Powered By Blogger

Wednesday, 24 April 2013

ETOS KERJA


ETOS KERJA

Akar kata etos (ethos) adalah berasal dari bahasa Yunani. Dari kata tersebut, pada awalnya hanya mengandung pengertian sebagai “adat kebiasaan” (Sinamo, 2005). Karena itu, etos dapat membentuk “karakter dasar” bagi masyarakat yang menganutnya. Namun, dalam proses perkembangan selanjutnya, kemudian menjadi suatu konsep pemikiran yang menjelaskan tentang bagaimana terbentuknya “spirit kehidupan” atau “jiwa khas” yang dimiliki suatu bangsa (Madjid, 2000). Munculnya etos yang kuat untuk memotivasi kehidupan masyarakat, adalah berkaitan dengan proses perkembangan sosio-historis dan kultural yang telah berlangsung lama (Laurence, 2009).

Seiring dengan perkembangan peradaban Barat dari konteks klasik yang bersifat teosentrisme pada yang antroposentrisme, kata etos pun mengalami perluasan makna. Pengertian etos, tidak hanya menunjuk pada spirit kehidupan suatu masyarakat yang berakar dari “tradisi kebiasaan” mereka, tetapi sudah menjadi lebih bersifat dinamis. Jansen Sinamo mendefinisikan etos, sebagai the characteristic spirit of a culture, era, or community as manifested in its attitudes and aspirations. Atau pun guiding beliefs of a person, group or institution.

Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Sinamo tersebut, maka secara mendasar pengertian etos dapat dirumuskan dalam dua konsep pemikiran. Pertama, merupakan karakteristik jiwa (spirit) dari suatu kebudayaan yang dimiliki komunitas tertentu, dalam mewujudkan sikap kepribadian mereka dan aspirasi yang mereka miliki. Kedua, sebagai instrumen penuntun dalam menjalani kehidupan, baik secara perorangan, kelompok, maupun dalam institusi.

Karenanya, etos dapat memberikan spirit untuk mencapai kesuksesan kerja, baik individu, kelompok, maupun institusi (formal dan informal). Terkait dengan hal tersebut, Sinamo merumuskan delapan bentuk ethos profesional untuk mencapai kesuksesan dalam menunaikan pekerjaan. Menurutnya, kerja adalah: rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, kehormatan, seni, dan juga pelayanan. Namun, kedelapan ethos tersebut semestinya dapat bersinergis dengan kuantitas sukses (karakter, kompentensi, konfidensi, dan karisma). Selanjutnya, digerakkan oleh empat kecerdasan utama (spiritual quotien, emotional quotien, adversity quotien, dan financial quotien).

Pertama, spiritual quotien adalah merupakan manifestasi dalam porses transendensi dari wilayah material ke spiritualitas. Karenanya, aktivitas kerja tidak hanya dilihat sebagai media pencarian sumber kehidupan atau pun harta kekayaan, tetapi juga menjadi sarana pengabdian kepada Tuhan dan sesama manusia. Kedua, emotional quotien, adalah sebagai sarana proses transformatif. Yang berlangsung secara internal-personal untuk menumbuhkan kesadaran diri sendiri pada yang eksternal-interpersonal dalam konstelasi relasi sosial Tujuannya, adalah untuk mewujudkan kesadaran kolektif, hingga mencapai keksuksesan bersama. Ketiga, adversity quotien, adalah suatu bentuk pengembangan kreativitas individu dan kolektivitas. Kecerdasan ini diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang menjadi tantangan atau penghambat untuk mewujudkan upaya kesuksesan. Keempat, financial quotien adalah suatu bentuk kemampuan manajerial yang diperlukan oleh setiap individu dan kelompok masyarakat. Dengan kecerdasan tersebut, menjadi pembimbing dalam pengelolaan kekayaan material secara efektif, efisien, dan fungsional.

Rochman Achwan (2009), yang melakukan review terhadap konsep pemikiran Banfield dan W.G. Summer, mendefinisikan etos sebagai keseluruhan karakteristik adat kebiasaan (usages), gagasan-gagasan (ideas), patokan-patokan (standars), dan kode-kode yang dengan hal itu suatu kelompok terbedakan (differentiated) dan terindividukan (individualised) dalam hal karakter atau ciri dari kelompok-kelompok lain. Pada konteks yang lebih sempit, misalnya, karakter tersebut bisa saja melekat pada kategori “familsme amoral” (amoral familism). Yang menggambarkan suatu keadaan dimana solidaritas dan perasaan memiliki tidak melampaui lingkungan rumah. Hal ini menandakan sebagai suatu etos yang meniadakan kolaborasi dari luar lingkaran keluarga yang terbatas. Dengan demikian, maka “fimilisme amoral” cenderung memaksimalkan material yang beorientasi keuntungan jangka pendek bagi keluarga inti. Karena mereka mengasumsikan bahwa semua orang luar (the others) akan melakukan hal yang sama sebagai aturan (rule) ketika mereka bertindak.

No comments:

Post a Comment