SEJARAH
PEMIKIRAN EVOLUSI
Pemikiran-pemikiran evolusi seperi nenek moyang bersama dan transmutasi spesies telah ada paling tidak sejak abad ke-6 SM ketika hal ini
dijelaskan secara rinci oleh seorang filsuf Yunani, Anaximander. Beberapa orang dengan pemikiran yang sama meliputi Empedokles, Lucretius,
biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawaih, Ikhwan As-Shafa, dan filsuf Cina Zhuangzi. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan biologi pada
abad ke-18, pemikiran evolusi mulai ditelusuri oleh beberapa filsuf seperti Pierre
Maupertuis pada tahun 1745 dan Erasmus Darwin pada tahun
1796.[19] Pemikiran biologiawan Jean-Baptiste
Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang luas. Charles Darwin merumuskan
pemikiran seleksi alamnya pada tahun 1838 dan masih mengembangkan
teorinya pada tahun 1858 ketika Alfred Russel Wallace mengirimkannya teori yang mirip dalam
suratnya "Surat dari Ternate". Keduanya diajukan ke Linnean Society of London sebagai dua karya yang terpisah. Pada akhir
tahun 1859, publikasi Darwin, On the
Origin of Species,
menjelaskan seleksi alam secara mendetail dan memberikan bukti yang mendorong
penerimaan luas evolusi dalam komunitas ilmiah.
Perdebatan mengenai mekanisme evolusi terus
berlanjut, dan Darwin tidak dapat menjelaskan sumber variasi terwariskan yang
diseleksi oleh seleksi alam. Seperti Lamarck, ia beranggapan bahwa orang tua
mewariskan adaptasi yang diperolehnya selama hidupnya, teori yang kemudian
disebut sebagai Lamarckisme. Pada tahun 1880-an, eksperimen August Weismann mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak diwariskan, dan Lamarkisme
berangsur-angsur ditinggalkan. Selain itu, Darwin tidak dapat menjelaskan
bagaimana sifat-sifat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Pada
tahun 1865, Gregor Mendel menemukan bahwa pewarisan sifat-sifat dapat diprediksi.[25] Ketika karya Mendel ditemukan kembali pada tahun
1900-an, ketidakcocokan atas laju evolusi yang diprediksi oleh genetikawan dan biometrikawan meretakkan hubungan model evolusi Mendel dan
Darwin.
Walaupun demikian, adalah penemuan kembali
karya Gregor Mendel mengenai genetika (yang tidak diketahui oleh Darwin dan
Wallace) oleh Hugo de Vries dan lainnya pada awal 1900-an yang
memberikan dorongan terhadap pemahaman bagaimana variasi terjadi pada sifat
tumbuhan dan hewan. Seleksi alam menggunakan variasi tersebut untuk membentuk
keanekaragaman sifat-sifat adaptasi yang terpantau pada organisme hidup.
Walaupun Hugo de Vries dan genetikawan pada awalnya sangat kritis
terhadap teori evolusi, penemuan kembali genetika dan riset selanjutnya pada
akhirnya memberikan dasar yang kuat terhadap evolusi, bahkan lebih meyakinkan
daripada ketika teori ini pertama kali diajukan.
Kontradiksi antara teori evolusi Darwin
melalui seleksi alam dengan karya Mendel disatukan pada tahun 1920-an dan
1930-an oleh biologiawan evolusi seperti J.B.S. Haldane, Sewall Wright, dan
terutama Ronald Fisher, yang menyusun dasar-dasar genetika populasi. Hasilnya adalah kombinasi evolusi melalui seleksi alam dengan
pewarisan Mendel menjadi sintesis
evolusi modern. Pada tahun
1940-an, identifikasi DNA sebagai bahan genetika oleh Oswald Avery dkk.
beserta publikasi struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun
1953, memberikan dasar fisik pewarisan ini. Sejak saat itu, genetika dan biologi molekuler menjadi inti biologi evolusioner dan telah merevolusi filogenetika.
Pada awal sejarahnya, biologiawan evolusioner
utamanya berasal dari ilmuwan yang berorientasi pada bidang taksonomi. Seiring
dengan berkembangnya sintesis evolusi modern, biologi evolusioner menarik lebih
banyak ilmuwan dari bidang sains biologi lainnya. Kajian biologi evolusioner
masa kini melibatkan ilmuwan yang berkutat di bidang biokimia, ekologi, genetika, dan fisiologi. Konsep
evolusi juga digunakan lebih lanjut pada bidang seperti psikologi, pengobatan, filosofi, dan ilmu komputer.
No comments:
Post a Comment