASIONALITAS DALAM EKONOMI
Dalam
pemikiran teoretik ekonomi konvensional yang menonjolkan “keunggulan rasionalitas” dalam tindakan individu,
aspek moral dan etika yang bersumber dari sistem nilai agama dan budaya masyarakat, merupakan
suatu hal yang harus ditolak. Karena manusia disebut memiliki kemampuan rasional secara
ekonomi, jika memaksimalkan kepentingan diri sendiri, memiliki utilitas yang tinggi
dalam konsumsi, keuntungan yang optimal terhadap proses produksi, dan sirkulasi
penghimpunan modal finansial yang besar untuk penguatan kapital dan juga perluasan investasi.
Karena
itu, dalam pengembangan ekonomi konvensional yang menjadi asumsi dasarnya, adalah tingkah laku individu
yang cenderung bersifat rasional. Artinya, keunggulan rasionalitas merupakan suatu instrumen
yang kuat untuk mendorong perkembangan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, sistem nilai moral dan etika tidak
terlalu penting untuk dikedepankan, lantaran
cenderung bersifat irasional dan tidak bisa dikalkulasi berdasarkan
perhintungan untung rugi secara material.
Begitu
dominannya pengaruh pemikiran ekonomi konvensional yang dikonsepsikan oleh para ilmuwan ekonomi klasik dan
neo-klasik, mendorong perkembangan “ekonomi positif” (positive economic), yang
hanya menempatkan keunggulan rasionalitas sebagai instrumen utamanya. Akibatnya, menafikan pemikiran
“ekonomi normatif” (normative economic) yang dibangun di atas kerangka nilai-nilai
tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Sementara itu, moral dan rasionalitas adalah dua hal
yang fenomenanya saling bertumpang-tindih dalam kehidupan sosial ekonomi, politik, budaya, dan agama masyarakat.
Meskipun dari keunggulan rasionalitas yang dimiliki
suatu masyarakat tertentu menurut Max Weber berbeda dengan yang lain. Misalnya, pesatnya kemajuan
yang dialami oleh masyarakat dunia Barat terhadap masyarakat dunia Timur, adalah terletak pada keunggulan tingkat
penggunaan rasionalitasnya.
Secara
teoretik dan paradigmatik, ekonomi positif melakukan kajian terhadap berbagai fenomena ekonomi yang
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan realitas yang ada. Sedangkan ekonomi normatif
berkaitan dengan yang “seharusnya” dilakukan. Dan keharusan tersebut, adalah berkaitan dengan nilai (value) dan
norma (norm) tertentu, seperti: sosial,
politik, budaya, dan agama. Karenanya, pemikiran ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas, antara aspek
positif dan normatif. Pemisahan kedua prinsip tersebut, kemudian membawa implikasi yang luas
dalam kehidupan sosial, bahwa realitas ekonomi adalah cenderung bersifat “independen” terhadap
nilai-nilai dan norma-norma sosial masyarakat. Artinya, tidak ada hubungan kausilitas antara aktivitas ekonomi
dengan nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat. Dengan demikian, kalkulasi rasionalitas ekonomi bersifat obyektif dan berlaku universal.
Pemisahan
atau pun dikotomis antara pemikiran ekonomi positif dan normatif, pada prinsipnya tidak sesuai dengan
kecenderungan dasar dalam studi ilmu sosial, seperti sosiologi dan antropologi dalam mengkaji fenomena
ekonomi. Karena nilai-nilai moral dan juga rasionalitas,
merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan kehadirannya dalam realitas kehidupan sosial masyarakat. Sehingga,
dalam kajian ekonomi sekalipun, tidak seharusnya terlepas dari pendekatan sistem nilai tertentu, misalnya budaya
dan agama.
Sejalan
dengan konsep pemikiran para ilmuwan sosial yang melakukan kajian terhadap fenomena ekonomi, seperti: Max
Weber, Karl Polanyi, Mark Granovetter, dan lain-lain; maka demikian juga para pemikir Islam,
menolak pendikotomian tersebut. Karena dalam konsepsi
Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), menegaskan bahwa
tindakan atau perilaku manusia tidak
terjadi dengan sendirinya. Manusia memiliki kehendak dan kecenderungan berperilaku yang justru
dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan etika yang diyakininya. Dengan demikian, tindakan
individual sebagai bagian dari komunitas sosial masyarakat, adalah tidak bersifat “bebas nilai”.
Menurut
konsepsi Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan individu, kelompok, komunitas, atau masyarakat secara luas,
pada hakekatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari kehidupan beragama. Sebagai
asumsi dasarnya, adalah bahwa agama Islam
tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablunminallah), tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia (hablunminannas).
Oleh karena itu, menurut konsepsi
pemikiran Islam, diperlukan untuk mengembangkan nilai-nilai keseimbangan hidup antara moral dan rasionalitas,
kepentingan individu dan kolektivitas, termasuk juga kepentingan dunia dan akhirat.
Terbentuknya
etika kehidupan di dunia ini termasuk
dalam sistem ekonomi adalah bersumber dari keterkaitan unsur-unsur
ajaran Islam yang lebih komprehensif dan tidak bersifat parsial. Kuntowijoyo (2001), misalnya,
dengan menggunakan metode pendekatan dan analisis “strukturalisme transendental”, mengkonsepsikan keterkaitan (inter-conectedness)
antar-unsur dari ajaran Islam. Konsep tauhid
yang bersifat transenden, adalah berfungsi sebagai “kekuatan” pembentuk struktur terdalam agama Islam.
Yang kemudian termanifestasi keluar dalam bentuk tindakan individu dan kolektevitas, baik secara normatif keagamaan
maupun empirik sosial budaya.
Sebagaimana
dalam konsepsi ajaran tauhid tersebut, pada hakikatnya rezki bersumber dari Tuhan. Karena itu, sebagai
implikasi etik dan moralnya, menurut Dawam Rahardjo (2002), hal ini terkait dengan peletakan
landasan normatif tentang “demokrasi ekonomi”. Artinya, yang menjadi poin dasarnya, adalah terkait
dengan peranan manusia sebagai pengelola sumber daya ekonomi, perlu memenuhi prinsip dasar
keadilan, kriteria rasionalitas, dan juga nilai-nilai moral dan etika kehidupan.
Lalu
bagaimana Islam menempatkan nilai moral dan rasionalitas dalam tindakan ekonomi? Pertama, sistem nilai
moral yang bersumber dari ajaran Islam menjadi bingkai yang kuat untuk mengembangkan kalkulasi
untung-rugi, yang berdasarkan pertimbangan rasionalitas ekonomi. Kedua, keunggulan
rasionalitas para pelaku ekonomi, tidak harus keluar dari pertimbanga nilai-nilai moralitas yang
berkembang dalam masyarakat.
Oleh
karena itu, ajaran Islam sangat merespons keberadaan institusi ekonomi seperti pasar; sebagai wahana berlangsungnya
transaksi perdagangan yang legal (halal) dan baik (thayyib). Sebagai
akibat positifnya, adalah bahwa semua orang bisa mendapatkan alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi yang
dapat dikategorikan cukup ideal. Penghargaan ajaran Islam terhadap adanya pasar sebagai tempat
transaksi jual-beli barang dan jasa, merujuk pada ketentuan Tuhan dalam al-Qur’an. Dengan memberikan isyarat bahwa
usaha perdagangan harus dilakukan dengan cara yang
baik berdasarkan prinsip saling bersepakat (ridha) dan menghormati, agar hasil yang dicapai
sama-sama menguntungkan. “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
suka sama suka di antara kamu …” (QS. 4:29).
Merujuk
dari ayat tersebut, maka Nabi Muhammad memberikan suatu instrumen praktis dalam proses transaksi barang
dan jasa secara komersial yang dijadikan rujukan bagi setiap individu, agar tidak terjadi
penipuan, pengurangan takaran, spekulasi, dan transaksi yang bersifat abstrak dalam aktivitas ekonomi
perdagangan. Dari beberapa hadits dapat dikutip: “Nabi melarang jual beli yang mengandung unsur
tipu daya” (HR. Muslim dan Ahmad). “Nabi melarang jual beli dengan penawaran palsu” (HR.
Bukhari dan Muslim). “Nabi melarang adanya
dua jenis transaksi dalam satu akad/kontrak” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, dan Nasa’i). “Nabi melarang menjual
barang yang belum diserahterimakan” (HR. Bukhari dan Muslim). “Nabi melarang jual beli utang” (HR.
Duruquthni). “Nabi melarang jual beli ikan dalam air” (HR. Ahmad). “Nabi melarang jual beli
anak kambing yang masih dalam kandungan ibunya” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan
Tirmidzi). Instrumen praktis bagi para pelaku ekonomi sebagaimana hadits Nabi Muhammad tersebut,
tujuannya adalah untuk mendorong terciptanya keadilan
ekonomi dalam masyarakat.
Untuk
mengaktualisasikan konsep tersebut, maka para pelaku ekonomi di pasar perlu didorong untuk mengembangkan semangat
persaingan yang sehat, kerja sama, dan saling tolong menolong. Bagi para penjual tidak
menarik keuntungan yang berlipat-ganda dari pembeli. Atau, menjual barang yang tidak sesuai dengan
standar harga, mengurangi meteran dan timbangan, serta menimbun barang dagangan agar harga melonjak tajam.
Oleh
karenanya, aktivitas ekonomi perdagangan di pasar, memerlukan instrumen nilai moral yang kuat untuk menciptakan
persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy), dan
juga keadilan (just price). Tujuan
dari semua ini, adalah untuk menciptakan
kesejahteraan yang real dalam masyarakat, bukan semacam “kesejahteraan semu”.
Sebelum
Muhammad diangkat menjadi Nabi, beliau berperan sebagai seorang pedagang yang
mengintegrasikan nilai-nilai moral dan
rasionalitas ekonomi, seperti kejujuran dalam bertransaksi, pengambilan
keuntungan secara transparan kepada pembeli.
Namun, setelah menjadi Nabi dan hijrah ke Madinah, para sahabatnya yang
berprofesi sebagai pedagang yang aktif
melakukan perdagangan di pasar. Sedangkan beliau hanya mengawasi jalannya mekanisme pasar agar tidak keluar dari
bingkai moralitas Islam. Lihat juga Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI-UII &BI), Ekonomi
Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2008, h. 83.
Sementara
itu, rasionalitas ekonomi menurut konsepsi Islam, adalah setidaknya berkaitan dengan beberapa hal yang bisa
menghasilkan keuntungan dan juga menghindari kerugian,
baik material maupun yang non-material.
1.
Setiap pelaku ekonomi perlu berupaya untuk hidup hemat atau tidak melakukan
suatu hal yang cenderung pada
kemubaziran. Karena dengan perilaku mubazir berati telah terjadi pengurangan sumber daya ekonomi yang
dimiliki, tanpa memiliki kompensasi hasil yang seimbang yang didapat dari pengeluarannya.
2.
Setiap pelaku ekonomi perlu berupaya untuk meminumkan resiko. Meskipun dalam kalkulasi rasionalitas ekonomi tidak
semua resiko dapat terhindarkan, tetapi paling tidak bisa diminimalisir.
3.
Setiap pelaku ekonomi senantiasa dihadapkan pada kondisi yang fluktuatif.
Dengan demikian, diperlukan kemampuan
rasionalitas untuk melakukan definisi situasi dan prediksi terhadap berbagai kemungkinan yang
terjadi dalam aktivitas ekonomi.
4.
Setiap pelaku ekonomi memerlukan informasi tentang pasar yang benar untuk
memperkecil berbagai resiko yang boleh
jadi muncul dalam perdagangan. Karenanya, memerlukan suatu kemampuan rasionalitas untuk mengakses
berbagai sumber informasi, sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukan kalkulasi ekonomi.
Dengan
demikian, dalam konsepsi Islam tidak menafikan kemampuan dan keunggulan rasionalitas individu dan
masyarakat untuk mengembangkan aktivitas ekonominya. Yang menjadi penekanannya adalah,
rasionalitas perlu dibingkai oleh nilai-nilai moral, agar tidak berkembang apa yang disebut dengan
moral hazard dalam aktivitas ekonomi. Sebab, kalau kecenderungan tersebut yang dominan,
maka menjadi penggerak bagi perkembangan “ekonomi bawah tanah” (underground economy) dan “ekonomi hitam” (black
economy).
No comments:
Post a Comment