PENCIPTAAN MANUSIA DAN TEORI EVOLUSI
Asal
usul manusia telah menjadi bahan perdebatan di segala jaman. Alkitab
menjelaskan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah. Berbagai tulisan kuno Babilonia dan Mesir juga menegaskan hal yang sama, meskipun cara
penciptaan yang ditulis sedikit bervariasi. Isu ini menjadi semakin populer bagi orang
modern seiring dengan berkembangnya teori evolusi, yang dipelopori oleh Charles Darwin
lewat bukunya Origin of the Species pada tahun 1859. Pemegang teori ini memang memiliki
pandangan yang sedikit beragam, namun secara umum teori
evolusi bisa dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa manusia berasal
dari suatu proses evolusi yang panjang,
dimulai dari zat yang paling sederhana sampai terbentuknya
makhluk yang sangat kompleks yang disebut “manusia”. Keberadaan zat hidup pertama ini biasanya dipahami sebagai
hasil dari sebuah peristiwa alam yang kebetulan dan tiba-tiba. Proses yang diperlukan untuk
evolusi ini bisa memakan waktu berjuta-juta tahun.
Bagaimana
kita sebagai orang Kristen meresponi hal ini? Benarkah bumi sudah berusia jutaan tahun? Benarkah manusia merupakan
hasil evolusi yang panjang? Isu tentang usia bumi
akan dibahas tersendiri pada waktu kita mempelajari silsilah di Kejadian 5
dalam hubungannya dengan perhitungan geologis.
Bagian ini hanya akan menganalisa teori evolusi berkaitan
dengan “penciptaan” manusia.
Banyak
orang secara sadar atau tidak sadar cenderung bersikap berat sebelah pada waktu membandingkan Alkitab dengan ilmu
pengetahuan. Mereka seringkali melihat kebenaran Alkitab
sebagai sebuah kebenaran yang subjektif dan sulit dibuktikan, sedangkan penemuan ilmu pengetahuan sifatnya objektif,
tanpa prasangka dan bisa dibuktikan. Kecenderungan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Dalam hidup ini banyak hal yang kita terima begitu saja sebagai sebuah kebenaran tanpa kita
perlu mengujinya terlebih dahulu. Coba pikirkan pertanyaan
ini: “Mengapa kita berani menyetir mobil/sepeda motor di jalanan tanpa kuatir kita akan mengalami kecelakaan?”
Bukankah keberanian tersebut disebabkan keyakinan kita bahwa pengendara lain adalah orang yang
tidak terganggu kejiwaannya, memiliki kemampuan
mengendarai dengan baik dan memahami peraturan lalu lintas? Semua keyakinan ini tidak pernah kita buktikan
sebelumnya, tetapi kita menerimanya begitu saja. Begitu
pula dengan dunia ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu pengetahuan mengasumsikan adanya keteraturan gejala alam. Sama
seperti teologi, ilmu pengetahuan juga memiliki ruang tertentu yang menuntut kepercayaan atau
iman dari orang yang menerima kebenaran tersebut.
Bagaimana
dengan teori evolusi? Sebelum menganalisa secara detil, kita perlu mewaspadai kesalahan istilah yang begitu sering
kita gunakan. Paham evolusi sebenarnya tidak layak disebut sebagai “teori”, karena
pandangan ini belum terbukti secara ilmiah. Paham ini lebih tepat disebut sebagai sebuah hipotesa
(dugaan ilmiah yang masih memerlukan pembuktian). Lebih
jauh daripada itu, hukum alamiah dan penemuan modern ilmu pengetahuan justru bertentangan dengan paham evolusi. Tidak
heran, sebagian besar pakar ilmu pengetahuan yang
ateis (tidak percaya adanya Tuhan) sekarang bahkan mencari solusi lain untuk menjelaskan misteri keberadaan manusia.
Berikut
ini adalah beragam argumen yang membuktikan bahwa hipotesa evolusi bukanlah sebuah kebenaran, bahkan menurut kaca
mata ilmu pengetahuan sekalipun. Pertama, 2/3 manipulasi data fosil. Sejak pandangan
evolusi bergulir para ahli semakin giat mencari berbagai
fosil dengan harapan menemukan “mata rantai yang hilang” yang bisa menjelaskan transisi dari binatang ke manusia atau
dari suatu tahapan evolusi ke tahapan yang lain. Setelah
berjalan puluhan dekade, mata rantai yang hilang itu tidak pernah ditemukan. Sebagian dari mereka terpaksa
memanipulasi data dan melebih-lebihkannya supaya mendapatkan
rekonstruksi kerangka makhluk hidup kuno yang mendukung evolusi. Berikut ini adalah beberapa “penipuan” ilmiah
sehubungan dengan keberadaan fosil-fosil yang diduga
sebagai mata rantai yang hilang.
1.
Manusia Piltdown: hasil rekayasa rekonstruksi yang menggabungkan sebuah rahang
kera dengan tengkorak manusia, kemudian
diberi warna yang sama.
2.
Manusia Jawa: para ahli modern menolak istilah ini. Mereka meyakini bahwa yang
terjadi sebenarnya hanyalah seorang manusia dan
kera ditemukan di tempat yang sama. Fosil-fosil keduanya
kemudian direkonstruksi menjadi “manusia Jawa purba” yang dipercaya menjadi mata rantai dari binatang ke
manusia.
3.
Manusia Peking: alat-alat dan tulang-tulang manusia ditemukan di dekat
kera-kera yang otaknya dimakan
manusia (orang di daerah tersebut memang memiliki kebiasaan memakan otak kera).
4.
Lucy: ia diklasifikasi ulang sebagai salah satu jenis kera yang sudah punah.
5.
Ramapithecus: sebuah rahang dan geligi-geligi yang akhirnya dinyatakan bukan
berasal dari manusia, melainkan dari orang utan.
Kedua,
kemustahilan mutasi gen yang positif. Ilmu pengetahuan mengakui adanya mutasi gen akibat suatu radiasi atau gejala
alam lainnya. Gen yang mengalami perubahan kadangkala
diwariskan pada keturunan berikutnya. Walaupun mutasi gen memang sungguh-sunggguh terjadi,
namun kita tidak boleh melupakan bahwa mutasi sebagian besar bersifat negatif (merusak). Dari sekian ribu
mutasi yang diselidiki, hanya beberapa saja yang berguna (positif) bagi spesies yang
bersangkutan. Pandangan evolusi mengasumsikan adanya ribuan mutasi positif dan berkesinambungan yang
terjadi secara kebetulan. Dugaan ini jelas tidak bisa
dibenarkan secara ilmiah. Kemungkinan bagi terjadinya hal ini hampir mendekati
tidak mungkin. Mutasi yang dipikirkan penganut
evolusi menuntut adanya suatu bumi yang sempurna,
padahal kenyataannya keadaan bumi tambah kurang kondusif dan berpotensi lebih besar untuk menghasilkan mutasi gen yang
merusak.
Ketiga,
bantahan dari sisi entropi - hukum kedua termodinamika. Entropi menyatakan
bahwa alam semesta cenderung berubah dari
keadaan yang teratur menjadi tidak teratur, misalnya per memelar, gas membuyar. Diperlukan
masukan energi untuk mengembalikannya ke suatu keadaan
teratur, misalnya energi untuk membelitkan per dan mengumpulkan gas. Evolusi mengasumsikan terbentuknya keteraturan
dari kekacauan secara acak. Evolusi menyiratkan bahwa
manusia terbentuk dari hasil miliaran penyimpangan hukum entropi. Hal ini jelas sangat dilebih-lebihkan dan membutuhkan
“iman” yang sangat besar untuk mempercayainya. Satu-satunya
kemungkinan bagi evolusi adalah dengan menganggap adanya waktu yang tidak terbatas, sehingga memungkinkan
terjadinya segelintir kebetulan yang sangat langka. Anggapan seperti ini jelas tidak tepat.
Para ilmuwan mengetahui bahwa matahari sedang terbakar
habis. Jika ada waktu yang tidak terbatas, matahari dan semua bintang lain akan terbakar habis dan pada jaman modern ini
kita tidak akan sempat merasakan sinarnya.
Bantahan
paling kuat terhadap evolusi datang dari penemuan di bidang biokimia. Berdasarkan penemuan biokimia modern,
tubuh manusia merupakan perpaduan jutaan sel 3/3 yang sangat kompleks, jauh lebih
kompleks daripada yang dipikirkan Charles Darwin, David Hume maupun orang sejaman mereka. Pada
waktu itu mereka hanya memahami sel-sel sebagai
gumpalan protoplasma. Kini para ilmuwan modern semakin menyadari bahwa satu sel terdiri dari rangkaian DNA dan RNA
yang sangat banyak dan rumit. Untuk membentuk suatu
substansi tubuh yang paling kecil dibutuhkan keserasian DNA/RNA yang sangat banyak. Selanjutnya, untuk memfungsikan
substansi tersebut diperlukan jutaan kombinasi lain
yang teratur. Lebih lagi, untuk melakukan suatu tindakan yang “paling
sederhana” sekalipun, misalnya
melihat suatu objek, diperlukan jutaan kombinasi sel-sel dalam sistem kerja yang tertentu. Menurut seorang
ilmuwan yang bernama Howard Morowitz jumlah kemungkinan
bagi terjadinya evolusi dari sisi biokimia adalah 1 di antara
10100.000.000.000. Ini sama
saja dengan memenangkan 1,4 juta undian secara berturut-turut. Apakah masuk
akal? Tentu saja tidak!
Selain
itu, rangkaian DNA yang membentuk suatu sel manusia ternyata memiliki pola yang berbeda antara satu orang dengan yang
lain. Perbedaan ini semakin terlihat jelas apabila suatu DNA binatang dibandingkan dengan DNA
manusia. Untuk mengubah DNA suatu makhluk hidup
menjadi DNA makhluk hidup lain yang lebih berkembang diperlukan jutaan kemustahilan.
Sekarang
mari kita renungkan pembentukan satu DNA saja dalam suatu sel. Sebuah mata rantai DNA baru bisa terbentuk apabila
ratusan asam amino yang berjenis sama saling mengikatkan
diri dalam suatu pola tertentu. Apabila terjadi satu kesalahan saja dalam
ikatan tersebut (asam amino lain ikut terlibat
dalam ikatan itu), maka DNA yang dimaksud tidak akan
terbentuk. Kalau untuk membentuk satu rangkaian DNA saja sudah begitu kompleks, bagaimana proses pembentukan tubuh
manusia? Sekali lagi, untuk menerima “kebenaran” evolusi,
kita harus memiliki iman yang paling besar yang bisa mengalahkan kemustahilan yang paling besar juga.
No comments:
Post a Comment