Powered By Blogger

Monday, 6 May 2013

ANCAMAN RASIS DI EROPA MODERN


ANCAMAN RASIS DI EROPA MODERN

Neo-Nazi merupakan representasi dari gerakan rasis radikal yang lebih luas di Eropa. Mereka layaknya sisi tajam dari kapak fasis. Tetapi kapak ini juga memiliki akar, dan ini mewakili suatu golongan sosial dan politis yang lebih luas daripada neo-Nazi sendiri. Rasisme neo-Nazi adalah cerminan dari kecenderungan rasis yang terus tumbuh di Eropa.

Yang paling menarik, rasisme masih merupakan bahaya laten di dalam kebudayaan Eropa yang menekankan pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia. Berdasarkan riset yang dilakukan pada tahun 1997, kaum rasis meliputi 33 persen dari populasi umum Eropa. Angka ini paling tinggi di Belgia, Prancis, dan Austria. Lima puluh lima persen orang Belgia menggambarkan diri mereka sebagai cukupatausangat rasis, di Prancis sebesar 48 persen dan di Austria 42 persen. Di Jerman jumlah kaum rasis adalah sekitar 34 persen. Jadi, ketika kaum neo-Nazi melemparkan bom Molotov dan menyanyikan Usir orang asing! mereka sebenarnya membawa pemikiran dari 35 persen populasi.

Undang-undang Pasqua pada tahun 1993, yang berasal dari nama menteri dalam negeri Prancis Charles Pasqua, sangat membahayakan orang asing yang tinggal di Prancis dengan kekuasaan luas untuk mencari yang diberikannya kepada polisi. Bahkan rumah warga negara Prancis yang berasal dari kebangsaan asing pun menjadi sasaran penggerebekan dini hari dan para penghuninya ditahan, termasuk lelaki, wanita, dan anak-anak. para orang asing ini diperlakukan laksana kriminal perang: diinterogasi berhari-hari, dan sebagiannya menderita patah tangan dan kaki akibat penyiksaan.

Zairois Nikomé yang berusia 17 tahun ditembak di kantor polisi Paris setelah ditahan atas tuduhan pencurian. Barisan protes dilakukan esok harinya (7 April 1993), dan dua orang kulit hitam yang ikut serta dipukuli dan dibunuh oleh polisi Prancis. Para pekerja dan mahasiswa yang berada di Prancis secara legal, dan memiliki izin tinggal, mulai hidup dalam ketakutan dan kesukaran, ketika terungkap bahwa seorang warna negara Prancis asal Maroko telah disiksa hingga mati oleh tiga perwira polisi Prancis.

Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa rasisme masih merupakan ancaman penting di Eropa.

Ilya Ehrenburg, penulis buku Europe After Fascism, menggambarkan bentuk masa kini dari rasisme yang masih bertahan di Eropa:

Di atas segalanya fasisme berarti kebencian nasional, lawan dari kebanggaan nasional. Orang yang dijangkiti fasisme tidak punya konsep rasa bangga akan budaya orang lain, dan hanya merasa bangga akan akar mereka sendiri…

Kebencian nasional ini adalah kecenderungan moral menyimpang yang di nyatakan Allah sebagai kesombongan jahiliyah. (QS. Al Fath, 48: 26). Allah mengungkapkan di dalam Al Quran bahwa kebencian fanatis ini adalah karakteristik paganisme, bentuk yang Islam dilindungi darinya. Nyatalah bagi kita sekali lagi bahwa rasisme fasis lahir dari ditinggalkannya agama, dan digantikan dengan paganisme.

Tampaknya kecenderungan rasis di Eropa makin merata mestilah berhubungan dengan gerakan-gerakan neo-Nazi, yang memperoleh lahan lebih jauh setiap hari, sebagaimana juga halnya paganisme.

Dan begitulah adanya.


No comments:

Post a Comment