Powered By Blogger

Thursday, 25 April 2013

ETIKA PROTESTAN DALAM KAPITALISME


ETIKA PROTESTAN DALAM KAPITALISME

Sejak Max Weber mulai mempublikasikan hasil studi empiriknya yang mengkonsepsipkan terjadinya konvergensi antara sistem nilai agama dengan munculnya kapitalisme modern pada masyarakat Barat (The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism), menjadi momentum baru terhadap perkembangan pemikiran paradigmatik dan teoretik dalam  kajian sosiologi ekonomi. Yang analisisnya, justru mempertautkan sistem nilai keagamaan dengan perilaku rasional individu dalam mendorong perkembangan ekonomi masyarakat.

Giddens, dalam pengantarnya terhadap tesis Max Weber, menyatakan bahwa salah satu tema penting yang dikonsepsikan Max Weber, adalah apa yang dimaksudkan dengan aktivitas kapitalistik diasosiasikan dengan organisasi rasional buruh yang secara formal memiliki administrasi yang terukur dalam perusahaan-perusahaan yang berfungsi secara kontinyu. Anthony Giddens dalam Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, Routledge, London and New York, 1992.

Meskipun Weber sendiri, tidak menafikan pengaruh “tradisi pemikiran rasional” yang sudah berakar dalam konteks kehidupan masyarakat Barat sebagai bentuk rasionalitas instrumental (purposive rationality) yang dapat memotivasi perilaku ekonomi individu, hingga mendorong perkembangan kapitalisme. Karena kecenderungan seperti ini, adalah merupakan “hasrat yang bersifat alamiah” setiap manusia untuk mendapatkan kekayaan material. Selain adanya pengaruh rasionalitas tersebut, menurut konsepsi Weber, juga ada unsur lain yang bersifat esensial yang menjadi pendorong munculnya kapitalisme, yaitu nilai-nilai doktrinal keagamaan yang bersumber dari ajaran Protestan-Calvinis. Dengan dorongan purposive rationality dan Protestan ethics, selanjutnya membentuk elective affinity. Yang memberikan suatu kerangka berpikir sosiologis bahwa “dua unsur” tersebut saling bertautan. Artinya, rasionalitas yang membimbing tindakan individu dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan, menjadi instrumen yang kuat dalam proses perkembangan kapitalisme modern, yang fenomenanya menonjol pada mobilitas ekonomi masyarakat industrial di dunia Barat.

Terjadinya proses konvergensi antara nilai-nilai etika dasar keagamaan varian Protestan (Calvinis, Methodis, Pietis, dan Baptis) dengan aktivitas ekonomi masyarakat Barat, selanjutnya mendorong perkembangan kapitalisme. Menurut Max Weber, adalah berawal dari munculnya “gerakan reformasi pemahaman keagamaan” yang dilakukan oleh Martin Luther. Konsepsi untuk membumikan paham agama, terambil dari bahasa Jerman (beruf) atau dalam kosa-kata bahasa Inggeris (calling), yang menunjuk pada pengertian sebagai “panggilan”, adalah suatu tugas suci yang dikehendaki Tuhan. Sebagai hasil elaborasi dari konsep pemikiran Max Weber menurutnya sesuai dengan fenomena yang berkembang dalam kehidupan kaum puritan Protestan terhadap varian keagamaan: Calvinis, Methodis, Pietis, dan Baptis.

Oleh karenanya, tidak dapat disangsikan lagi, bahwa penilaian atau penafsiran mengenai pemenuhan tugas yang berkaitan dengan masalah duniawi sebagai bentuk yang paling tinggi yang dapat diasumsikan sebagai aktivitas-aktivitas moral individu. Inilah yang secara jelas dan pasti menyumbangkan sesuatu hal yang signifikan yang bersumber dari ajaran agama terhadap aktivitas kehidupan duniawi sehari-hari. Dan selanjutnya, menciptakan konsep hidup dari kata “panggilan” (calling) untuk pengertian tersebut. Implikasi positifnya secara lebih luas adalah dijadikannya konsepsi mengenai panggilan, menjadi suatu “dogma sentral” bagi keseluruhan penganut agama Protestan.

Ide tentang calling—menurut Anthony Giddens—yang dijadikan sebagai titik tolak dari tesis monumental Max Weber, memang sudah ada dalam doktrin keagamaan Martin Luther. Tetapi dalam perkembangannya, justru lebih ditegaskan kembali lewat ajaran Calvin, yang dikaitkan dengan konsep takdir atau nasib baik dan buruk tentang kehidupan manusia di dunia. Sehingga, Calvin sebagai pelanjut reformasi paham keagamaan Protestan, mencanangkan suatu doktrin teologis yang menyatakan bahwa: “hanya segelintir orang yang terpilih yang bisa terselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu sudah ditetapkan jauh sebelumnya oleh Tuhan”. Dengan doktrin seperti ini, telah membawa implikasi psikologis yang kuat bagi para pengikut Calvinis sendiri.

Setiap orang diwajibkan untuk meyakini dirinya sendiri sebagai “orang yang terpilih”. Karena dengan kurangnya keyakinan yang demikian itu, dapat dipandang sebagai suatu indikasi yang kuat yang menunjukkan kurangnya iman. Dengan “hasil kerja yang baik” dalam memenuhi tuntutan kepentingan duniawi adalah dapat diterima sebagai media pengaktualisasian di mana keyakinan itu semestinya ditujukan. Dengan demikian, maka kesuksesan calling pada akhirnya dikonsepsikan sebagai “tanda” atau “sinyal” bagi penentuan seseorang, apakah dia terpilih atau pun tidak. Akumulasi kekayaan memang diperbolehkan, sejauh itu diintegrasikan ke dalam prestasi besar dan juga gemilang untuk membuktikan adanya kesungguhan dalam menjalani kehidupan di dunia. Sebaliknya, akumulasi kekayaan akan mendapatkan kecaman yang keras, jika hanya dilakukan untuk menunjang kehidupan seseorang yang bermewah-mewah (hedonis).

Karena itu, bekerja untuk menumpuk kekayaan yang sebelumnya tidak mendapat ruang yang cukup kondusif dalam kehidupan beragama, lantaran dianggap melanggar doktrin teologi keagamaan, justru kemudian diterima sebagai “persyaratan mutlak” untuk menjadi orang yang terpanggil. Dengan konsepsi tersebut, bertujuan mengoptimalkan pengabdian terhadap Tuhan di dunia ini, sehingga bisa mendapatkan keselamatan diakhir hidupnya kelak. Munculnya hasrat terhadap pengumpulan kekayaan, memang diakaui Weber bahwa hal itu sudah berlangsung pada semua tempat dan kurun waktu yang lama. Namun, hasrat yang demikian itu, tidak selalu berkoneksi dengan aktivitas kapitalisme. Karena dalam bentuk aksi kapitalistik yang murni, adalah melibatkan orientasi kehidupan yang berlangsung secara reguler dan juga damai bagi pencapaian keuntungan melalui pertukaran ekonomi.

Dalam perkembangan studi sosiologi, pemikiran konseptual teoretik dari Max Weber yang mempertautkan etika Protestan dengan perkembangan kapitalisme tersebut, secara terus menerus dielaborasi oleh para ilmuwan sosial. Berkaitan dengan hal ini, Jonathan H. Turner dan Leonard Beeghley (1981) dalam The Emergence of Sociological Theory, mensistematisasikan kerangka pemikiran konseptual dan juga argumentatif dari Max Weber terkait dengan perkembangan kapitalisme. Hal ini adalah berawal dari perkembangan agama Katolik pada abad pertengahan di Eropa. Kemudian mendorong Martin Luther untuk menggulirkan semangat pembaruan paham keagamaan dan melahirkan Protestan.

Yang dalam perkembangannya memunculkan sekte-sekte keagamaan, misalnya varian Calvinisme, Pietisme, Methodisme, dan Baptist. Namun, yang cukup menonjol bagi kemunculan spirit kapitalsime, menurut Max Weber, justru tampak pada penganut Calvinisme. Dari varian ajaran keagamaan ini, kemudian menciptakan kondisi struktural untuk mendorong perkembangan kapitalisme, yang juga didukung dengan makin menguatnya tradisi rasionalitas terhadap perkembangan peradaban dunia modern pada masyarakat Barat.

Kecenderungan tersebut, menurut konsepsi pemikiran teoretik Max Weber, telah memunculkan “etika ekonomi” yang bersumber dari ajaran agama, khususnya dalam paham Protestan-Calvinisme. Yang mengkonsepsikan bahwa tindakan individu terhadap kehidupan dunia sebagai bentuk asketisisme aktif, dan bukannya asketisisme pasif seperti yang berkembang dalam mistisisme agama. Karena asketisisme yang disebutkan pertama, adalah memberikan dorongan yang kuat bagi para penganutnya agar menjalani kehidupan yang riel di dunia ini. Artinya, dengan dorongan asketisisme yang teraplikasikan secara rasional dalam rangka mengendalikan dan menguasai berbagai tantangan kehidupan dunia. Sementara itu, mistisisme dengan kekuatan kontemplasi spiritualnya cenderung “membelakangi” kehidupan dunia. Implikasi sosialnya, para penganut mistisisme cenderung tidak mengejar kepentingan keduaniaan, melalui penguasaan sumber daya ekonomi yang ada. Karena yang menjadi orientasinya, adalah kehidupan akhirat dengan mendapatkan balasan kebahagian yang abadi dari Tuhan, setelah meninggalkan kehidupan dunia. Bagan berikut ini memberikan gambaran tentang proses konvergensi antara etika Protestan dengan munculnya kapitalisme, menurut konsepsi pemikiran Max Weber.

Dalam proses konvergensi antara nilai-nilai agama dan ekonomi seperti yang dikonsepsikan oleh Max Weber tersebut, sebagai suatu bentuk pendekatan atau analisis sosiologi agama dan ekonomi. Perkembangannya telah merangsang munculnya berbagai konsep pemikiran baru tentang studi ekonomi. Karenanya, pendekatan posistivistik yang bersifat klasik dan neo-klasik serta konvensional semakin banyak dikritisi, baik dari para ilmuwan ekonomi sendiri maupun ilmuwan sosial. Dengan kecenderungan ini telah memunculkan berbagai varian pemikiran dalam perspektif ekonomi modern, sebagai suatu proses “pergumulan konseptualisasi teoretik” yang berlangsung secara terus-menerus.

Ilmuwan ekonomi yang melakukan kritik secara konstruktif terhadap pemikiran ekonomi konvensional, adalah Paul Ormerod. Dalam The Death of Economic, Omerod menyatakan bahwa pada hakekatnya “ilmu ekonomi telah mati”. Karena itu, para ilmuwan ekonomi perlu melakukan rekonstruksi pemikiran ekonomi dari yang konvensional pada yang baru. Paul Omerod, The Death of Economic, Faber and Faber, London, 1994.

Kritik para ilmuwan sosial terhadap pemikiran ekonomi konvensional, adalah seperti yang dilakukan oleh pendukung “pemikiran ekonomi substantivis” yang mengkritisi “pemikiran ekonomi formalis”. Yang pada awalnya dipelopori oleh antropolog ekonomi, Karl Polanyi, dengan konsepsi pemikirannya tentang adanya “kelekatan sosial” (embeddedness) dalam ekonomi.

Oleh karena itu, maka seiring dengan perkembangan studi sosiologi ekonomi, misalnya, kemudian ditandai dengan munculnya “varian pemikiran institusionalisme baru” (new institutionalism), sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Victor Nee (2005). Asumsi dasarnya, adalah bahwa tingkah laku manusia pada prinsipnya senantiasa dipengaruhi oleh sejumlah hubungan yang bersifat institusional (sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama).

Menurut Didik J. Rachbini, secara konseptual, memberikan pengertian tentang institusi adalah sebagai: a set of formal and informal rules of conduct that facilitate coordinator or govern relationships beetween individuals. Dengan institusi tersebut dapat menyiapkan seperangkat aturan, baik yang bersifat formal maupun informal, yang berfungsi untuk membimbing tindakan individu dan kolektivitas masyarakat, selanjutnya memfasilitasi terciptanya hubungan yang koordinatif di antara sesama individu.

Institusi merupakan segala sesuatu yang berulang-ulang terjadi dalam masyarakat. Karena yang menjadi kata kunci dari kemunculan institusi—menurut perspektif Rachbini adanya suatu aturan formal dan informal yang berfungsi untuk mengatur sistem kelembagaan masyarakat, agar menjadi tertib dan juga teratur dalam hubungan-hubungan sosial yang bersifat normatif. Dengan adanya institusi, maka dapat menciptakan “keteraturan tindakan individu” yang tejaga secara terus menerus. Implikasinya, tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Karenanya, dengan munculnya institusi dalam aktivitas dan sistem ekonomi masyarakat dapat mendorong kemajuan bersama.

Kerangka konsep pemikiran tersebut, tidak saja menguatkan tesis Max Weber tentang “pertautan yang kuat” antara etika Protestan dengan perkembangan institusi perekonomian kapitalisme. Tetapi juga semakin mendorong munculnya berbagai bentuk studi terhadap fenomena kehidupan ekonomi masyarakat, baik menggunakan pendekatan kesejarahan, antropologi, dan terlebih lagi sosiologi. Karena memang dengan munculnya konseptualisasi varian pemikiran ekonomi kelembagaan baru, sekaligus memunculkan berbagai konsep teoretik, khususnya tentang “teori modal sosial” (Rachbini, 2002).

Dalam perkembangan kajian sosiologi ekonomi, dengan menggunakan kerangka analisis kelembagaan baru (new institutionalism), semakin mendapatkan momentumnya dalam menagkap fenomena ekonomi masyarakat. Kalau dalam kerangka pemikiran “ilmu ekonomi murni” seperti dikonsepsikan oleh para ilmuwan ekonomi neo-klasik, misalnya pasar (market), hanya dipandang sebagai suatu arena pergulatan kepentingan bagi setiap individu. Yang secara terus-menerus melakukan kompetisi dan berlangsung secara rasional.

Pandangan yang demikian, menurut Rochman Achwan (2004), sudah menjadi semacam convensional wisdom dalam mempelajari dunia keuangan, kerja, dan bisnis; yang tentu saja kurang banyak membawa manfaat, kalau tidak disintesiskan dengan asumsi kelemabagaan (institutional assumption). Oleh karena itu, dengan pendekatan kelembagaan tersebut menjadi kerangka analisis yang cenderung bersifat alternatif dalam mengkaji perkembangan ekonomi masyarakat.

Terkait dengan urgennya keberadaan instutsi dalam “studi sosiologi ekonomi”, menurut Victor Nee, karena yang menjadi fokus kajiannya adalah sebagai konsep dasar ilmu-ilmu sosial. Sehingga mendorong munculnya suatu model pendekatan lain yang kemudian dikenal dengan “institusionalisme baru”.

Oleh karenanya, dengan bertolak dari hasil kajian para ilmuwan ekonom sendiri, seperti yang dilakukan: Ronald Coase, Douglass North, dan Oliver Williamson, sebagai konsekwensi logisnya telah berlangsung proses evolusi dari dalam (endogenous) terhadap bentuk-bentuk institusi ekonomi lama. Menguatnya kecenderungan yang demikian ini, menurut Victor Nee, kemudian memberikan suatu inspirasi pada gerakan perubahan yang berbasis luas pada ilmu ekonomi.

Dalam perkembangan studi sosiologi ekonomi, misalnya, yang merujuk pada John Meyer, Richard Scott, Paul DiMagio, dan Walter Powel, telah memunculkan varian pemikiran neo-institutionalist. Yang menjadikan kajian institusional berbalik arah dari sekedar organisasi kepada suatu bentuk analisis lingkungan kelembagaan yang lebih luas. Bahkan juga merambah ke dalam konteks “kepercayaan dan nilai-nilai budaya” yang telah membentuk perilaku masyarakatnya.

Victor Nee dengan merujuk pada pemikiran Mitchell (1927), mengkritisi konsep pemikiran institusional ekonomi lama dan yang baru. Nee menyatakan, bahwa baik institusionalisme ilmu ekonomi lama maupun baru, yang hanya mengandalkan formalisme matematis dari pemikiran ekonomi neo-klasik berkonstribusi sangat sedikit terhadap pemahaman perilaku ekonomi riel.

Karenanya, hal yang fundamental dalam institusi adalah keterlibatan para aktor, baik individu, kolektivitas, atau pun organisasi, yang mengejar kepentingan-kepentingan riel pada struktur institusional secara konkrit. Dengan demikian—lanjut Victor Nee—institusi adalah suatu sistem inter-relasi antara unsur-unsur informal dan formal, yang melingkupi adat kebiasaan, kepercayaan, konvensi, norma-norma atau aturan-aturan, yang dominan mengarahkan tindakan para aktor dalam mengejar kepentingan mereka.

Bagi Victor Nee, kajiannya terhadap keberadaan institusionalisme baru, adalah untuk menjelaskan bekerjanya kepercayaan, norma-norma, dan institusi-institusi. Dengan mempertautkan fokus hubungan sosial dan institusi dalam pendekatan sosiologi modern pada perilaku ekonomi. Menyoroti keteraturan unsur-unsur formal dari struktur-struktur institusional
yang bersinergis dengan kelembagaan informal yang membentuk jejaring sosial (social network)
untuk memfasilitasi, memotivasi, yang sekaligus mengatur tindakan ekonomi individu dan kolektivitas masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, menurut konsep pemikiran teoretik Nee, setidaknya ada beberapa ciri utama yang menonjol pada kerangka analisis untuk kajian sosiologi ekonomi institusional baru.

1. Asumsi tentang perilaku individu dan kolektivitas masyarakat pada hakekatnya adalah bersifat rasionalitas. Karena cakupannya, lebih menukik pada hal-hal yang kontekstual. Dan para aktor yang terlibat di dalamnya bertindak lantaran termotivasi oleh kepentingan yang dibentuk kepercayaan, norma-norma, dan juga ikatan kerja yang terbagi.

2. Keberadaan organisasi dan individu adalah menjadi aktor yang mengartikulasikan kepentingan di dalam institusi dan jejaring kerja.

3. Pengertian tentang institusi adalah sistem dari unsur-unsur institusional yang saling terkait, baik secara formal maupun informal. Yang dapat memfasilitasi, memotivasi, dan mendorong tindakan sosial dan ekonomi.

4. Regulasi negara, mekanisme pasar, dan juga tindakan kolektif, merupakan bentuk mekanisme yang berada pada level makro.

5. Sedangkan mekanisme di level mikro, adalah sebagai kepentingan pendorong aksi di dalam organisasi dan jejaring sosial (network).

6. Konsep tentang sosiologi ekonomi institusional baru, pada dasarnya dapat dilacak dari para ilmuwan sosial sebelumnya, seperti: Weber, Marx, Polanyi, dan Homans.

Konsepsi pemikiran Victor Nee tentang perlunya untuk menggunakan institusionalisme baru dalam studi sosiologi ekonomi, adalah dapat memberikan arahan untuk mencermati bagaimana terjalinnya sirkulasi hubungan tiga elemen utama dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini, individu dan keluarga yang berada di level mikro, lembaga-lembaga sosial ekonomi pada level mezo, dan juga pemerintah sebagai regulator dan berada pada tataran makro.

No comments:

Post a Comment