PERTAUTAN AGAMA DENGAN EKONOMI
Dalam
perkembangan studi sosiologi dan antropologi ekonomi, konsepsi yang mempertautkan agama dengan ekonomi,
agaknya sudah menjadi bagian dari konstruksi pemikiran
teoretik bagi para ilmuwan sosial setelah Max Weber (1904/1905). Terkait dengan
hal tersebut, Robert Wuthnow
(1994), misalnya, mengkonsepsikan adanya relevansi agama (religi) dengan konteks studi sosiologi ekonomi.
Menurutnya, kedua elemen dari kehidupan social masyarakat tersebut, pada hakekatnya memiliki saling keterkaitan,
baik dalam tataran teoretik maupun
empirikalnya.
Konsep
pemikiran yang demikian itu, tentu saja berseberangan dengan asumsi dasar yang dikembangkan para ilmuwan ekonomi
konvensional (klasik dan neo-klasik) yang bersifat formalis. Mereka
membangun kerangka dasar pemikiran teoretiknya di atas landasan filsafat homo economicus dan
keunggulan rational economic man. Hal ini berarti, kekuatan logika pemikiran ekonomi konvensional,
menggunakan paradigma sekularisme yang lebih bersifat “bebas nilai”. Dengan demikian, maka
asumsi-asumsi pemikiran teoretik yang dibangun cenderung menafikan sistem nilai budaya dan agama yang justru
telah lama berkembang dan berakar dalam konteks
kehidupan masyarakat.
Sebagai
konsekwensi logisnya, maka pemikiran ekonomi konvensional justru meletakkan asumsi dasarnya, bahwa tingkah
laku setiap individu adalah bersifat rasional. Tujuannya untuk memaksimalkan keuntungan, memenuhi kepentingan
individual, dan senantiasa bertindak
berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Konsekwensinya, maka dengan segala kemampuan rasionalnya dan inisiatifnya
sendiri, setiap individu dapat mengejar utilitas ekonomi secara optimal, melalui
maksimalisasi keuntungan dengan pengorbanan seminimal mungkin. Dalam perkembangannya, individu-individu
yang demikian ini yang dikategorikan sebagai homo economicus seperti
yang dikonsepsikan oleh Adam Smith, yang
berseberangan dengan homo ethicus. Rasionalitas,
utilitas, dan eksistensi manusia sebagai makhluk ekonomi, agaknya menjadi pilar-pilar utama dalam kerangka
pemikiran ekonomi konvensional yang bersifat individualistis
dan mengedepankan kepentingan pribadi. Akumulasi kapital yang sebesar-sebesarnya, adalah menjadi tujuan utamanya.
Pernyataan
Adam Smith yang cukup populer dalam khasanah perkembangan pemikiran ekonomi
klasik dan neoklasik, adalah bahwa tindakan
individu yang mementingkan diri sendiri pada akhirnya membawa kebaikan seluruh masyarakat. Karena itu, jika setiap
orang dibiarkan untuk mengejar kepentingan masing-masing, maka tanpa disadari akan membawa kesejahteraan
bersama. Penyebabnya, karena ada tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) yang bekerja melalui proses
kompetisi yang berlangsung dalam mekanisme pasar.
Dengan
demikian, maka mengarahkan setiap tindakan manusia adalah dibimbing oleh kepentingan pribadinya dan sangat
sedikit sekali dipengaruhi hubungan-hubungan sosial. Karena itu, maka sebagai implikasinya
jaringan sosial yang terkonstruksi dalam masyarakat tidak memberikan sumbangan yang bersifat
fungsional terhadap tindakan ekonomi individu. Konsekwensi logisnya, adalah terciptanya “integrasi sosial” dalam
masyarakat, bukan dipengaruhi oleh nilai-nilai
budaya dan agama yang dianutnya, melainkan disebabkan kebebesan
berfikir
dan bertindak rasionalnya dalam mengejar kepentingan pribadinya.
Studi
Heru Nugroho, misalnya, tentang perilaku rentenir di Bantul-Yogyakarta, selain
membuktikan adanya pertimbangan “rasionalitas”
dalam tindakan ekonomi individu dan masyarakat, namun hubungan-hubungan sosial juga tetap dipertahankan. Kecenderungan
ini, menunjukkan fenomena yang kuat bahwa kelekatan sosial (embeddedness) dalam
ekonomi sebagaimana teori Mark
Granovetter—yang dibentuk oleh nilai-nialai budaya dan agama masyarakatnya, turut membentuk
perilaku ekonomi rentenir di Bantul. Heru Nugroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Oleh
karena itu, pemikiran ekonomi konvensional cenderung menafikan sistem nilai agama. Sebaliknya, menempatkan “tindakan
rasional ekonomi” sebagai suatu hal yang esensial untuk memotivasi keinginan yang lebih
bersifat individual dalam rangka memenuhi segala “kebutuhan diri sendiri”, dengan cara memaksimalkan kekayaan,
konsumsi, dan juga kapital. Kehadiran
individu adalah sebaik-baik penentu bagi kebutuhan pribadinya sendiri, yang
harus diberikan kebebasan untuk
memilih berbagai alternatif yang terbaik bagi dirinya. Adapun mekanisme pasar memposisikan nilai-nilai
moralitas kemanusiaan dan kinerja institusi sosial masyarakat, hanya berfungsi sebagai
faktor pelengkap bagi pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.
Menurut
Umer Chapra (2001), dengan kecenderungan yang demikian itu semakin mendapatkan penguatan dari bingkai
pemikiran filsafat darwinisme sosial. Sebagai suatu bentuk kemampuan individu manusia dalam hal
mengikuti seleksi alam agar bisa bertahan hidup. Dan juga pandangan materialisme untuk
memaksimalkan potensi kepemilikan secara material, dalam rangka pencapaian “kenikmatan
fisik-jasmani” (utilitarianisme hedonis) sebagai tujuan akhir yang perlu dicapai oleh setiap usaha
manusia.
Umer
Chapra, sebagai salah seorang ilmuwan ekonomi Muslim kontemporer, yang
mengkritisi paradigma pemikiran positivisme dan
formalisme ekonomi konvensional (klasik dan neo-klasik) dalam
bukunya The Future of Economics:
An Islamic Perspective, Syari’ah Economics and Banking Institut,
Jakarta, 2001.
Proses
rasionalisasi yang secara esensial berakar dalam tradisi pemikiran
filsafat masyarakat Barat, selanjutnya
merambah pada berbagai bidang kehidupan lain, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian
menjelma sebagai “motif utama” dari tindakan individu yang didasarkan pada pertimbangan
“untung-rugi” ketika mereka melakukan inter-aksi sosial. Sebagai akibatnya, adalah terjadinya
pergeseran nilai tindakan sosial individu dalam masyarakat, yang sebelumnya memiliki pemaknaan secara
kualitatif, kemudian dipahami dengan kerangka pemikiran yang kuantitatif. Karenanya,
persoalan kehidupan ekonomi perlu diletakkan di atas realitas dan semangat “kalkulasi manfaat
dari setiap pengeluaran” (cost-benefit calculation).
Proses
rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat, kemudian memasuki berbagai
bidang kehidupan, merupakan aplikasi
konseptual dari pemikiran “rasionalitas instrumental” Max Weber, yang tidak
hanya berpengaruh pada bidang
ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan budaya. Dalam kehidupan ekonomi,
dengan “rasionalisasi” telah
berhasil merombak sistem ekonomi subsisten yang berorientasi kecukupun
terhadap kebutuhan konsumsi pada “ekonomi
pasar” yang mengedepankan perhitungan untung-rugi. Dalam kehidupan sosial
politik dan budaya, rasionalisasi pun
mendorong proses demokrasi, dan juga birokrasi untuk mencapai tujuan efisiensi.
Heru Nugroho, Op Cit, 2001, h.
23.
Simplifikasi
psikologi sosial terhadap proses rasionalisasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, semakin
menjauhkan pemikiran ekonomi pada pertimbangan yang esensial dari
sistem nilai budaya dan agama. Dengan pengertian lain, bahwa “etos ekonomi” yang membentuk tindakan individu, adalah
didorong kemampuan rasionalitas yang dimilikinya. Artinya, tanpa ada hubungannya dengan nilai-nilai budaya dan agama
yang dianutnya. Bagi para
ekonom
klasik dan neo-klasik yang menggunakan paradigma berpikir positivistik
berargumen, bahwa setiap persoalan
ekonomi harus bisa dinyatakan jawabannya secara empiris dan juga mate-matis. Kekuatan
pasar, misalnya, hanyalah menjadi instrumen dasar yang kuat untuk menentukan bagaimana pengalokasian suatu
bentuk sumber daya ekonomi didistribusikan, kemudian
dianalisis dan diprediksi, agar mendapatkan gambaran yang terjadi. Karena peran
ilmu ekonomi adalah menggambarkan
dan menjelaskan fenomena ekonomi yang berkembang di masyarakat dengan perangkat hipotesis
yang teruji dan tidak terbantahkan secara statistik.
Kritik
tajam yang juga ditujukan pada paradigma pemikiran ekonomi konvensional, adalah
seperti yang ditulis oleh salah seorang pemikir
ekonomi kontemporer Inggeris, Paul Omerod dalam karyanya The Death of
Economics, Faber and Faber, London,
1994.
No comments:
Post a Comment