ETOS KERJA
Akar
kata etos (ethos) adalah berasal dari bahasa Yunani. Dari kata tersebut,
pada awalnya hanya mengandung
pengertian sebagai “adat kebiasaan” (Sinamo, 2005). Karena itu, etos dapat membentuk “karakter dasar”
bagi masyarakat yang menganutnya. Namun, dalam proses perkembangan selanjutnya, kemudian menjadi suatu konsep
pemikiran yang menjelaskan tentang
bagaimana terbentuknya “spirit kehidupan” atau “jiwa khas” yang dimiliki suatu
bangsa (Madjid, 2000). Munculnya
etos yang kuat untuk memotivasi kehidupan masyarakat, adalah berkaitan dengan proses perkembangan sosio-historis
dan kultural yang telah berlangsung lama (Laurence, 2009).
Seiring
dengan perkembangan peradaban Barat dari konteks klasik yang bersifat teosentrisme pada
yang antroposentrisme, kata etos pun mengalami perluasan makna.
Pengertian etos, tidak hanya menunjuk
pada spirit kehidupan suatu masyarakat yang berakar dari “tradisi kebiasaan” mereka, tetapi sudah menjadi
lebih bersifat dinamis. Jansen Sinamo mendefinisikan etos, sebagai the characteristic
spirit of a culture, era, or community as manifested in its attitudes and aspirations. Atau
pun guiding beliefs of a person, group or institution.
Merujuk
pada definisi yang dikemukakan oleh Sinamo tersebut, maka secara mendasar pengertian etos dapat
dirumuskan dalam dua konsep pemikiran. Pertama, merupakan karakteristik jiwa (spirit) dari
suatu kebudayaan yang dimiliki komunitas tertentu, dalam mewujudkan sikap kepribadian mereka dan
aspirasi yang mereka miliki. Kedua, sebagai instrumen penuntun dalam menjalani
kehidupan, baik secara perorangan, kelompok, maupun dalam institusi.
Karenanya,
etos dapat memberikan spirit untuk mencapai kesuksesan kerja,
baik individu, kelompok, maupun
institusi (formal dan informal). Terkait dengan hal tersebut,
Sinamo merumuskan delapan bentuk ethos
profesional untuk mencapai kesuksesan dalam menunaikan pekerjaan. Menurutnya, kerja adalah: rahmat,
amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, kehormatan,
seni, dan juga pelayanan. Namun, kedelapan ethos tersebut
semestinya dapat bersinergis dengan kuantitas
sukses (karakter, kompentensi, konfidensi, dan karisma). Selanjutnya, digerakkan oleh empat
kecerdasan utama (spiritual quotien, emotional quotien, adversity quotien, dan financial
quotien).
Pertama,
spiritual quotien adalah merupakan manifestasi dalam porses transendensi dari
wilayah material ke spiritualitas. Karenanya,
aktivitas kerja tidak hanya dilihat sebagai media pencarian sumber kehidupan
atau pun harta kekayaan, tetapi juga
menjadi sarana pengabdian kepada Tuhan dan sesama manusia. Kedua, emotional quotien, adalah
sebagai sarana proses transformatif. Yang berlangsung secara internal-personal
untuk menumbuhkan kesadaran diri
sendiri pada yang eksternal-interpersonal dalam konstelasi relasi sosial
Tujuannya, adalah untuk mewujudkan
kesadaran kolektif, hingga mencapai keksuksesan bersama. Ketiga, adversity
quotien, adalah suatu bentuk
pengembangan kreativitas individu dan kolektivitas. Kecerdasan ini diperlukan
untuk mengatasi berbagai masalah yang
menjadi tantangan atau penghambat untuk mewujudkan upaya kesuksesan. Keempat, financial quotien adalah
suatu bentuk kemampuan manajerial yang diperlukan oleh setiap individu dan
kelompok masyarakat. Dengan
kecerdasan tersebut, menjadi pembimbing dalam pengelolaan kekayaan material
secara efektif, efisien, dan fungsional.
Rochman
Achwan (2009), yang melakukan review terhadap konsep pemikiran Banfield dan W.G. Summer, mendefinisikan
etos sebagai keseluruhan karakteristik adat kebiasaan (usages), gagasan-gagasan
(ideas), patokan-patokan (standars), dan kode-kode yang dengan hal itu suatu kelompok terbedakan
(differentiated) dan terindividukan (individualised) dalam hal karakter atau ciri dari
kelompok-kelompok lain. Pada konteks yang lebih sempit, misalnya, karakter tersebut bisa saja
melekat pada kategori “familsme amoral” (amoral familism). Yang
menggambarkan suatu keadaan dimana solidaritas dan perasaan memiliki tidak melampaui lingkungan rumah. Hal ini
menandakan sebagai suatu etos yang meniadakan kolaborasi dari luar lingkaran keluarga yang terbatas. Dengan
demikian, maka “fimilisme amoral” cenderung
memaksimalkan material yang beorientasi keuntungan jangka pendek bagi keluarga inti. Karena mereka
mengasumsikan bahwa semua orang luar (the others) akan melakukan hal yang sama sebagai aturan (rule)
ketika mereka bertindak.
No comments:
Post a Comment