FREKUENSI GENOTIPE DAN FREKUENSI ALEL
Deskripsi
susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh
apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe
tersebut. Sebagai contoh, di dalam
populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase
genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan
susunan genetik populasi tempat mereka berada. Frekuensi
genotipe didefinisikan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu
populasi. Frekuensi genotipe dapat pula
diartikan sebagai proporsi/persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam
genotipe tertentu. Frekuensi genetik
menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada. Susunan genetik suatu populasi
ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan
sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel
tertentu pada suatu lokus. Contoh perhitungan
frekuensi genotipe dan frekuensi alel adalah data frekuensi
golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland
menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN, dan N
masing-masing sebesar 83,5 %, 15,6%,
dan 0,9% dari 569 sampel individu. Genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM,
IMIN, dan ININ. Jadi, dari
data frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM dan IN. Frekuensi alel
IM = 83,5% + . (15,6%) = 91,3%,
sedang frekuensi alel IN = 0,9% + . (15,6%) = 8,7%. Hasil perhitungan frekuensi alel dapat
digunakan untuk menentukan sifat lokus
tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang
terbesar sama atau kurang dari 0,95.
Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar melebihi
0,95. Jadi, pada contoh golongan
darah sistem MN tersebut lokus yang ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena
frekuensi alel terbesarnya ( IM =
91,3%), masih lebih kecil dari 0,95. Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan
sebagai salah satu indeks keanekaragaman
genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai
indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi
heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh
di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%. Jika dapat diperoleh nilai H untuk
lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung
nilai heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut.
Jika
kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai
populasi yang berada dalam keseimbangan
Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium). Penyimpangan dari keseimbangan
Hardy-Weinberg ini merupakan dasar
untuk mendeteksi kejadian inbreeding, fragmentasi populasi, migrasi, dan seleksi. Untuk mempelajari
pola pewarisan sifat pada tingkat
populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut
juga populasi Mendelian. Populasi
mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di
tempat tertentu pada saat yang sama,
dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan
kontribusi genetik ke dalam
lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam
populasi. Deskripsi susunan
genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada
dan juga banyaknya masing-masing
genotipe tersebut. Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik
suatu populasi dapat juga dideskripsi
atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah
dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan
individu, melainkan kumpulan individu yang dapat melangsungkan
perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi
ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit
kembali menjadi genotipe keturunannya
melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk,
sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami
kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian, deskripsi
susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya justru lebih
bermakna bila dibandingkan dengan
tinjauan dari genotipenya. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada
dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut
juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus.
Hasil
perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan
sifat lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika
frekuensi alelnya yang terbesar sama atau
kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang
terbesar melebihi 0,95. Proporsi
lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks keanekaragaman
genetik. Nilai lainnya yang juga
sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas
rata-rata atau frekuensi heterozigot (H)
rata-rata. Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis Frekuensi alel pada suatu
populasi spesies organisme dapat
dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-pita
sebagai gambaran mobililitas masing-masing
polipeptida penyusun protein . Elektroforesis merupakan
teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu,
molekul-molekul yang akan dipisahkan
tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA. Prinsip kerja elektroforesis secara
garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel
tersebut diberi aliran listrik selama
beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel
akan bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan
dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen
ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin lambat
gerakannya. Akibatnya,dalam satuan waktu yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek
daripada jarak migrasi molekul
berukuran kecil. Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran
fenotipe, bukan genotipe. Namun,
analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali
dapat memberikan dasar genetik
secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih
dengan susunan asam amino
yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi
fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan
alel yang menyusun genotipe. Jika alel-alel yang menyebabkan
perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif
enzim yang diekspresikannya dikenal
sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan
heterozigot kedua-duanya akan
diekspresikan. Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak
(panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu
memiliki peluang yang sama
untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan
adanya sistem kawin acak ini,
frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy,
ahli matematika dari Inggris, dan
W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan
Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak,
ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu
tidak terjadi migrasi, mutasi,
dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini
serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel. Deduksi
terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg
meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari
penggabungan gamet-gamet kepada
genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi
keturunan.
Sebagai
contoh bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan
frekuensi P, H, dan Q. Sementara
itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua
ini akan dihasilkan dua macam gamet,
yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a
sama dengan frekuensi alel a (q). Dengan
berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak pula. Oleh
karena itu, zigot-zigot yang terbentuk
akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Tiga macam genotipe
zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2. Oleh
karena frekuensi genotipe zigot
telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat
dihitung. Fekuensi alel A = p2 + .
(2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + . (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi
alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua. Pada manusia dan
beberapa spesies organisme lainnya
dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik
(XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan matematika
antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan frekuensi genotipenya
mengikuti formula seperti pada autosom.
Namun, pada jenis kelamin heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel
rangkai X benar-benar sama dengan
frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel untuk masing-masing
lokus pada kromosom X-nya.
Migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan
Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa
peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi
migrasi dalam bentuk laju migrasi
(lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi
alel tertentu di antara berbagai
populasi, misalnya perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata
antara ras yang satu dan lainnya.
Laju
migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu populasi yang
digantikan oleh alel migran pada
tiap generasi. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi.
Namun, peristiwa yang sangat mendasari
proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya
dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah
untuk dapat menyebabkan terjadinya
perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai daya hidup
(viabilitas), dan juga tingkat kesuburan
(fertilitas) yang rendah. Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan
memberikan pengaruh nyata
terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan
mutan yang dihasilkan memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Individu-individu dapat memberikan
kontribusi genetik yang berbeda karena
mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang berbeda. Proporsi atau persentase
kontribusi genetik suatu individu kepada
generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes
relatif berkisar antara 0 dan 1. Faktor
lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin
tidak acak (non random mating). Jika dilihat
dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan
perkataan lain, perkawinan asortatif
adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe. Perkawinan asortatif dapat berupa
perkawinan asortatif positif atau asortatif
negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai
fenotipe sama cenderung untuk lebih
sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda. Sebaliknya,
pada perkawinan asortatif negatif
individu-individu yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung
untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe yang
sama. Di samping perkawinan asortatif
ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari
hubungan genetiknya. Sistem kawin
semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar
(outbreeding). Silang dalam adalah perkawinan
di antara individu-individu yang secara genetik memiliki hubungan kekerabatan, sedang silang luar
adalah perkawinan di antara individu-individu
yang secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Perkawinan asortatif positif dan silang dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe
homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif
negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot. Persilangan luar akan
meningkatkan frekuensi heterozigot.
Di samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang
berpengaruh buruk terhadap individu
yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan individu hibrid dengan sifat-sifat yang
lebih baik daripada kedua tetuanya
yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan
dua tetua galur murni (homozigot)
disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis. Ada beberapa
teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan terjadinya
heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa
alel-alel reseif merugikan yang
dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan pada individu hibrid yang
heterozigot. Misalnya, ada alel A yang
menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara
itu, alel B menyebabkan batang
menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan antara galur murni AAbb
(akar kuat, batang lemah) dan aaBB
(akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat. Fenomena
heterosis sudah sering sekali
dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida.
Galur murni A disilangkan dengan
galur murni B, mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol
tetuanya (A atau B) yang kecil, maka jumlah
bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida
yang dipasarkan biasanya bukan
hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau
silang ganda (double cross). Pada
silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain
sehingga biji hibrid yang dihasilkan
akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah,
pada silang ganda hibrid H disilangkan
dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda ini, sebagai
tetua betina dapat digunakan baik
hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya mempunyai tongkol yang besar. Memahami dan
mempertahankan keragaman genetik
suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan
sangat membantu suatu populasi beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi
terhadap penyakit-penyakit yang
ada di alam. Sebagai contoh, suatu populasi dengan keragaman genetik yang rendah dapat kita umpamakan
sebagai suatu kelompok individu
yang saling bersaudara satu sama lain. Sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di
dalam kelompok tersebut akan merupakan
perkawinan antar saudara (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan menyebabkan penurunan kualitas
reproduksi dan menyebabkan suatu
individu menjadi sensitif terhadap patogen. Perkembangan
teknik molekuler seperti penemuan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
yang mampu mengamplifikasi untai DNA hingga
mencapai konsentrasi tertentu, penggunaan untai DNA primer sebagai marker dalam proses PCR,
penemuan lokus mikrosatelit yang
hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA,
telah menyebabkan ilmu genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi
biologi suatu populasi.
No comments:
Post a Comment