ROMANTISME FASIS
Bagaimanapun, fasisme tentu saja tidak semata-mata terdiri dari sang pemimpin dan kelompok fasis di sekitarnya. Dalam fasisme Nazi Jerman dan Italia, terdapat dukungan umum yang luar biasa terhadap rezim. Dukungan ini didapatkan dengan sejumlah cara. Rezim-rezim fasis tidaklah sekadar "otoriter", yang membungkam rakyatnya; mereka juga "totaliter".
Ciri khas utama yang menjadi daya tarik ideologi fasis bagi rakyatnya dalam sistem totaliter adalah "romantisme ekstrem". Orang-orang yang punya perasaan romantis dan irasional atau keterikatan emosional terhadap cita-cita dan gerakangerakan pada zaman mereka atau dalam sejarah sangat mudah diarahkan dan dimanipulasi, dan bahkan dapat diprovokasi untuk melakukan kejahatan. Jika orang seperti itu berhasil diyakinkan bahwa kekejaman yang diwajibkan atas mereka dilakukan dengan alasan-alasan sakral, seperti "keunggulan ras mereka sendiri", tidak ada batas bagi ketidakadilan yang mereka dapat diperdaya untuk melakukannya. Rezim fasis menyadari hal ini, dan mengerahkan segala upaya agar rakyatnya tetap berada dalam kondisi kegairahan emosional yang irasional dan pergolakan. Mereka mempertunjukkan apa yang tampak sebagai nilai-nilai sakral kepada rakyat dan mendorong mereka mengorbankan diri demi negara, merendahkan bangsa atau ras lain, dan bahkan untuk menyiksa dan membunuh.
Karenanya, rezim fasis selalu cenderung untuk sangat mementingkan rapat-rapat akbar, defile, pertemuan-pertemuan dan berbagai upacara. Tujuan mereka adalah untuk membentuk rasa persatuan pada diri rakyatnya, yang mirip dengan rasa persatuan sekawanan domba. Rakyat pertama kali dialihkan dari agama dengan menggunakan simbol -simbol, patung-patung, hari-hari peringatan, bendera-bendera, obor, dan seragam. Upacara-upacara besar yang memotivasi dirancang untuk menggantikan upacara keagamaan. Hal-hal tersebut membuat rakyat terindoktrinasi oleh cita-cita fasis, dalam kegembiraan dan kegairahan palsu, seakan melakukan penyembahan kepada tuhan. Semboyan-semboyan yang terus menerus disorakkan ataupun dituliskan, pekikan, musik perang dan pemberian hormat adalah bagian penting dalam upacara-upacara kaum fasis.
Kerumunan-kerumunan fasis ini sama sekali tak memiliki pemikiran atau kelakuan yang berakal. Mereka hanyalah sekelompok orang yang dilecut dengan berbagai slogan, lagu dan syair, namun tuli terhadap semua logika. Massa seperti ini, yang mengidentifikasikan diri dan pemimpin-pemimpin mereka dengan para pahlawan dalam mitologi atau legenda-legenda masa lalu, melakukan kekejian dengan semangat "kepahlawanan" palsu. Bila suatu saat mereka di panggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka melakukannya demi negara, dan mereka sebenarnya adalah para pahlawan bangsa. Dengan dikuasai hipnotis semacam ini, para pengikut Hitler dan Mussolini melakukan
kekejaman dalam kondisi kegairahan yang keliru.
Di bawah fasisme, kecintaan yang wajar yang dimiliki seseorang terhadap rakyat dan negerinya berubah menjadi sebuah sentimentalitas berbahaya dan kehilangan kontrol diri, dan dengan cara mengeksploitasi emosi -emosi inilah seluruh masyarakat diarahkan untuk membunuh. (lihat Romanticism: A Weapon of Satan, Harun Yahya)
No comments:
Post a Comment