ENZIM RESTRIKSI
Tahap
kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA,
baik genomik maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan
DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E.
coli, yang berkaitan dengan infeksi
virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli,
yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi
strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C,
maka akan diperoleh l progeni (keturunan)
yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam
hal ini, dikatakan bahwa efficiency
of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.
Namun, jika l yang diisolasi dari strain C
digunakan untuk menginfeksi strain K,
maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang
diinfeksikan. Sementara itu,
l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K
maupun pada strain C. Hal ini terjadi
karena adanya sistem restriksi atau modifikasi (r/m) pada strain K. Pada waktu bakteriofag l yang
diisolasi dari strain C diinfeksikan
ke strain K, molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease
restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak
merusak DNAnya sendiri, strain K
juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah
urutan tertentu yang merupakan
tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut. DNA bakteriofag l
yang mampu bertahan dari perusakan
oleh enzim restriksi pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh
kekebalan terhadap enzim restrisksi
tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir putaran
replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag
l yang diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan
lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi. Metilasi hanya terjadi pada
salah satu di antara kedua untai molekul
DNA.Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA
baru hasil replikasi tidak akan
sempat terpotong oleh enzim restriksi. Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak
dipelajari. Selanjutnya, enzim ini dimasukkan
ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I. Banyak enzim serupa
yang ditemukan kemudian pada berbagai
spesies bakteri lainnya. Pada tahun 1970 ditemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke
dalam kelompok enzim restriksi
lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus
influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan
lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang
telah menjadi salah satu komponen
utama dalam tata kerja rekayasa genetika. Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai
sifat-sifat umum yang penting sebagai berikut:
1.
Mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam molekul DNA
2.
Memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat pengenalannya
3.
Menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian
besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong
urutan pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti
aturan sebagai berikut. Huruf
pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber
isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah
huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri
sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi
digunakan untuk membedakan
enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat
pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah
sejauh beberapa pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan
menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena
masing-masing untai tunggalnya
menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah
disambungkan satu sama lain sehingga
ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau
ujung kohesif. Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat
pemotongan DNA pada posisi
yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai
ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya
sama panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul
(blunt end) akan sulit untuk disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk
menyatukan dua fragmen DNA
dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase
untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
No comments:
Post a Comment