KOMUNITAS MIGRAN
GU-LAKUDO
Salah
satu fokus studi para ilmuwan sosial adalah berkaitan dengan keberadaan suatu komunitas masyarakat. Meskipun dari
hasil studi mereka juga menghasilkan pengertian yang beragam tentang konsep dasar komunitas.
Tonnies (1963), membedakan komunitas dalam dua kategori,
yaitu: Gemienschaft dan Gesellchaft sebagai suatu bentuk kerja
sama bagi manusia yang berlangsung secara
tipikal.
Pembedaan
secara tipikal yang dilakukan Tonnies, adalah untuk membedakan bagaimana tipe
hubungan kerja sama komunitas masyarakat
pedesaan yang berbasis pada keluarga ekstended yang cenderung bersifat Gemienschaft dengan yang ada di kota-kota negara
kapitalis modern yang lebih berbentuk Gesellchaft. Dari kedua kategori
ini, menurut Tonnies, merupakan type
ideal tentang eksistensi komunitas.
Gemienschaft
menunjuk pada karakterisasi yang dapat teridentifikasi dengan
kuat, misalnya: emosional,
tradisional, dan juga konsep yang holistik tentang keanggotaan dalam komunitas yang sama. Adapun hubungan
kerja sama yang bersifat Gemienschaft tersebut, adalah didasarkan atas keinginan yang alami,
misalnya: kedekatan emosional, tradisi budaya, ikatanikatan kekeluargaan, etnisitas, dan keyakinan
agama, sebagai instrumen yang mengaturnya. Sedangkan
Gesellchaft, mencitrakan hubungan-hubungan yang dibangun di atas
“keinginan yang bersifat rasional”. Dengan
demikian, maka di dalamnya mengandung unsur-unsur: rasionalitas, individualitas, dan emotional
disanggement.
Menurut
George Hillery (1955), setidaknya ada tiga hal mendasar yang menonjol pada suatu komunitas, yaitu: (1)
berlangsungnya interaksi sosial; (2) bermukim di suatu wilayah geografis yang sama; dan (3) memiliki
keterikatan bersama, misalnya: sistem nilai budaya, keyakinan, pekerjaan, dan kekerabatan.
Oleh karena itu, ada tiga elemen dasar yang dapat diamati terhadap keberadaan komunitas, seperti: (1) wilayah (area)
pemukiman; (2) common ties (keluarga,
etnisitas, dan agama); serta (3) interaksi sosial yang cenderung bersifat
variatif.
Sementara
itu, Jim Ife dan Frank Toseriero (2008), mengkonsepsikan komunitas dalam dua bentuk, yaitu: komunitas geografis
dan fungsional. Terbentuknya komunitas geografis, adalah berbasis pada keberadaan
lokalitas tertentu, apakah di wilayah pedesaan atau di perkotaan. Sedangkan terbentuknya
komunitas fungsional, karena ada faktor-faktor lain yang mendasari yang dimiliki bersama,
sehingga dapat membentuk kesamaan identitas. Misalnya, komunitas akademik, komunitas pengajian
jama’ah masjid, atau komunitas lain, yang tidak berbasis pada lokalitas tertentu.
Ife
dan Toseriero juga mengidentifikasi, setidaknya ada lima ciri yang melekat pada
komunitas, yaitu: (1) terjadinya
interaksi-interaksi individu dalam skala yang cenderung terkendali; (2) adanya
identitas bersama dan perasaan memiliki; (3)
tanggung jawab yang memuat hak dan kewajiban; (4) hubungan yang bersifat
Gemeinschaft; dan (5) kebudayaan lokal
dengan memiliki ciri-ciri yang unik dari komunitas tersebut. Lihat Jim Ife dan
Frank Toseriero, Community
Development, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, h. 191-194.
Dengan
merujuk dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial tersebut, agaknya dapat digunakan
untuk mengkonsepsikan konteks sosial yang menonjol pada orang Gu-Lakudo sebagai komunitas
urban, khususnya di Kota Bau-Bau. Yang kemudian mereka juga merambah ke kota lain dalam
upaya pengembangan usaha ekonomi dan perluasan pasar perdagangan di Sulawesi Tenggara.
Sebagai
dasar pemikirannya, adalah mereka bermukim di wilayah geografis yang sama, seperti yang dapat kita amati di
kota Bau-Bau. Memang pada awalnya, mereka sebagai kaum urban yang belum memiliki kemapanan sosial
ekonomi, area pemukiman mereka hanya berada
di sekitar pasar dan masjid kota tersebut. Namun, setelah mereka
memiliki kemampuan ekonomi dan seiring dengan
perkembangan wilayah kota Bau-Bau yang lebih berorientasi pada perdagangan, mereka mulai mengembangkan
area pemukimannya pada lokasi-lokasi strategis untuk perdagangan. Tentu saja dengan cara membeli tanah-tanah
kosong dari warga masyarakat yang
tidak mampu berkompetisi dalam kehidupan kota modern yang lebih mengutamakan kemampuan ekonomi. Dengan demikian, maka
keberadaan orang Gu-Lakudo, merambah pada penguasaan
ruang-ruang fisik dan sosial di Kota Bau-Bau, sebagaimana halnya para pedagang Tionghoa dan Bugis-Makassar.
Kecuali
itu, mereka juga memiliki keterikatan bersama (common tie), misalnya:
tradisi budaya, sistem kekerabatan,
keyakinan agama, dan sumber kehidupan yang sama sebagai pedagang. Dengan ikatan kekerabatan dan
keyakinan agama yang sama, menjadi elemen yang kuat bagi terpeliharanya “kohesi sosial” mereka. Namun juga harus
diakui, bahwa orang Gu-Lakudo sebagaimana etnik lokal lain di Sulawesi Tenggara
yang bermukim di kota, telah mengalami
proses modernisasi. Karena itu, konteks kehidupan sosial mereka semakin terbuka yang disertai dengan pergesekan
kepentingan. tentu saja membawa implikasi pada terkikisnya elemen-elemen dasar kohesi sosial mereka
sebagai komunitas urban. Meskipun dari kecenderungan tersebut, belum tampak menonjol secara jelas ke
permukaan. Karena masih kuatnya bingkai kehidupan
keagamaan yang mereka praktekan dalam realitas keseharian mereka.
Terlepas
dari munculnya kecenderungan tersebut, sebagai salah satu etnik lokal yang melakukan urbanisasi dan bergelut
dengan aktivitas kehidupan ekonomi perkotaan, orang Gu-Lakudo justru tetap
mensinergiskan konsep Gemeinschaft dan Gesellchaft,13 seperti
yang dikonsepsikan oleh Tonies.
Karena di satu pihak, dengan berdasarkan pada keasamaan tradisi budaya, etnisitas, dan keyakinan agama,
mereka tetap mencitrakan fenomena sosial yang afinitas (affinity). Dalam
konteks ini, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang mereka pertahankan, tentu saja berkaitan dengan kesatuan
etnisitas, tradisi budaya lokal (bahasa dan pranata sosial), dan paham keagamaan dalam Islam yang
mereka anut. Namun di pihak lain, dengan keberadaan mereka sebagai komunitas urban yang
bergelut dalam aktivitas ekonomi modern di kota Bau-Bau, Raha, dan Kendari,
mereka juga menunjukkan perilaku hidup yang memenuhi tuntutan rasionalitas. Artinya, basis moralitas
yang bersumber dari ajaran agama Islam yang mereka anut adalah bersinergis dengan tindakan
rasionalitas dalam pengembangan usaha perdagangan.
No comments:
Post a Comment