ETIKA PROTESTAN DALAM
KAPITALISME
Sejak
Max Weber mulai mempublikasikan hasil studi empiriknya yang mengkonsepsipkan terjadinya konvergensi
antara sistem nilai agama dengan munculnya kapitalisme
modern pada masyarakat Barat (The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism), menjadi momentum baru terhadap
perkembangan pemikiran paradigmatik dan teoretik dalam kajian
sosiologi ekonomi. Yang analisisnya, justru
mempertautkan sistem nilai keagamaan dengan
perilaku rasional individu dalam mendorong perkembangan ekonomi masyarakat.
Giddens,
dalam pengantarnya terhadap tesis Max Weber, menyatakan bahwa salah satu tema
penting yang dikonsepsikan Max Weber,
adalah apa yang dimaksudkan dengan aktivitas kapitalistik diasosiasikan dengan organisasi rasional buruh yang secara
formal memiliki administrasi yang terukur dalam perusahaan-perusahaan yang berfungsi secara kontinyu. Anthony
Giddens dalam Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, Routledge, London and New York, 1992.
Meskipun
Weber sendiri, tidak menafikan pengaruh “tradisi pemikiran rasional” yang sudah berakar dalam konteks kehidupan
masyarakat Barat sebagai bentuk rasionalitas instrumental
(purposive rationality) yang dapat memotivasi perilaku ekonomi individu,
hingga mendorong perkembangan
kapitalisme. Karena kecenderungan seperti ini, adalah merupakan “hasrat yang bersifat alamiah” setiap
manusia untuk mendapatkan kekayaan material. Selain adanya pengaruh rasionalitas tersebut,
menurut konsepsi Weber, juga ada unsur lain yang bersifat esensial yang menjadi pendorong munculnya
kapitalisme, yaitu nilai-nilai doktrinal keagamaan
yang bersumber dari ajaran Protestan-Calvinis. Dengan dorongan purposive rationality dan Protestan
ethics, selanjutnya membentuk elective affinity. Yang memberikan suatu kerangka berpikir sosiologis bahwa
“dua unsur” tersebut saling bertautan. Artinya, rasionalitas yang membimbing tindakan individu dan nilai-nilai
spiritualitas keagamaan, menjadi instrumen
yang kuat dalam proses perkembangan kapitalisme modern, yang fenomenanya menonjol pada mobilitas ekonomi
masyarakat industrial di dunia Barat.
Terjadinya
proses konvergensi antara nilai-nilai etika dasar keagamaan varian Protestan (Calvinis, Methodis, Pietis,
dan Baptis) dengan aktivitas ekonomi masyarakat Barat, selanjutnya mendorong perkembangan
kapitalisme. Menurut Max Weber, adalah berawal dari munculnya “gerakan reformasi pemahaman
keagamaan” yang dilakukan oleh Martin Luther. Konsepsi untuk membumikan paham agama, terambil dari bahasa Jerman
(beruf) atau dalam kosa-kata bahasa Inggeris (calling),
yang menunjuk pada pengertian sebagai “panggilan”, adalah suatu tugas suci yang dikehendaki Tuhan. Sebagai
hasil elaborasi dari konsep pemikiran Max Weber menurutnya sesuai dengan fenomena yang
berkembang dalam kehidupan kaum puritan Protestan terhadap varian keagamaan: Calvinis,
Methodis, Pietis, dan Baptis.
Oleh
karenanya, tidak dapat disangsikan lagi, bahwa penilaian atau penafsiran mengenai pemenuhan tugas yang berkaitan
dengan masalah duniawi sebagai bentuk yang paling tinggi yang dapat diasumsikan sebagai aktivitas-aktivitas moral
individu. Inilah yang secara jelas dan
pasti menyumbangkan sesuatu hal yang signifikan yang bersumber dari ajaran agama terhadap aktivitas kehidupan duniawi
sehari-hari. Dan selanjutnya, menciptakan konsep hidup dari kata “panggilan” (calling) untuk
pengertian tersebut. Implikasi positifnya secara lebih luas adalah dijadikannya konsepsi mengenai
panggilan, menjadi suatu “dogma sentral” bagi keseluruhan penganut agama Protestan.
Ide
tentang calling—menurut Anthony Giddens—yang dijadikan sebagai titik
tolak dari tesis monumental Max
Weber, memang sudah ada dalam doktrin keagamaan Martin Luther. Tetapi dalam perkembangannya, justru
lebih ditegaskan kembali lewat ajaran Calvin, yang dikaitkan dengan konsep takdir atau
nasib baik dan buruk tentang kehidupan manusia di dunia. Sehingga, Calvin sebagai pelanjut
reformasi paham keagamaan Protestan, mencanangkan suatu doktrin teologis yang menyatakan bahwa:
“hanya segelintir orang yang terpilih yang bisa terselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu sudah ditetapkan jauh
sebelumnya oleh Tuhan”. Dengan doktrin seperti ini,
telah membawa implikasi psikologis yang kuat bagi para pengikut Calvinis sendiri.
Setiap
orang diwajibkan untuk meyakini dirinya sendiri sebagai “orang yang terpilih”. Karena dengan kurangnya keyakinan yang
demikian itu, dapat dipandang sebagai suatu indikasi yang kuat yang menunjukkan kurangnya
iman. Dengan “hasil kerja yang baik” dalam memenuhi tuntutan kepentingan duniawi adalah
dapat diterima sebagai media pengaktualisasian di mana keyakinan itu semestinya ditujukan.
Dengan demikian, maka kesuksesan calling pada akhirnya dikonsepsikan sebagai “tanda” atau “sinyal”
bagi penentuan seseorang, apakah dia terpilih atau pun tidak. Akumulasi kekayaan memang
diperbolehkan, sejauh itu diintegrasikan ke dalam prestasi besar dan juga gemilang untuk membuktikan adanya
kesungguhan dalam menjalani kehidupan
di dunia. Sebaliknya, akumulasi kekayaan akan mendapatkan kecaman yang keras, jika hanya dilakukan untuk menunjang
kehidupan seseorang yang bermewah-mewah (hedonis).
Karena
itu, bekerja untuk menumpuk kekayaan yang sebelumnya tidak mendapat ruang yang cukup kondusif dalam
kehidupan beragama, lantaran dianggap melanggar doktrin teologi keagamaan, justru kemudian
diterima sebagai “persyaratan mutlak” untuk menjadi orang yang terpanggil. Dengan konsepsi
tersebut, bertujuan mengoptimalkan pengabdian terhadap Tuhan di dunia ini, sehingga bisa
mendapatkan keselamatan diakhir hidupnya kelak. Munculnya hasrat terhadap pengumpulan kekayaan,
memang diakaui Weber bahwa hal itu sudah berlangsung
pada semua tempat dan kurun waktu yang lama. Namun, hasrat yang demikian itu, tidak selalu berkoneksi dengan aktivitas
kapitalisme. Karena dalam bentuk aksi kapitalistik yang murni, adalah melibatkan orientasi
kehidupan yang berlangsung secara reguler dan juga damai bagi pencapaian keuntungan melalui
pertukaran ekonomi.
Dalam
perkembangan studi sosiologi, pemikiran konseptual teoretik dari Max Weber yang mempertautkan etika Protestan
dengan perkembangan kapitalisme tersebut, secara terus menerus dielaborasi oleh para ilmuwan
sosial. Berkaitan dengan hal ini, Jonathan H. Turner dan Leonard Beeghley (1981) dalam The
Emergence of Sociological Theory, mensistematisasikan kerangka pemikiran konseptual dan juga
argumentatif dari Max Weber terkait dengan perkembangan
kapitalisme. Hal ini adalah berawal dari perkembangan agama Katolik pada abad pertengahan di Eropa. Kemudian mendorong
Martin Luther untuk menggulirkan semangat pembaruan
paham keagamaan dan melahirkan Protestan.
Yang
dalam perkembangannya memunculkan sekte-sekte keagamaan, misalnya varian Calvinisme, Pietisme, Methodisme,
dan Baptist. Namun, yang cukup menonjol bagi kemunculan
spirit kapitalsime, menurut Max Weber, justru tampak pada penganut Calvinisme. Dari varian ajaran keagamaan ini,
kemudian menciptakan kondisi struktural untuk mendorong perkembangan kapitalisme, yang juga didukung
dengan makin menguatnya tradisi rasionalitas terhadap
perkembangan peradaban dunia modern pada masyarakat Barat.
Kecenderungan
tersebut, menurut konsepsi pemikiran teoretik Max Weber, telah memunculkan “etika ekonomi” yang
bersumber dari ajaran agama, khususnya dalam paham Protestan-Calvinisme. Yang
mengkonsepsikan bahwa tindakan individu terhadap kehidupan dunia sebagai bentuk asketisisme
aktif, dan bukannya asketisisme pasif seperti yang berkembang dalam mistisisme agama. Karena
asketisisme yang disebutkan pertama, adalah memberikan dorongan yang kuat bagi para penganutnya
agar menjalani kehidupan yang riel di dunia ini. Artinya, dengan dorongan asketisisme yang teraplikasikan
secara rasional dalam rangka mengendalikan
dan menguasai berbagai tantangan kehidupan dunia. Sementara itu, mistisisme dengan kekuatan kontemplasi spiritualnya
cenderung “membelakangi” kehidupan dunia. Implikasi
sosialnya, para penganut mistisisme cenderung tidak mengejar kepentingan keduaniaan, melalui penguasaan sumber
daya ekonomi yang ada. Karena yang menjadi orientasinya,
adalah kehidupan akhirat dengan mendapatkan balasan kebahagian yang abadi dari Tuhan, setelah meninggalkan kehidupan
dunia. Bagan berikut ini memberikan gambaran tentang proses konvergensi antara etika Protestan
dengan munculnya kapitalisme, menurut konsepsi pemikiran Max Weber.
Dalam
proses konvergensi antara nilai-nilai agama dan ekonomi seperti yang dikonsepsikan oleh Max Weber tersebut,
sebagai suatu bentuk pendekatan atau analisis sosiologi agama dan ekonomi. Perkembangannya telah
merangsang munculnya berbagai konsep pemikiran baru tentang studi ekonomi. Karenanya, pendekatan posistivistik
yang bersifat klasik dan neo-klasik serta konvensional semakin banyak
dikritisi, baik dari para ilmuwan ekonomi sendiri maupun ilmuwan sosial. Dengan
kecenderungan ini telah memunculkan berbagai varian pemikiran dalam perspektif ekonomi
modern, sebagai suatu proses “pergumulan konseptualisasi teoretik” yang berlangsung secara
terus-menerus.
Ilmuwan
ekonomi yang melakukan kritik secara konstruktif terhadap pemikiran ekonomi
konvensional, adalah Paul Ormerod. Dalam The
Death of Economic, Omerod menyatakan bahwa pada hakekatnya “ilmu ekonomi
telah mati”. Karena itu, para
ilmuwan ekonomi perlu melakukan rekonstruksi pemikiran ekonomi dari yang
konvensional pada yang baru. Paul Omerod,
The Death of Economic, Faber and Faber, London, 1994.
Kritik
para ilmuwan sosial terhadap pemikiran ekonomi konvensional, adalah seperti
yang dilakukan oleh pendukung “pemikiran ekonomi
substantivis” yang mengkritisi “pemikiran ekonomi formalis”. Yang pada awalnya dipelopori oleh antropolog ekonomi, Karl
Polanyi, dengan konsepsi pemikirannya tentang adanya “kelekatan sosial” (embeddedness) dalam
ekonomi.
Oleh
karena itu, maka seiring dengan perkembangan studi sosiologi ekonomi, misalnya, kemudian ditandai dengan
munculnya “varian pemikiran institusionalisme baru” (new institutionalism), sebagaimana
yang dikonsepsikan oleh Victor Nee (2005). Asumsi dasarnya, adalah bahwa tingkah laku manusia pada
prinsipnya senantiasa dipengaruhi oleh sejumlah hubungan yang bersifat institusional (sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan agama).
Menurut
Didik J. Rachbini, secara konseptual, memberikan pengertian tentang institusi adalah sebagai: a set of formal
and informal rules of conduct that facilitate coordinator or govern relationships beetween
individuals. Dengan
institusi tersebut dapat menyiapkan seperangkat
aturan, baik yang bersifat formal maupun informal, yang berfungsi untuk membimbing tindakan individu dan
kolektivitas masyarakat, selanjutnya memfasilitasi terciptanya hubungan yang koordinatif di
antara sesama individu.
Institusi
merupakan segala sesuatu yang berulang-ulang terjadi dalam masyarakat. Karena yang menjadi kata kunci dari
kemunculan institusi—menurut perspektif Rachbini adanya suatu aturan formal dan informal yang berfungsi untuk
mengatur sistem kelembagaan masyarakat,
agar menjadi tertib dan juga teratur dalam hubungan-hubungan sosial yang
bersifat normatif. Dengan adanya
institusi, maka dapat menciptakan “keteraturan tindakan individu” yang tejaga secara terus menerus.
Implikasinya, tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Karenanya, dengan munculnya
institusi dalam aktivitas dan sistem ekonomi masyarakat dapat mendorong kemajuan bersama.
Kerangka
konsep pemikiran tersebut, tidak saja menguatkan tesis Max Weber tentang “pertautan yang kuat” antara etika
Protestan dengan perkembangan institusi perekonomian kapitalisme. Tetapi juga semakin
mendorong munculnya berbagai bentuk studi terhadap fenomena kehidupan ekonomi masyarakat,
baik menggunakan pendekatan kesejarahan, antropologi,
dan terlebih lagi sosiologi. Karena memang dengan munculnya konseptualisasi varian pemikiran ekonomi kelembagaan
baru, sekaligus memunculkan berbagai konsep teoretik, khususnya tentang “teori modal sosial”
(Rachbini, 2002).
Dalam
perkembangan kajian sosiologi ekonomi, dengan menggunakan kerangka analisis kelembagaan baru (new
institutionalism), semakin mendapatkan momentumnya dalam menagkap fenomena ekonomi masyarakat.
Kalau dalam kerangka pemikiran “ilmu ekonomi murni”
seperti dikonsepsikan oleh para ilmuwan ekonomi neo-klasik, misalnya
pasar (market), hanya dipandang sebagai
suatu arena pergulatan kepentingan bagi setiap individu. Yang secara terus-menerus melakukan kompetisi dan
berlangsung secara rasional.
Pandangan
yang demikian, menurut Rochman Achwan (2004), sudah menjadi semacam convensional wisdom dalam
mempelajari dunia keuangan, kerja, dan bisnis; yang tentu saja kurang banyak membawa manfaat,
kalau tidak disintesiskan dengan asumsi kelemabagaan (institutional assumption). Oleh
karena itu, dengan pendekatan kelembagaan tersebut menjadi kerangka analisis yang cenderung
bersifat alternatif dalam mengkaji perkembangan ekonomi masyarakat.
Terkait
dengan urgennya keberadaan instutsi dalam “studi sosiologi ekonomi”, menurut Victor Nee, karena
yang menjadi fokus kajiannya adalah sebagai konsep dasar ilmu-ilmu sosial. Sehingga mendorong munculnya
suatu model pendekatan lain yang kemudian dikenal
dengan “institusionalisme baru”.
Oleh
karenanya, dengan bertolak dari hasil kajian para ilmuwan ekonom sendiri, seperti yang dilakukan: Ronald Coase,
Douglass North, dan Oliver Williamson, sebagai konsekwensi logisnya telah berlangsung proses evolusi dari dalam (endogenous)
terhadap bentuk-bentuk institusi
ekonomi lama. Menguatnya kecenderungan yang demikian ini, menurut Victor Nee, kemudian memberikan suatu
inspirasi pada gerakan perubahan yang berbasis luas pada ilmu ekonomi.
Dalam
perkembangan studi sosiologi ekonomi, misalnya, yang merujuk pada John Meyer, Richard Scott, Paul DiMagio, dan
Walter Powel, telah memunculkan varian pemikiran neo-institutionalist. Yang menjadikan kajian
institusional berbalik arah dari sekedar organisasi kepada suatu bentuk analisis lingkungan
kelembagaan yang lebih luas. Bahkan juga merambah ke dalam konteks “kepercayaan dan nilai-nilai budaya” yang telah
membentuk perilaku masyarakatnya.
Victor
Nee dengan merujuk pada pemikiran Mitchell (1927), mengkritisi konsep pemikiran
institusional ekonomi lama dan yang baru. Nee
menyatakan, bahwa baik institusionalisme ilmu ekonomi lama maupun baru, yang
hanya mengandalkan formalisme
matematis dari pemikiran ekonomi neo-klasik berkonstribusi sangat sedikit
terhadap pemahaman perilaku ekonomi
riel.
Karenanya,
hal yang fundamental dalam institusi adalah keterlibatan para aktor, baik individu, kolektivitas, atau pun
organisasi, yang mengejar kepentingan-kepentingan riel pada struktur institusional secara konkrit.
Dengan demikian—lanjut Victor Nee—institusi adalah suatu sistem inter-relasi antara
unsur-unsur informal dan formal, yang melingkupi adat kebiasaan, kepercayaan, konvensi,
norma-norma atau aturan-aturan, yang dominan mengarahkan tindakan para aktor dalam mengejar
kepentingan mereka.
Bagi
Victor Nee, kajiannya terhadap keberadaan institusionalisme baru, adalah untuk menjelaskan bekerjanya kepercayaan,
norma-norma, dan institusi-institusi. Dengan mempertautkan
fokus hubungan sosial dan institusi dalam pendekatan sosiologi modern pada perilaku ekonomi. Menyoroti keteraturan
unsur-unsur formal dari struktur-struktur institusional
yang
bersinergis dengan kelembagaan informal yang membentuk jejaring sosial (social
network)
untuk
memfasilitasi, memotivasi, yang sekaligus mengatur tindakan ekonomi individu
dan kolektivitas masyarakat.
Terkait
dengan hal tersebut, menurut konsep pemikiran teoretik Nee, setidaknya ada beberapa ciri utama yang menonjol pada
kerangka analisis untuk kajian sosiologi ekonomi institusional baru.
1.
Asumsi tentang perilaku individu dan kolektivitas masyarakat pada hakekatnya
adalah bersifat rasionalitas.
Karena cakupannya, lebih menukik pada hal-hal yang kontekstual. Dan para aktor yang terlibat di dalamnya
bertindak lantaran termotivasi oleh kepentingan yang dibentuk kepercayaan, norma-norma, dan
juga ikatan kerja yang terbagi.
2.
Keberadaan organisasi dan individu adalah menjadi aktor yang mengartikulasikan kepentingan di dalam institusi dan
jejaring kerja.
3.
Pengertian tentang institusi adalah sistem dari unsur-unsur institusional yang
saling terkait, baik secara formal maupun
informal. Yang dapat memfasilitasi, memotivasi, dan mendorong tindakan sosial dan ekonomi.
4.
Regulasi negara, mekanisme pasar, dan juga tindakan kolektif, merupakan bentuk mekanisme yang berada pada level makro.
5.
Sedangkan mekanisme di level mikro, adalah sebagai kepentingan pendorong aksi
di dalam organisasi dan jejaring
sosial (network).
6.
Konsep tentang sosiologi ekonomi institusional baru, pada dasarnya dapat
dilacak dari para ilmuwan sosial sebelumnya,
seperti: Weber, Marx, Polanyi, dan Homans.
No comments:
Post a Comment