KELEKATAN SOSIAL
DALAM EKONOMI
Dalam
konsep teori ekonomi neo-klasik mengasumsikan bahwa setiap individu ketika melakukan suatu tindakan
senantiasa bersifat istrumental dan rasional. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan secara
individual. Kerangka pemikiran teoretik seperti ini, mengembangkan suatu anggapan bahwa
motivasi ekonomi menjadi basis dari tindakan sosial. Sedangkan dinamika sistem nilai budaya
dan agama dalam pengaruh perkembangan ekonomi masyarakat, menjadi terabaikan. Oleh karenanya, aktivitas ekonomi
cenderung membentuk “atomisasi sosial” (individualitas)
sebagai pra-syarat utama untuk melakukan kompetisi dalam aktivitas ekonomi pasar.
Kerangka
pemikiran yang demikian ini, menurut perspektif sosiologi ekonomi dikonsepsikan sebagai dis-embeddedness.
Dalam pengertian, bahwa tindakan ekonomi individu tidak berbasis pada konteks sosial
masyarakat. Sehingga, sebagai konsekwensi logisnya misalnya institusi pasar harus terbebas dari basis pertimbangan
nilai-nilai moralitas. Penegasannya adalah bahwa
“tindakan sosial” perlu dibedakan dari “tindakan ekonomi”. Karena keberadaan pasar bekerja sesuai dengan
mekanisme yang mengatur dirinya sendiri, tanpa terpengaruh oleh berbagai faktor kehidupan lain yang berkembang
dalam masyarakat. Perspektif seperti
ini, dalam antropologi ekonomi—menurut Heru Nugroho (2001) dikonsepsikan sebagai pemikiran formalis yang berbasis
pada konsep teoretik ekonomi murni yang bersifat konvesional. Ini berseberangan dengan pemikiran substantivis, sebagaimana
yang dikonsepkan oleh Karl Polanyi.
Bagi
pemikiran substantif dengan tegas menyatakan bahwa tindakan ekonomi yang terpatri pada berbagai bentuk lembaga
ekonomi, tidak bisa terlepas dari hubungan-hubungan sosial masyarakat. Artinya, tindakan
ekonomi individu justru dipengaruhi oleh konteks budaya dan nilai-nilai keagamaan yang
berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka aktivitas ekonomi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan sosial yang mengakar
dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan.
Menurut
Drajat Tri Kartono, kerangka konsep pemikiran substantif yang
berseberangan dengan formalis pada prinsipnya
telah memiliki dasar pijakan yang kuat dari Max Weber, yang berkaitan dengan
pembagian rasionalitas dalam tindakan ekonomi (economic
action). Dalam perspektif sosiologis, Weber membedakan bahwa ekonomi formal hanya mengkaji tindakan ekonomi
dengan perhitungan akuntasi, misalnya tentang hubungan antara tabungan dengan produktivitas, penyediaan dan
kebutuhan. Sedangkan, kajian ekonomi substantif adalah lebih menukik pada aspek yang mendalam, disebabkan
berhubungan dengan faktor-faktor yang sosial kemasyarakatan, seperti: spirit agama, sistem nilai budaya, dll. Lihat
Drajat Tri Kartono, Orang Boyan Bawean: Perubahan Lokal dalam Transformasi Global, Pustaka
Cakra, Surakarta, 2004, h. 269.
Oleh
karenanya, maka Mark Granovetter (1985) menurut
Victor Nee telah menyumbangkan konsep pemikiran teoretik
yang bersifat substansial dalam perkembangan kajian
embeddedness terhadap upaya revitalisasi studi sosiologis tentang
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan
pengertian lain, bahwa dalam kajian sosiologi ekonomi yang menggunakan “pendekatan kelekatan sosial”
(embededdness approach), justru lebih memberikan kecermatan dan perhatian yang
berlangsung secara sistematis terhadap pola-pola aktual relasi personal dalam berbagai aktivitas
ekonomi.
Menurut
konsep pemikiran teoretik Mark Granovetter sendiri, justru memberikan suatu interpretasi yang cenderung lebih
mendasar, bahwa aktivitas kehidupan ekonomi adalah mengandung “kelekatan sosial” (embeddedness).
Oleh karenanya, tindakan ekonomi yang dilakukan
individu adalah tidak terlepas dari hubungan-hubungan sosial yang berkembang
dalam
masyarakat.
Kecenderungan ini memberikan suatu kerangka pemikiran bahwa nilai-nilai budaya dan agama pun boleh jadi cukup
berpengaruh dalam mendorong atau sebaliknya menghambat perkembangan ekonomi pada kelompok
masyarakat tertentu.
Karenanya,
merupakan suatu fenomena sosial yang cukup rumit untuk memisahkan antara “basis moral” dengan “tindakan
rasional ekonomi” yang terus berlangsung dalam masyarakat. Melainkan keduanya saling berkaitan secara bervariasi,
baik pada konteks kehidupan masyarakat
tradisional maupun modern. Sebab dalam realitasnya, antara pertimbangan moral dan aktivitas ekonomi
yang berbasis pada kalkulasi rasional untung-rugi, terkadang bersifat kontradiktif.
Sehingga, menciptakan kondisi dilematis terhadap mobilitas sosial ekonomi bagi kebanyakan para
pedagang. Dalam pengertian, di satu pihak perlu mengikuti tuntutan “moral ekonomi” yang telah
tertambat dengan kuat dalam kehidupanan sosial kemasyarakatan. Namun di pihak lain—sebagaimana tuntutan mekanisme
pasar sudah seharusnya untuk mengedepankan
pertimbangan rasionalitas agar bisa memaksimalkan keuntungan.
Menurut
Hans-Dieter Evers, kebanyakan dari para pedagang di pedesaan tidak jarang harus
dihadapkan dengan pilihan yang bersifat
dilematis, antara memenuhi tuntutan ekonomi moral yang telah berlaku dalam
komunitas dengan akibat mengalami
kerugian secara finansial, atau sebaliknya hanya mengejar keuntungan yang
kemudian berakibat pada “keterasingan
sosial” oleh komunitas masyarakatnya. Oleh karena itu, maka ketika para
pedagang membeli hasil panen dari
petani, mereka tidak hanya sekedar membuat kalkulasi untung-rugi berdasarkan
tuntutan mekanisme pasar; tetapi juga
batasan-batasan oleh nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Sebab, jika mengikuti mekanisme pasar yang cenderung
bersifat fluktuatif, maka para pedagang perantara antar desa-kota, misalnya-selain terancam kerugian
finansial, juga boleh jadi terdiskriminasi dari kalangan petani. Lihat
Hans-Dieter Evers and Heiko Schader, The Trader’s Dilema: A Theory of the
Social Transformation of Market and Society,
Sage, London, 1995.
er� l i b �_) 8�% idupan lain, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kemudian
menjelma sebagai “motif utama” dari tindakan individu yang didasarkan pada pertimbangan
“untung-rugi” ketika mereka melakukan inter-aksi sosial. Sebagai akibatnya, adalah terjadinya
pergeseran nilai tindakan sosial individu dalam masyarakat, yang sebelumnya memiliki pemaknaan secara
kualitatif, kemudian dipahami dengan kerangka pemikiran yang kuantitatif. Karenanya,
persoalan kehidupan ekonomi perlu diletakkan di atas realitas dan semangat “kalkulasi manfaat
dari setiap pengeluaran” (cost-benefit calculation).
Proses
rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat, kemudian memasuki berbagai
bidang kehidupan, merupakan aplikasi
konseptual dari pemikiran “rasionalitas instrumental” Max Weber, yang tidak
hanya berpengaruh pada bidang
ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan budaya. Dalam kehidupan ekonomi,
dengan “rasionalisasi” telah
berhasil merombak sistem ekonomi subsisten yang berorientasi kecukupun
terhadap kebutuhan konsumsi pada “ekonomi
pasar” yang mengedepankan perhitungan untung-rugi. Dalam kehidupan sosial
politik dan budaya, rasionalisasi pun
mendorong proses demokrasi, dan juga birokrasi untuk mencapai tujuan efisiensi.
Heru Nugroho, Op Cit, 2001, h.
23.
Simplifikasi
psikologi sosial terhadap proses rasionalisasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, semakin
menjauhkan pemikiran ekonomi pada pertimbangan yang esensial dari
sistem nilai budaya dan agama. Dengan pengertian lain, bahwa “etos ekonomi” yang membentuk tindakan individu, adalah
didorong kemampuan rasionalitas yang dimilikinya. Artinya, tanpa ada hubungannya dengan nilai-nilai budaya dan agama
yang dianutnya. Bagi para
ekonom
klasik dan neo-klasik yang menggunakan paradigma berpikir positivistik
berargumen, bahwa setiap persoalan
ekonomi harus bisa dinyatakan jawabannya secara empiris dan juga mate-matis. Kekuatan
pasar, misalnya, hanyalah menjadi instrumen dasar yang kuat untuk menentukan bagaimana pengalokasian suatu
bentuk sumber daya ekonomi didistribusikan, kemudian
dianalisis dan diprediksi, agar mendapatkan gambaran yang terjadi. Karena peran
ilmu ekonomi adalah menggambarkan
dan menjelaskan fenomena ekonomi yang berkembang di masyarakat dengan perangkat hipotesis
yang teruji dan tidak terbantahkan secara statistik.
Kritik
tajam yang juga ditujukan pada paradigma pemikiran ekonomi konvensional, adalah
seperti yang ditulis oleh salah seorang pemikir
ekonomi kontemporer Inggeris, Paul Omerod dalam karyanya The Death of
Economics, Faber and Faber, London,
1994.
No comments:
Post a Comment