BAGAIMANA FASISME SPANYOL MEMANFAATKAN AGAMA
Sebagaimana
telah kita pahami, fasisme adalah suatu ideologi yang secara fanatik menentang agama, tetapi kadang
kala dapat saja menyembunyikan kebenciannya
karena alasan politis, dan bahkan menampilkan dirinya seolah benarbenar taat beragama. Tujuan di balik keinginan
kaum fasis agar tampak takut kepada Tuhan
adalah untuk menyelewengkan konsep-konsep agama dari arti yang sebenarnya, dan mempergunakannya sebagai
ala bagi sasaran-sasaran politik mereka.
Derajat
komitmen fasisme terhadap agama berbeda-beda sesuai dengan kondisi masyarakat tempat ia berada.
Nazisme hanya merasakan sedikit kebutuhan untuk
melakukan hal semacam itu, karena ia berkembang di dalam masyarakat Jerman, yang telah jauh dari agama.
Namun, di Italia, Mussolini berusaha mengontrol masyarakat
yang jauh lebih religius, dan karenanya merasakan kebutuhan yang lebih besar untuk memainkan peranan bermuka
dua semacam itu. Jika kita cermati contoh di
Spanyol, kita sekali lagi melihat suatu masyarakat beragama dan sebuah fasisme dengan wajah religius. Pemimpin jenis
fasisme ini adalah Francisco Franco.
Ideologi
Franco dikenal sebagai “Falangisme”.
Istilah tersebut datang dari kata “Falange” (atau Falange Espanola T radicionalista Y De L
as Juntas De Ofensiva Nacional-Sindicalista,
lengkapnya) yang didirikan pada tahun 1933. Partai ini didirikan oleh ideolog fasis bernama Jose Antonio
Primo de Rivera, meniru fasisme Italia, dan berlawanan
dengan demokrasi, Undang-Undang, gerakan kiri dan Gereja. Kenyataannya, kata “Falange” (Tulang jari dalam bahasa Spanyol)
adalah konsep perang yang diambil
dari budaya pagan. Nama tersebut merujuk kepada pengaturan resimen tentara, sebagaimana pertama
kali dipraktikkan di Sumeria kuno, dan kemudian
di Yunani dan Romawi kuno. Jendral Franco, komandan tentara Spanyol saat itu, memegang kendali partai
Falange di tahun 1936, ketika perang saudara meletus
sebagai akibat dari pertarungan antara kelompok kanan dan kiri di negara itu. Namun, ia memperlunak pendirian
anti -agama partai tersebut, dalam upaya untuk
membuat jenis fasismenya tampak sesuai dengan agama.
Franco
mengobarkan sebuah perang saudara yang sangat berdarah, tanpa ragu-ragu bahkan untuk membom rakyat
sipil jika ia rasa perlu. Dia memenangkan perang
tiga tahun di tahun 1939, dan kediktatoran yang ia dirikan setelahnya berlangsung sampai tahun 1970-an. Untuk
mempertahankan rezim tersebut, dia menjalankan
berbagai kebijakan untuk memastikan dukungan Gereja Katolik. Pada saat yang sama, Gereja diberikan sebuah
peran kapitalistik dalam kehidupan ekonomi di
negara itu. Pendekatan Franco adalah dengan senantiasa membela Gereja, dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya
sendiri. Di sisi lain, semua gerakan agama yang
muncul dan berada di luar prinsip-prinsip fasis ditekan dengan bengisnya oleh pemerintah.
Buku
Who is Franco? What is Falangism? menjelaskan bagaimana fasime Spanyol memanfaatkan agama agar berhasil:
Fasisme
membutuhkan massa untuk mencapai tuj uannya… . Untuk memotivasi massa cukuplah dengan menggunakan
kata-kata seperti kebenaran agama dan monarki…
. Katolik senantiasa kuat di Spanyol: Kebanyakan pendeta merupakan pendukung fasisme yang terang-terangan…
.. Sehingga teori fasisme Spanyol perlu ditemukan
dan dipublikasikan. Ini dilakukan oleh Gil Robles. Robles mempunyai hubungan dekat dengan para pemilik tanah
terkuat di Spanyol. Dia terdidik di sekolah-sekolah
Jesuit Katolik, dan mengawali kegiatan politiknya yang pertama di organisasi-organisasi ini juga… Ketika
fasisme mencapai tampuk kekuasaan di Jerman, Robles
bergegas ke sana. Tujuannya adalah untuk mempelajari metode-metode yang dilakukan Jerman. Robles berusaha meniru
fasisme Jerman dalam banyak aspek, namun
ia tidak dapat mengajukan teori “superior” dan
“ras Aria”. Lalu,
apa yang akan ia lakukan? Ia
menciptakan sebuah chauvisnisme ekstrem, yang dihubungkan dengan ajaran Katolik. “Spanyol adalah segala-galanya. Tuhan
mendukung Spanyol. Kalian adalah
Katolik sebagaimana kalian merasa sebagai bangsa Spanyol!” Chauvinisme Katolik yang diserukan Robles ini
berasal dari berbagai karakteristik Spanyol sendiri… Robles memanfaatkan berbagai lembaga dan
badan kerjasama Katolik, serta kelompok-kelompok
pemuda Katolik. Media-media Katolik pun memberi dukungan kepada fasisme. Robles juga menjalankan
surat kabar El Debate, yang terkenal di kalangan
konservatif.
Gereja
juga mendukung kaum fasis dengan cara-cara lain. Orang-orang Spanyol di Amerika Latin dan kelompok-kelompok
fasis lainnya membentuk Falange versi mereka
sendiri, sehingga negara-negara ini bisa digiring ke bawah kekuasaan Spanyol. Gereja Katolik di negara-negara
tersebut merupakan kekuatan pendorong utama
dalam rencana ini.
Kisah
tentang bagaimana berbagai rezim fasis memperoleh kekuasaan, pada umumnya sangat mirip. Bagi kaum fasis,
agama adalah alat penting untuk membantu mereka
mencapai tujuan. Sebagai hasil dari siasat yang serupa dengan yang digunakan di negara-negara fasis
lainnya, Gereja di Spanyol mendukung Franco. Bagaimanapun,
seperti yang telah kita pahami, kaum fasis hanya mempertahankan perlakuan baik seperti ini terhadap
agama hingga mereka berhasil berkuasa. Setelah berkuasa,
mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk memeranginya. Hal yang sama terjadi di Spanyol.
George
Orwell melukiskan situasi revolusioner di Barcelona, pada 6 bulan setelah revolusi:
Hampir
semua gereja dimusnahkan dan gambar-gambarnya dibakar. Gereja-gereja di
sana-sini secara sistematis dihancurkan oleh kelompok-kelompok pekerja.
Saat
kita mengkaji Franco sebagai sebuah contoh bagaimana kaum fasis secara terbuka memanfaatkan agama, kita kembali
berhadapan dengan sebuah kebenaran yang
telah disebutkan sebelumnya dalam buku ini. Fasisme adalah sebuah ideologi yang berusaha mengembalikan masyarakat
Eropa kepada agama-agama pagan di Eropa
pra-Kristen. Dan tidak hanya di Eropa. Di mana pun di dunia, agama sejati dari fasisme adalah paganisme. Setiap gerakan
fasis menjadikan kepercayaan pagan di masyarakatnya
sendiri sebagai acuan. Berbagai slogan dan simbol mereka serta yang semacamnya, semuanya mempunyai ciri masa
lalu pagan dari sebuah masyarakat tertentu.
Kaum fasis berupaya membangkitkan semangat emosional rakyatnya dengan menyebutkan nenek moyang dan
tradisi mereka, yang memperkuat semacam hipnosis
massal. Mereka terus-menerus menj anjikan kembalinya “masa-masa gemilang” di masa lampau mereka. Betapa pun
kuatnya mereka menampakkan kesan religius, sesungguhnya mereka tetap
penganut paganisme.
No comments:
Post a Comment