Powered By Blogger

Wednesday, 17 April 2013

RITUS ANEH DI KUIL HUMANISME


RITUS ANEH DI KUIL HUMANISME

Kaum Mason ingin menjadikan seluruh dunia sebagai sebuah “kuil”. Namun, kuil yang mereka 
mimpikan bukan kuil agama sejati melainkan kuil humanisme. Mereka mengimpikan sebuah dunia 
tempat humanitas diberhalakan, dan manusia telah sepenuhnya mengingkari agama sejati, serta filosofi 
evolusionis dianggap sebagai satu-satunya filosofi yang benar.

Di dalam teks Masonik, sebuah upacara aneh yang diselenggarakan untuk maksud ini dijelaskan: 
Saat ini, sebuah agama universal sedang mewujud, seperlahan-lahan mungkin, sehingga dapat 
memuaskan kesadaran akan artinya yang sepenuhnya…. Bersamaan dengan agama universal ini, sebuah 
moralitas akan terbangun sepadan dengan pandangan akan dunia…. Agama seperti ini akan menyatukan 
umat manusia di alam semesta. Itulah MASONRY. Agama ini akan diteruskan dari hati ke hati. Kuil 
agama ini kelak adalah kuil humanitas. Di antara himne yang dinyanyikan di dalam kuil ini barangkali 
Simfoni ke-9 Beethoven, komposisi musik paling mulia yang pernah muncul dari jiwa manusia….

Alih-alih daging dan darah banteng sebagaimana pada upacara-upacara Mithra, kita merayakan 
kelahiran ini dengan memakan roti dan meminum anggur merah. Di sini kita bersatu di dalam 
kepercayaan bersama yang mempunyai karakter sebuah komuni. Di sebuah tahun baru, Saya ingin 
membaptiskan perjuangan suci kita ini dan mengakhirinya: Makanlah sepotong roti lagi, saudara-
saudaraku, kalian adalah misionaris agama ini, biarlah semua orang suci yang berbagi roti ini menjadi teman. Saudara-saudaraku, untuk menjadi saudara sedarah, minumlah seteguk nyala lagi dari gelas anggur kalian.

Menurut sejarawan Inggris Michael Howard, loge-loge Masonik memfokuskan upaya mereka pada paro kedua abad kesembilan belas untuk menumbangkan dua Kekaisaran penting yang tersisa: Kekaisaran Austro-Hungaria dan Rusia, dan dapat mencapai sasaran mereka sebagai akibat Perang Dunia I.

Dengan kata lain, pada awal abad kedua puluh, dalam skala luas, Masonry telah mencapai sasaran revolusi sosiopolitiknya.

Oleh karena itu, abad kedua puluh bukanlah sasaran revolusi Masonik. Karena beranggapan tidak menghadapi halangan lagi, alih-alih merencanakan plot-plot politik, kaum Mason lebih suka
menyebarkan filosofi mereka. Mereka menebarkan filosofi materialis dan humanis kepada massa
dengan kedok sains, atau melalui seni, media, sastra, musik dan semua wahana budaya populer. Dengan propaganda ini kaum Mason tidak bermaksud menghapuskan agama-agama ilahiah melalui sebuah revolusi seketika; mereka hendak mencapainya melalui jangka panjang, dan memperkenalkan filosofi mereka kepada semua orang sedikit demi sedikit.

Seorang Mason berkebangsaan Amerika menyimpulkan metode ini sebagai berikut:

Freemasonry bekerja dengan diam-diam, namun ini adalah kerja bagaikan sebuah sungai yang dalam, yang diam-diam mendorong menuju lautan.

Pendeta tinggi J.W. Taylor, dari negara bagian Georgia di AS, membuat komentar menarik ini tentang hal yang sama:

Pengalihan tema-tema lama dan pembentukan yang baru tidak selalu timbul dari penyebab yang segera tampak yang ditetapkan dunia, namun merupakan kulminasi dari prinsip-prinsip yang telah bekerja selama bertahun-tahun dalam pikiran manusia, sampai akhirnya waktu yang tepat dan lingkungan yang sesuai menghidupkan kebenaran laten itu... menggairahkan semua dengan sebuah penyebab umum yang kuat dan menggerakkan bangsa-bangsa laksana satu diri menuju pewujudan akhir yang agung. Dengan prinsip inilah Lembaga Freemasonry menyebarkan pengaruhnya ke dunia manusia. Freemasonry bekerja secara diam-diam dan rahasia, namun menerobos semua celah masyarakat dalam banyak relasinya, dan mereka yang menerima banyak kebaikannya terpesona akan pencapaiannya yang luar biasa, tetapi tidak dapat menduga dari mana datangnya.

Menurut majalah Voice yang diterbitkan oleh Loge Besar di Chicago, ” Maka, secara diamdiam namun pasti dan berkesinambungan, Masonry mengisi struktur besar masyarakat manusia” ”Pengisian struktur besar” ini akan terwujud ketika dasar-dasar filosofi Masonik materialisme, humanisme, dan Darwinisme diterima masyarakat.

Aspek paling menarik dari strategi diam-diam dan jauh ini adalah bahwa para Mason yang melaksanakannya hampir tidak pernah mengungkapkan bahwa hal itu dilaksanakan atas nama Masonry. Mereka melakukan pekerjaannya di bawah berbagai identitas, judul, posisi kekuatan yang berbeda, namun mereka menyebarkan filosofi yang mereka ambil melalui Masonry kepada masyarakat. Seorang Imam Mason Turki, Halil Mulkus, menjelaskan ini dalam sebuah wawancara beberapa tahun yang lalu:

Masonry sebagai Masonry tidak melakukan sesuatu pun. Masonry menuntun pribadi-pribadi; dan pribadi-pribadi yang terlatih di sini, serta para Mason yang berkontribusi bagi produksi perkembangan intelektual berada pada berbagai tingkat dalam karir mereka di tempat tinggal mereka di dunia. Mereka adalah rektor-rektor universitas, profesor, menteri negara, dokter, kepala administrasi di rumah sakit, pengacara, dan sebagainya. Di mana pun mereka hidup, mereka bertekad keras untuk menyebarkan ide-ide Masonik yang telah membentuk mereka ke tengah masyarakat.

Namun, ide-ide ini, yang dengan gigih dikaji dan coba diindoktrinasikan kepada masyarakat, sebagaimana telah kita pahami pada bagian-bagian sebelumnya, tidak lebih dari kebohongan. Filosofi Masonry berakar dari berbagai sumber seperti mitos-mitos Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Kabbalah. Dalam hasrat mereka untuk menyampaikan mitos-mitos ini kepada masyarakat, terkemas dalam paket sains dan logika, Mason menipu baik diri mereka maupun orang lain. Dalam era globalisasi, inilah peran ”Freemasonry Global”.

Hasil dari kebohongan ini sangat merusak. Program menjauhkan masyarakat dari agama yang dijalankan oleh Masonry di abad kedelapan belas dan kesembilan belas, membangkitkan berbagai ideologi neo-pagan seperti rasisme dan fasisme, serta ideologi sekuler dan kejam seperti komunisme. Penyebaran Darwinisme sosial mengubah manusia menjadi hewan yang berjuang untuk keberadaannya, yang hasil brutalnya muncul di paro kedua abad kesembilan belas dan kedua puluh. Perang Dunia I adalah hasil karya para pemimpin Eropa yang, atas anjuran Darwin, memandang perang dan pertumpahan darah sebagai kebutuhan biologis. Selama perang, sepuluh juta orang mati sia-sia. Perang Dunia II yang mengikutinya, yang menyebabkan kematian 55 juta orang, juga merupakan hasil karya totalitarianisme, seperti fasisme dan komunisme, yang merupakan hasil dari benih sekularisme militan yang ditaburkan oleh kaum Mason. Di seluruh penjuru dunia, selama abad kedua puluh, semua perang, konflik, kekejaman, kesewenang-wenangan, eksploitasi, kelaparan, dan kemerosotan moral yang destruktif, pada dasarnya adalah produk dari berbagai filosofi dan ideologi tak beragama. (Untuk rinciannya, lihat karya Harun Yahya, Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme).

Singkatnya, filosofi Masonry telah berbuah kepahitan. Kejadiannya tidak bisa sebaliknya sebagaimana pada hukum ilahiyah. Secara historis, orang-orang pagan yang menolak agama Tuhan itu, dengan merujuk pada berbagai mitologi tradisional dan agama nenek moyang mereka, menempuh jalan menuju kehancuran. Freemasonry, sebuah pewujudan masa kini dari paganisme ini, sedang menyeret diri mereka, dan seluruh dunia kepada jurang kebinasaan.

Oleh karena itulah umat manusia harus melindungi diri dari potensi malapetaka ini, dengan mengatasi intimidasi dari apa dirujuk oleh Bediuzzaman Said Nursi, seorang sarjana Islam, sebagai ”penyakit yang bernama materialisme dan naturalisme”, dan dengan begitu mempertahankan keimanan masyarakat.

No comments:

Post a Comment