ETOS ISLAM DALAM AKTIVITAS EKONOMI
Dalam
diskusi mengenang 100 tahun The Protestan Ethic and Spirit Capitalism Max Weber, menurut
Ignas Kleden (2005), spirit kapitalisme bukan hanya terdapat pada ethic Protestan. Tetapi
juga sangat memungkinkan untuk muncul dari nilai-nilai budaya dan agama lain. Perkembangan “kapitalisme baru” di
Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti yang dialami Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
Singapura, dan Malaysia, merupakan contoh kasus yang menunjukkan kecenderungan itu.
Lalu
bagaimana dengan Islam? Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konsepsi Islam, aktivitas
ekonomi merupakan bagian yang bersifat integral dari ajaran agama. Oleh karena itu, maka
terbentuknya etos ekonomi dalam Islam, adalah bersinergisnya nilai-nilai moral keagamaan dengan rasionalitas
kalkulasi untung-rugi. Sebagai akibat
positifnya, terjadi keseimbangan antara kedua elemen dasar kehidupan tersebut.
Untuk itu, Al-Qur’an memberikan
instrumen bagi para pelaku ekonomi (perdagangan). “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru
(kepadamu) untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Dan apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah di muka bumi, carilah
karunia Allah dan perbanyak mengingat-Nya agar kamu beruntung” (QS. 62:9-10).
Merujuk
pada konsepsi normatif-teologis Al-Qur’an di atas, dapat memberikan pemahaman bahwa tindakan atau perilaku
ekonomi yang dilakukan kaum muslim, pada hakekatnya merupakan manifestasi dari pengamalan ajaran agamanya.
Orientasi untuk pencapaian kebahagiaan
hidup, tidak hanya bertumpu pada kalkulasi untung rugi secara rasional terhadap pemenuhan kebutuhan yang lebih
bersifat material. Tetapi juga terkait dengan berbagai hal yang sifatnya non-material. Misalnya,
seorang muslim yang bekerja keras untuk mendapatkan harta kekayaan yang banyak. Dengan kemampuan hartanya,
maka bisa menjadi media yang digunakan untuk
semakin mendekatkan dirinya terhadap Tuhan dan sesama manusia, seperti untuk naik haji, membangun
masjid, membantu orang miskin (zakat, infaq, sedeqah,dan waqaf), serta
amal kebajikan lainnya.
Implementasi
terhadap berbagai bentuk amal kebajikan tersebut, dapat dijelaskan secara sosiologis adalah untuk memperkecil
“ketimpangan struktur sosial ekonomi” yang terjadi dalam masyarakat. Karena dengan besarnya
“jurang pemisah” antara orang kaya dengan yang miskin yang terus berkembang di masyarakat, dapat menimbulkan
berbagai problem sosial, seperti menciptakan latent
conflict di pedesaan dan maraknya perilaku kriminalitas di
perkotaan.
Memaknai
kesejahteraan dengan konsep falah adalah menunjuk pada pengertian yang holistik dan
seimbang yang berdimensi spiritual-material, individual-sosial, dan
kehidupan dunia-akhirat. Kesejahteraan
di dunia, dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kenikmatan hidup secara
inderawi, baik yang berkaitan dengan materi maupun nonmaterial. Sedangkan kesejahteraan akhirat, adalah
kenikmatan hidup yang akan diperoleh setelah kematian
manusia. Adapaun untuk tercapainya kesejahteraan (falah) dan keselamatan (mashlahah), menurut
para ulama Islam—seperti As-Satibi dan Al-Gazali jika telah termanifestasi lima hal
dalam kehidupan, yaitu: agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql),keturunan (nasl), dan
materi (maal).
Karena
itu, dalam konsepsi Islam terbentuknya etos ekonomi bagi seorang muslim tidak hanya berakar dari tradisi
budayanya, tetapi juga bersumber dari spirit keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai implikasinya,
membentuk etos-spiritual individu yang diarahkan oleh nilai-nilai keagamaan, seperti: iman,
ikhsan, ikhlas, dan taqwa. Dengan nilai-nilai yang demikian itu yang membentuk etos ekonomi dalam
Islam, yang diimplementasikan dalam bentuk kesalehan ilahiyah, individual, dan sosial. Sehingga,
menjadi media bagi terciptanya kesejahteraan
hidup yang berorientasi spiritual dan material.
Ini
berbeda dengan konsepsi pemikiran yang dikembangkan dalam ekonomi konvensional. Pencapaian kesejahteraan
hidup adalah cenderung terletak pada kelebihan secara material. Karena itu, maka setiap
individu dan kelompok masyarakat dipacu untuk memaksimalkan capaian kepentingan sendiri, seperti meningkatkan
nilai kemanfaatan untuk konsumen dan keuntungan yang
optimal terhadap produsen. Implikasi rasionalnya dari penerapan konsepsi ini, adalah mendorong
terbentuknya “etos individualistis dan materialistis” dalam perilaku ekonomi dengan
berorientasi pada kepentingan jangka pendek atau keduniaan. Sementara itu, dalam Islam mengajarkan
kepada umatnya bahwa tindakan ekonomi baik
yang dilakukan produsen maupun
konsumen—akan senantiasa berusaha untuk memaksimalkan mashlahah. Adapun
konsep mashlahah tersebut, adalah menunjuk pada nilai kemanfaatan
dan keberkahan serta
keselamatan dengan berorientasi jangka panjang (dunia dan akhirat).
Nurcholish
Madjid (1982), misalnya, sebagai salah seorang ilmuwan sosial Islam Indonesia, mengaitkan pengertian
konseptual etos dengan ajaran tauhid, ikhsan dan akhlaq, Dalam konsepsi Islam, menurut
Kuntowijoyo (2001), tauhid memiliki kekuatan yang bersifat transenden untuk
membentuk struktur yang paling dalam dari ajaran Islam. Sedangkan ikhsan, adalah menunjuk pada pengertian
optimalisasi terhadap aktualisasi “perbuatan baik” agar mendapat ridha dari Tuhan.
Sementara itu, akhlaq adalah muatan nilai-nilai moral dan etika dalam melakukan pekerjaan.
Oleh
karena itu, etos yang membentuk karakter dasar seorang individu muslim yang bersumber dari tauhid, ikhsan, dan
akhlaq Islami, adalah menunjuk pada kualitas esensial dari karakter dasar individual, kelompok,
masyarakat, dan bahkan bangsa untuk mencapai keunggulan
kompetitif. Dengan demikian, dalam konsepsi Islam menurut Madjid pembentukkan
dan pengaktualisasian etos kerja bagi seorang muslim, berpijak dari
“niat pelakunya” sebagai subyek
kerja. Hal ini sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW. Yang menyatakan: “Nilai setiap kerja itu
tergantung pada niatnya”. Artinya, jika niat dari orientasi kerjanya tinggi, maka akan mendapatkan
nilai kerja yang tinggi pula. Misalnya, terhadap seseorang yang berniat untuk bekerja dengan sebaik mungkin, agar
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Sebaliknya, jika niatnya rendah, juga akan menghasilkan nilai kerja yang rendah, seperti seseorang yang bekerja
hanya mengejar kepentingan hidup material.
Dengan
demikian, urgennya niat dalam kerja merupakan suatu bentuk komitmen dan berfungsi sebagai “sumber dorongan
batin” bagi seseorang atau kelompok orang untuk bekerja secara sungguh-sungguh. Yang secara normatif-teologis,
orientasi kerja menurut konsepsi Islam, sebagai
upaya perwujudan dari amanah Tuhan di muka bumi. Tujuannya, adalah untuk mengelola berbagai potensi sumber daya
yang ada. Sehingga, nilai kerja merupakan upaya setiap individu untuk mencari rizq (Arab)
atau rezeki (Indonesia).
Menurut
Dawam Rahardjo (2002), dalam karya monumentalnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengkonsepsikan etos kerja
sebagai munculnya nilai tertentu dalam kehidupan manusia yang bersumber dari rangkaian hasil
kerjanya. Pemanfaatan terhadap nilai kerja itu, menjadi kata kunci untuk mencari rizq. Karena
Tuhan melalui ketentuan rahmat-Nya memberikan rizq kepada setiap orang. Namun, sebagai syarat
utamanya kalau seseorang itu bekerja untuk mendapatkan rizq yang telah ditetapkan
oleh Tuhan. Terkait dengan hal tersebut, Al-Qur’an memberikan dorongan: “Dan katakanlah, bekerjalah
kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu”, … (QS. 9:105).
Konsepsi
normatif-teologis al-Qur’an tersebut, dalam realitas empirik menurut
Ibnu Khaldunmenjadi sumber
motivasi dalam aktivitas kerja bagi setiap orang untuk mendapatkan penghasilan, keuntungan, dan
pembentukkan modal dalam perdagangan. Karenanya, Islam mengajarkan bahwa terbentuknya etos
kerja bagi seorang muslim, berkaitan dengan keyakinan agamanya yang diimplementasikan dalam
bentuk amal ibadah (ubudiyah) kepada Tuhan dan amal sosial (muamalah) terhadap
sesama manusia.
Menurut
Kuntowijo (2008), konsep Islam tentang rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiyn), bahwa
keimanan kepada Tuhan menjadi pemusatan dari semua orientasi nilai. Sementara itu, pada keadaan yang
sama menempatkan manusia sebagai tujuan transformasi nilai tersebut. Karena itu, ajaran Islam
bukan hanya berkaitan dengan masalah teologi, aturan hukum, dan peribadatan; tetapi juga
mendorong berlangsungnya penataan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan
demikian, maka tugas terbesar dalam Islam adalah melakukan proses transformasi sosial dan budaya yang bertumpu pada
nilai-nilai ajaran agama Islam itu sendiri.
Dengan
demikian, maka dalam paradigm Islam tidak mengenal adanya dikotomis antara domain kehidupan dunia yang
bersifat sekuler dan juga domain akhirat yang menjadi fokus utama dari pengajaran agama.
Melainkan kepentingan keduanya terintegrasi secara kuat sebagai basis terbangunnya peradaban
umat manusia. Karena secara filosofis, Islam menempatkan
manusia dalam bingkai “humanisme teosentris”. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya memusatkan dirinya pada keimanan
terhadap Tuhan, tetapi juga mengarahkan tindakannya
pada proses transformasi nilai kehidupan masyarakat.
Terbentuknya
etos ekonomi dalam Islam pada prinsipnya merujuk dari orientasi keseimbangan hidup antara kepentingan
individu dan kelompok atau kolektivitas masyarakat, dunia dan akhirat. Karena yang menjadi
mainstream bagi pemikiran Islam, adalah mencirikan tingkah laku rasional manusia dengan
tujuan untuk mempergunakan berbagai sumber daya ekonomi yang berorientasi pada keseimbangan antara tujuan material
dan spiritual. Dengan pengertian, bahwa bukan
hanya semata-semata bertumpu pada kepentingan individual seperti yang yang menonjol dalam perkembangan
kapitalisme. Sehingga masyarakat kapitalis, menururut
Kuntowijoyo, esensi manusia menjadi bagian yang integral dari elemen pasar. Sebagai akibatnya, kualitas kerja dan
kemanusiaan cenderung ditentukan bagaimana proses bekerjanya mekanisme pasar. Sementara itu, dalam masyarakat
sosialisme manusia berfungsi sebagai
elemen kekuasaan negara atau pun birokrasi pemerintahan.
No comments:
Post a Comment