Powered By Blogger

Tuesday, 7 May 2013

FREKUENSI GENOTIPE DAN FREKUENSI ALEL


FREKUENSI GENOTIPE DAN FREKUENSI ALEL

Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada. Frekuensi genotipe didefinisikan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Frekuensi genotipe dapat pula diartikan sebagai proporsi/persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Frekuensi genetik menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Contoh perhitungan frekuensi genotipe dan frekuensi alel adalah data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN, dan N masing-masing sebesar 83,5 %, 15,6%, dan 0,9% dari 569 sampel individu. Genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM, IMIN, dan ININ. Jadi, dari data frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM dan IN. Frekuensi alel IM = 83,5% + . (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel IN = 0,9% + . (15,6%) = 8,7%. Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN tersebut lokus yang ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi alel terbesarnya ( IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95. Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%. Jika dapat diperoleh nilai H untuk lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut.

Jika kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai populasi yang berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium). Penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg ini merupakan dasar untuk mendeteksi kejadian inbreeding, fragmentasi populasi, migrasi, dan seleksi. Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi. Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus.

Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi heterozigot (H) rata-rata. Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein . Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA. Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya,dalam satuan waktu yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil. Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe. Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-duanya akan diekspresikan. Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel. Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan.

Sebagai contoh bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q). Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2. Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + . (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + . (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua. Pada manusia dan beberapa spesies organisme lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya.

Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas) yang rendah. Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Individu-individu dapat memberikan kontribusi genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang berbeda. Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe. Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda. Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-individu yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe yang sama. Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding). Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot. Persilangan luar akan meningkatkan frekuensi heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni (homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis. Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel reseif merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat. Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B) yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya mempunyai tongkol yang besar. Memahami dan mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam. Sebagai contoh, suatu populasi dengan keragaman genetik yang rendah dapat kita umpamakan sebagai suatu kelompok individu yang saling bersaudara satu sama lain. Sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di dalam kelompok tersebut akan merupakan perkawinan antar saudara (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan menyebabkan suatu individu menjadi sensitif terhadap patogen. Perkembangan teknik molekuler seperti penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai DNA hingga mencapai konsentrasi tertentu, penggunaan untai DNA primer sebagai marker dalam proses PCR, penemuan lokus mikrosatelit yang hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA, telah menyebabkan ilmu genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi biologi suatu populasi.

No comments:

Post a Comment