PASAR (INSTITUSI
EKONOMI)
Dalam
perspektif ekonomi murni, pasar (market) hanya cenderung dikonsepsikan sebagai tempat berlangsungnya proses
“transaksi jual-beli barang dan jasa” antara penjual dengan pembeli. Artinya, tanpa memiliki
keterkaitan dengan berbagai institusi sosial lainnya, misalnya budaya dan agama. Oleh karena
itu, pasar berfungsi menjadi sebuah institusi ekonomi yang bekerja menurut mekanisme
pengaturan diri sendiri, yang dikenal dengan “hukum pasar”.
Pada
konteks tersebut, basis moralitas yang telah berakar dengan kuat dalam masyarakat, tidak memiliki ruang yang
cukup kondusif untuk berkembang di pasar. Karena pasar hanya sekedar
mempertemukan para penjual dan pembeli dengan orientasi perhitungan untung-rugi. Tindakan rasional ekonomi
individu yang berlangsung di pasar, tidak dipengaruhi hubungan-hubungan sosial yang ada dan
telah berkembang dalam masyarakat. Artinya, inter-aksi antar-individu di pasar adalah
bersifat “atomisasi sosial” (individualitas). Konsepsi pemikiran yang demikian ini, sesuai dengan asumsi
dasar yang dikembangkan oleh para ilmuwan ekonomi klasik, yang menempatkan manusia sebagai “makhluk ekonomi” (homo
economicus).
Ini
berbeda dengan konsep pemikiran sosiologi atau pun anropologi ekonomi. Keberadaan pasar dikonsepsikan
sebagai sebuah institusi ekonomi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan
interaksi sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses
transaksi jual-beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan
suatu sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang
besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan oleh hubungan-hubungan yang melembaga dan
secara simultan lebih bersifat ekonomi dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena
mengaitkan hubungan mereka dengan tersedianya pasokanpasokan barang dan uang. Sedangkan secara
sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan,
dan klien (Alexander, 1999, h. 291).
Merujuk
pada konsep pemikiran tersebut, maka pasar sebagai lembaga ekonomi masyarakat merupakan ekspresi dari
hubungan-hubungan sosial. Dengan pengertian lain bahwa tindakan ekonomi yang dilakukan oleh
setiap individu—baik penjual maupun para pembeli-yang berlangsung di pasar, pada
hakekatnya dipengaruhi oleh konteks sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena
memang aktivitas ekonomi menjadi bagian tak terpisahkan
dari kehidupan sosial, yang keberadaannya mengakar dengan kuat dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Artinya, meskipun
tindakan ekonomi yang berlangsung di pasar
mengedepankan kalkulasi untung-rugi, tetapi juga merupakan bagian
dari konstruksi sosial (Nugroho, 2001, h. 39).
Apa
yang menjadi realitas ekonomi yang terkonstruksi di pasar, juga
merupakan suatu realitas sosial. Oleh
karena aktivitas ekonomi yang berlangsung di pasar dengan melibatkan para penjual dan pembeli
dalam bentuk pertukaran barang dan jasa. Namun, dalam proses pertukaran tersebut bukan hanya
menunjuk pada keberlangsungan transaksi ekonomi semata. Tetapi juga menandakan terjadinya “peristiwa sosial” yang
mendorong berlangsungnya proses interaktif antar-individu
dan terbangunnya hubungan-hubungan personal yang membentuk “jaringan sosial”, baik secara formal maupun informal.
Terbentuknya
pasar adalah sebagai suatu konsekwensi logis terhadap pelembagaan transaksi jual-beli melalui perdagangan.
Menurut Hans-Dieter Evers (1994) bahwa tidak ada pasar tanpa proses perdagangan, sebaliknya tidak ada perdagangan tanpa
adanya pasar. Terkait dengan
konteks ini, maka Evers pun mengkonsepsikan pasar sebagai sebuah
“institusi sosial” yang di dalamnya diatur oleh
norma-norma dan sanksi-sanksi, kemudian digerakkan oleh proses inter-aksi sosial. Dalam hal ini, para
pedagang sebagai “kelompok pekerja” yang justru menempati posisi sentral ketika berlangsungnya inter-aksi sosial.
Karena harga-harga berbagai kebutuhan
konsumen di pasar ditentukan oleh para penjual. Namun, yang menjadi starting
point terhadap konsepsi tersebut,
adalah bahwa pasar tidak hanya sekedar berfungsi sebagai sebuah institusi ekonomi yang secara riel
terlembagakan dengan pertukaran barang dan jasa melalui pengembangan aktivitas perdagangan.
Tetapi juga sebagai salah satu “institusi masyarakat” yang
memang
terkonstruksi secara sosial, yang justru mendorong berlangsnungnya mekanisme
sosial
(Nugroho,
2001).
Sejalan
dengan argumen tersebut, maka sebagaimana yang ditekankan oleh Mark Granovetter (1985), bahwa tindakan
ekonomi individu adalah memiliki “ketertambatan” (embedded) yang kuat dalam konteks
jaringan-jaringan sosial masyarakat. Oleh karenanya, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
individu, kelompok, dan komunitas adalah juga dirangsang oleh hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan sebagai
suatu realitas yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka keberadaan pasar sebagai institusi ekonomi, bukan hanya sekedar berfungsi
mempertemukan penjual dengan pembeli yang secara rasional melakukan transaksi jual-beli atau pun pertukaran barang
dan jasa. Namun juga menjadi tempat
berlangsungnya “transformasi nilai-nilai sosial” yang berimplikasi pada aspek
kehidupan yang lain, seperti: ekonomi,
politik, budaya, dan agama (Robert W. Hefner, 1999).
Berkaitan
dengan konseptualisasi tentang pasar sebagai institusi ekonomi adalah bahwa setiap aktivitas ekonomi tidak
terlepas dari hubungan-hubungan sosial yang terus berkembang dalam masyarakat. Kecenderungan seperti ini, bukan
hanya menonjol pada konstelasi ekonomi
tradisional, bahkan juga dapat diamati dalam perkembangan ekonomi modern. Misalnya, dalam hal “pencarian
kerja” di wilayah perkotaan, informasinya tidak hanya datang dari pasar tenaga kerja,
tetapi boleh jadi terakses melalui jaringan keluarga, kerabat, teman atau sumber informasi lainnya.
No comments:
Post a Comment